Untuk memahami maksudnya mengapa ada tertulis tentang poligami dan tipu daya ataupun kejahatan lainnya di Kitab Suci, kita perlu memahami prinsip “divine pedagogy” (“kebijaksanaan mendidik” ilahi) atau cara Tuhan mendidik manusia.
Kisah- kisah Perjanjian Lama (PL) tidak terlepas dari Perjanjian Baru (PB), dan cara memahaminya, adalah dengan melihatnya dalam konteks keseluruhan rencana keselamatan. Nah, keseluruhan rencana keselamatan Allah ini memang disingkapkan secara bertahap. Penyingkapan bertahap inilah yang di dalam Teologi disebut sebagai divine pedagogy (“kebijaksanaan mendidik” ilahi/ cara Tuhan mendidik [manusia])
KGK 53 Keputusan wahyu ilahi itu diwujudkan “dalam perbuatan dan perkataan yang bertalian batin satu sama lain” (Dei Verbum 2). Di dalamnya tercakup “kebijaksanaan mendidik” ilahi (divine pedagogy) yang khas: Allah menyatakan Diri secara bertahap kepada manusia; Ia mempersiapkan manusia secara bertahap untuk menerima wahyu diri-Nya yang adikodrati, yang mencapai puncaknya dalam pribadi dan perutusan Yesus Kristus, Sabda yang menjadi manusia…
Analoginya, Allah mendidik manusia, seperti orang tua mendidik anaknya. Di masa kanak- kanak lebih digunakan disiplin (yang umumnya melibatkan hukuman- hukuman), sedangkan semakin anak bertumbuh dewasa, lebih ditekankan aspek pengertian dan tanggungjawab. Pada saat kanak- kanak, tuntutan untuk kesempurnaan perbuatan baik juga tidak setinggi jika anak itu sudah menjadi dewasa.
1. Tentang poligami di Perjanjian Lama
Prinsip divine pedagogy terlihat juga dalam hal perkawinan. Bahwa sejak awalnya Tuhan menentukan perkawinan adalah antara satu orang pria dan satu orang wanita (monogami), dan keduanya menjadi satu daging (Kej 2: 24). Namun demikian, entah karena keterbatasan pemahaman akan perintah Tuhan kepada manusia untuk berkembang biak atau karena kelemahan daging, maka selanjutnya, para patriarkh dan mungkin juga orang- orang lain pada jaman PL melakukan poligami. Memang pada masa itu poligami belum secara eksplisit dilarang dalam hukum Taurat; ataupun perceraian dapat diberikan menurut hukum Taurat Musa, karena ketegaran hati orang- orang pada saat itu (lih. Mat 19:8, Mrk 10:5). Namun dalam PB, Tuhan Yesus meluruskan ajaran tersebut, agar sesuai dengan kehendak Allah sejak awal mula, yaitu tentang perkawinan antara seorang pria dan seorang wanita, yang sifatnya eksklusif (monogami) dan tak terceraikan (lih. Mat 19:5-6; Mrk 10:6-9):
Lalu kata Yesus kepada mereka, “Sebab pada awal dunia, Allah menjadikan mereka laki-laki dan perempuan, sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.”
Dengan demikian, terlihatlah bagaimana hukum kasih karunia yang diajarkan oleh Tuhan Yesus mengatasi dan menyempurnakan hukum Taurat. Kadang hal yang tidak ideal dapat diijinkan oleh Tuhan untuk terjadi di masa terdahulu, justru untuk menunjukkan dalamnya makna ajaran yang ideal/sempurna yang disampaikan oleh Tuhan Yesus di waktu kemudian. Dengan memahami prinsip ini, maka kita mengetahui bahwa sebagai murid- murid Kristus kita tidak dapat melakukan poligami, karena poligami tidak sesuai dengan kehendak Allah, seperti yang dinyatakan-Nya pada awal mula, yang kemudian ditegaskan kembali oleh Kristus.
2. Tentang tipu daya
Dengan prinsip yang sama, kita menyikapi adanya tipu daya dalam kisah- kisah PL. Fakta tersebut tidak untuk mengajarkan bahwa tipu daya itu boleh dilakukan; namun untuk menunjukkan bagaimana proses Tuhan mendidik manusia yang dilakukan secara bertahap. Bahwa pada dasarnya manusia punya kecenderungan untuk berbuat jahat, namun sekalipun demikian, Tuhan tetap dapat berkarya dalam keadaan tersebut. Jangan lupa, bagaimanapun juga manusia diciptakan sebagai mahluk yang punya kehendak bebas (bukan boneka). Hal inilah yang memungkinkan terjadinya kejadian yang tidak ideal tersebut- termasuk akal- akalan- yang dilakukan bahkan oleh para patriarkh itu sendiri, walaupun pada akhirnya situasi tersebut tetap dapat digunakan Tuhan untuk mengarahkan atau mendatangkan kebaikan bagi orang- orang pilihan-Nya.
Namun demikian, sesungguhnya secara umum Kitab Suci melarang orang menipu/ berdusta:
Kel 20:16: Jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesamamu.
Ams 19:5, 9: Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan tidak akan terhindar. Saksi dusta tidak akan luput dari hukuman, orang yang menyembur-nyemburkan kebohongan akan binasa.
Ams 24:28, Jangan menjadi saksi terhadap sesamamu tanpa sebab, dan menipu dengan bibirmu.
Luk 18:20: Engkau tentu mengetahui segala perintah Allah: Jangan berzinah, jangan membunuh, jangan mencuri, jangan mengucapkan saksi dusta, hormatilah ayahmu dan ibumu.”
1 Pet 3:10: “Siapa yang mau mencintai hidup dan mau melihat hari-hari baik, ia harus menjaga lidahnya terhadap yang jahat dan bibirnya terhadap ucapan-ucapan yang menipu.
Kis 5:1-11: Ananias dan Safira yang berdusta dihukum Tuhan, sehingga wafat seketika.
3. Yakub mengambil kesulungan Esau dengan semangkuk masakan kacang merah
Ini untuk mengajarkan kepada kita bahwa seringkali manusia menjual iman/ sesuatu yang penting secara rohani hanya karena keinginan jasmani; seperti dilakukan oleh Esau yang menjual hak kesulungannya (sesuatu yang sangat penting dan berharga yang diberikan Tuhan) untuk semangkuk masakan kacang merah. Tuhan tidak berkenan dengan sikap ini. Sebab jika Esau tidak punya kecenderungan demikian, kemungkian ia tidak akan ‘jatuh’ dalam akal- akalan-nya Yakub. Tetapi justru karena Esau tidak menghargai hak kesulungannya (lih. Kej 25:34) yang dipandang sangat penting oleh Allah, maka akhirnya ia menerima akibat-nya, yaitu kehilangan hak kesulungan tersebut.
4. Yusuf sengaja menaruh piala di kantung gandum Benyamin?
Kisah ini harus dilihat dalam kaitannya dengan perikop sebelumnya, yaitu Kej 43: 29-31:
“Ketika Yusuf memandang kepada mereka, dilihatnyalah Benyamin, adiknya, yang seibu dengan dia, lalu katanya: “Inikah adikmu yang bungsu itu, yang telah kamu sebut-sebut kepadaku?” Lagi katanya: “Allah kiranya memberikan kasih karunia kepadamu, anakku!” Lalu segeralah Yusuf pergi dari situ, sebab hatinya sangat terharu merindukan adiknya itu, dan dicarinyalah tempat untuk menangis; ia masuk ke dalam kamar, lalu menangis di situ. Sesudah itu dibasuhnyalah mukanya dan ia tampil ke luar. Ia menahan hatinya dan berkata: “Hidangkanlah makanan….”
Jadi terlihat di sini bahwa ‘akal-akalan’ Yusuf menaruh piala di kantung gandum Benyamin adalah supaya ia dapat menahan adiknya (Benyamin) agar Benyamin dapat tinggal di istana bersama- sama dengan dia [walaupun dikatakannya agar Benyamin dapat ditinggal menjadi budaknya, karena telah 'mencuri' piala]. Namun kita membaca bahwa di perikop berikutnya, Yehuda memohon kepada Yusuf agar ia boleh menggantikan Benyamin menjadi budak Yusuf, supaya Benyamin dapat pulang ke rumah dan bertemu dengan ayah mereka (Yakub). Setelah dikisahkannya mengapa demikian, Yusuf akhirnya tak kuasa menahan hatinya, dan ia akhirnya menyatakan siapa sebenarnya dirinya kepada para saudaranya itu (lih. Kej 45). Pada perikop ini kita membaca terjadinya rekonsiliasi antara Yusuf dengan saudara- saudaranya. Dan Yusuf dapat menjelaskan kepada mereka bagaimana Tuhan dapat menggunakan kondisi yang terburuk sekalipun (yaitu ia yang dijual ke Mesir oleh saudara- saudaranya itu), untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka semua. Dengan demikian, kita melihat bahwa Allah mengizinkan akal- akalan Yusuf (soal piala itu) terjadi untuk mengarahkan Yusuf dan saudara- saudaranya kepada rekonsiliasi.