|
| Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab | |
| | Pengirim | Message |
---|
bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 5th February 2011, 17:18 | |
| Mengerti gaya bahasa yang digunakan untuk mengerti pesan Alkitab
Seperti halnya pada sebuah karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Alkitab, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Alkitab sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Alkitab, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah. Memang ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui beberapa prinsipnya:
1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.
2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.
3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh.
4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).
5. Personifikasi: adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu.
6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal). | |
| | | whiteeagle Tamtama
Jumlah posting : 46 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 6th February 2011, 14:27 | |
| - Quote :
- Mengerti gaya bahasa yang digunakan untuk mengerti pesan Alkitab
untuk mengerti pesan alkitab , bukan cuma harus mngerti gaya bahasa yg digunakan. melainkan juga kebudayaan pada waktu itu , adat istiadat dan kebiasaan2 yg berlaku pada waktu itu. jadi untuk bisa mengerti pesan alkitab , bukan cuma harus pinter , melainkan juga harus punya hikmat | |
| | | alfa1 Tamtama
Jumlah posting : 30 Join date : 04.02.11
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 7th February 2011, 10:55 | |
| karena Alkitab pertama kali di susun dalam bahasa Yunani, yang jadi pertanyaan adalah..
apakah faktor kebudayaan, bahasa dan latarbelakang kepercayaan orang Yunani tidak berpengaruh kepada hasil transliterasi sehingga dimungkinkan menyimpang dari prinsip dasar yang hendak disampaikan dalam bahasa Ibrani???
kenyataan menunjukan bahwa antara dua kebudayaan / bangsa, selalu ada kata / frase yang tidak ada padanan-nya satu sama lain.. bahasa Yunani misalnya tidak memiliki huruf Y H dan W.. atau ada kata ELOHIM (Ibrani) dan NAHNU (Arab) yang tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia sehingga orang Indonesia menggunakan kata KAMI..
dengan alasan tersebut, sudah pada tempatnya seharusnya, apapun transliterasi / hasil penafsiran terhadap sebuah ayat dalam bahasa apapun, sebaiknya di berikan juga informasi tentang bunyi ayat itu dalam bahasa asli ketika ayat itu diturunkan..
dengan begitu setiap orang dapat meyakini bahwa translit itu sudah benar / tidak menyimpang.. | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 7th February 2011, 13:02 | |
| - alfa1 wrote:
- karena Alkitab pertama kali di susun dalam bahasa Yunani, yang jadi pertanyaan adalah..
apakah faktor kebudayaan, bahasa dan latarbelakang kepercayaan orang Yunani tidak berpengaruh kepada hasil transliterasi sehingga dimungkinkan menyimpang dari prinsip dasar yang hendak disampaikan dalam bahasa Ibrani???
kenyataan menunjukan bahwa antara dua kebudayaan / bangsa, selalu ada kata / frase yang tidak ada padanan-nya satu sama lain.. bahasa Yunani misalnya tidak memiliki huruf Y H dan W.. atau ada kata ELOHIM (Ibrani) dan NAHNU (Arab) yang tidak ada padanan kata yang tepat dalam bahasa Indonesia sehingga orang Indonesia menggunakan kata KAMI..
dengan alasan tersebut, sudah pada tempatnya seharusnya, apapun transliterasi / hasil penafsiran terhadap sebuah ayat dalam bahasa apapun, sebaiknya di berikan juga informasi tentang bunyi ayat itu dalam bahasa asli ketika ayat itu diturunkan..
dengan begitu setiap orang dapat meyakini bahwa translit itu sudah benar / tidak menyimpang.. Anda tidak cermat mas. Betul, bahwa Alkitab ditulis dalam bahasa Yunani, tetapi oleh orang Yahudi yang berbahasa Yunani, bukan ditulis oleh orang Yunani. Bisa mengerti perbedaannya? Thanks | |
| | | alfa1 Tamtama
Jumlah posting : 30 Join date : 04.02.11
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 7th February 2011, 14:06 | |
| - bruce wrote:
Anda tidak cermat mas. Betul, bahwa Alkitab ditulis dalam bahasa Yunani, tetapi oleh orang Yahudi yang berbahasa Yunani, bukan ditulis oleh orang Yunani. Bisa mengerti perbedaannya?
Thanks yups!!! menurut sejarah, Septuaginta sebagai terjemah kitab-kitab Perjanjian Lama atau Tanakh dari bahasa Ibrani Kuno ke bahasa Yunani memang sudah dimulai pada abad ke-3 SM. Terjemahan ini disebut "septuaginta" yang dalam bahasa Yunani artinya adalah 70 dan sering ditulis sebagai "LXX" karena konon disusun 70 orang Yahudi yang ditugaskan oleh Ptolemeus II Filadelfus (285 - 247 SM) dari Mesir atas perintah raja Iskandariyah pada abad ke-3 SM untuk dimasukkan ke Perpustakaan Alexandria. kita tidak pernah tahu siapa yang mengerjakan terjemahan ini. Namun yang pasti ialah terjemahan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Yahudi yang tinggal di Diaspora, di luar Palestina dan tidak lagi memahami bahasa Ibrani. Mereka telah sangat dipengaruhi oleh budaya Yunani (helenis), yang saat itu merupakan bahasa internasional di kawasan Laut Tengah. pada abad ke-4, Septuaginta ini diterjemahkan ke bahasa Latin, dan abad ke-16 disalin ke dalam bahasa Jerman oleh Martin Luther Kings. pada kenyataanya, Septuaginta berbeda dengan kitab yang di akui oleh orang Yahudi sekarang karena mengandung beberapa kitab yang tidak ada dalam Alkitab orang Yahudi. Kitab-kitab ini kemudian disebut buku Deuterokanonika. sebuah transliterasi / terjemah yg baik, sudah seharusnya memenuhi kriteria obyektifitas, dan itu dapat dipenuhi jika dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami dengan baik 2 sisi budaya, sejarah dan tatabahasa dari bangsa yg bahasanya hendak ditranslit dan dari bangsa yg nantinya akan menghasilkan transliterasi karya terjemah. hasil akhirnya adalah padanan kata yg paling mendekati bahasa asal. >info sejarah yg mengatakan bahwa dari ke 70 orang itu tidak ada satupun orang Yunani, meninggalkan tanda tanya tersendiri...itu cerita tentang Alkitab Perjanjian lama.. bagaimana dengan Alkitab Perjanjian baru??? konon, Injil Matius sendiri aslinya ditulis dalam bahasa Yunani.. tidak ada perkamen Injil Matius dalam bahasa Ibrani.. jika ini benar adanya, maka masalahnya makin melebar, karena Jesus tidak pernah sekalipun berkata dalam bahasa Yunani. dan mengenai Injil itu sendiri, menurut saya umat kristen saat ini telah terjebak dalam 'kerancuan istilah' yang akut.. banyak umat kristen yg seringkali memahami bahwa Alkitab itu adalah Injil.. padahal yang sebetulnya disebut Injil hanyalah empat kitab pertama dalam Perjanjian Baru (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes)... kitab diluar itu sebetulnya tidak tepat dikatakan sebagai Injil.. antara Injil, PL dan PB ada perbedaan pengertian yang begitu mendalam, tapi satu yang perlu diketahui bahwa surat-surat dari rasul Paulus bukanlah bagian dari Perjanjian Baru.. | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 7th February 2011, 15:20 | |
| - alfa1 wrote:
- bruce wrote:
Anda tidak cermat mas. Betul, bahwa Alkitab ditulis dalam bahasa Yunani, tetapi oleh orang Yahudi yang berbahasa Yunani, bukan ditulis oleh orang Yunani. Bisa mengerti perbedaannya?
Thanks yups!!!
menurut sejarah, Septuaginta sebagai terjemah kitab-kitab Perjanjian Lama atau Tanakh dari bahasa Ibrani Kuno ke bahasa Yunani memang sudah dimulai pada abad ke-3 SM. Terjemahan ini disebut "septuaginta" yang dalam bahasa Yunani artinya adalah 70 dan sering ditulis sebagai "LXX" karena konon disusun 70 orang Yahudi yang ditugaskan oleh Ptolemeus II Filadelfus (285 - 247 SM) dari Mesir atas perintah raja Iskandariyah pada abad ke-3 SM untuk dimasukkan ke Perpustakaan Alexandria.
kita tidak pernah tahu siapa yang mengerjakan terjemahan ini. Namun yang pasti ialah terjemahan ini dibuat untuk memenuhi kebutuhan orang-orang Yahudi yang tinggal di Diaspora, di luar Palestina dan tidak lagi memahami bahasa Ibrani. Mereka telah sangat dipengaruhi oleh budaya Yunani (helenis), yang saat itu merupakan bahasa internasional di kawasan Laut Tengah.
pada abad ke-4, Septuaginta ini diterjemahkan ke bahasa Latin, dan abad ke-16 disalin ke dalam bahasa Jerman oleh Martin Luther Kings.
pada kenyataanya, Septuaginta berbeda dengan kitab yang di akui oleh orang Yahudi sekarang karena mengandung beberapa kitab yang tidak ada dalam Alkitab orang Yahudi. Kitab-kitab ini kemudian disebut buku Deuterokanonika.
sebuah transliterasi / terjemah yg baik, sudah seharusnya memenuhi kriteria obyektifitas, dan itu dapat dipenuhi jika dilakukan oleh orang yang benar-benar memahami dengan baik 2 sisi budaya, sejarah dan tatabahasa dari bangsa yg bahasanya hendak ditranslit dan dari bangsa yg nantinya akan menghasilkan transliterasi karya terjemah.
hasil akhirnya adalah padanan kata yg paling mendekati bahasa asal.
>info sejarah yg mengatakan bahwa dari ke 70 orang itu tidak ada satupun orang Yunani, meninggalkan tanda tanya tersendiri...itu cerita tentang Alkitab Perjanjian lama..
bagaimana dengan Alkitab Perjanjian baru???
konon, Injil Matius sendiri aslinya ditulis dalam bahasa Yunani.. tidak ada perkamen Injil Matius dalam bahasa Ibrani.. jika ini benar adanya, maka masalahnya makin melebar, karena Jesus tidak pernah sekalipun berkata dalam bahasa Yunani.
dan mengenai Injil itu sendiri, menurut saya umat kristen saat ini telah terjebak dalam 'kerancuan istilah' yang akut..
banyak umat kristen yg seringkali memahami bahwa Alkitab itu adalah Injil.. padahal yang sebetulnya disebut Injil hanyalah empat kitab pertama dalam Perjanjian Baru (Matius, Markus, Lukas dan Yohanes)... kitab diluar itu sebetulnya tidak tepat dikatakan sebagai Injil..
antara Injil, PL dan PB ada perbedaan pengertian yang begitu mendalam, tapi satu yang perlu diketahui bahwa surat-surat dari rasul Paulus bukanlah bagian dari Perjanjian Baru.. Oke, itu versi anda mas, nah ini versi benarnya : - Quote :
- Yesus tidak menulis Kitab Suci
Pernahkah anda bertanya dalam hati: “Mengapa Yesus sendiri tidak menulis Kitab Suci?” Bukankah hal ini lebih baik, sehingga tidak ada pertanyaan tentang asal usul Kitab Suci di kemudian hari? Demikianlah, mungkin hingga saat ini banyak orang mempertanyakannya, bahkan sampai pada titik menolak untuk percaya kepada Kitab Suci dan kepada pesan Keselamatan yang tertulis di dalamnya; bahwa Yesus, Sang Putera Allah menjelma menjadi manusia untuk menyelamatkan kita.
Lalu bagaimana seharusnya sikap kita? Mari merenungkan hal ini: Yesus adalah Sang Sabda Allah yang menjelma menjadi manusia (Yoh 1:14). Pribadi-Nya sendiri adalah Sabda Allah: Dia-lah “Kitab Suci” yang hidup. Maka dapat dimengerti jika Yesus tidak menulis Kitab Suci, karena Ia tidak ingin membatasi Diri-Nya hanya pada ajaran dan peraturan yang tertulis oleh huruf-huruf. Ia tidak menulis Kitab Suci karena Ia menghendaki semua orang untuk melihat dan membaca Pribadi-Nya yang tak terbatas. Di sanalah tertulis segala kesempurnaan ajaran, teladan, dan gambaran Allah sendiri. Bukankah bahkan dalam kehidupan sehari-hari, kita mengetahui bahwa seorang pemimpin, seniman ataupun guru yang terbesar adalah ia yang berhasil membentuk murid-muridnya untuk menjadi pemimpin, seniman, ataupun guru yang besar juga? Demikianlah, dalam kebijaksanaan-Nya, Allah membentuk manusia, untuk mengikuti teladan-Nya untuk mencapai kehidupan kekal seperti yang ditunjukkan oleh Yesus Kristus. Untuk mewujudkan rencana-Nya, Allah memilih orang-orang beriman tertentu yang dibimbing secara khusus oleh Roh Kudus-Nya, untuk menuliskan rencana Keselamatan-Nya ini. Asal usul Kitab Suci
Maka umat Kristiani percaya bahwa Kitab Suci bukan merupakan kitab yang ‘jatuh’ dari surga, ataupun kitab yang dituliskan oleh Kristus, melainkan Kitab yang terdiri dari kitab-kitab yang ditulis oleh orang-orang pilihan Allah yang diilhami Roh Kudus. Nah, pertanyaannya, dari mana kita tahu bahwa kitab-kitab tertentu diilhami oleh Roh Kudus, sedangkan ada banyak kitab lainnya ‘hanya’ merupakan karya manusia? Sejarah menunjukkan bahwa yang menentukan apakah suatu kitab tertentu diilhami Roh Kudus atau tidak adalah Gereja Katolik. Hal ini mungkin karena kita percaya bahwa Gereja Katolik dipimpin oleh para rasul dan para penerusnya yang dibimbing oleh Roh Kudus. Karena Roh Kudus ini adalah Roh yang sama dengan Roh yang mengilhami penulisan kitab-kitab itu, maka peneguhan yang ditetapkan oleh Gereja tentang kitab-kitab tersebut tidak mungkin keliru, karena Roh Kudus tidak mungkin mempertentangkan Diri-Nya sendiri.
Jika kita tidak mempercayai hal ini, kita sama saja dengan mempertanyakan janji Kristus yang mengatakan akan menyertai para rasul-Nya sampai akhir zaman (lih. Mat 28:19-20). Kita tahu, bahwa para rasul semuanya telah wafat, sehingga janji penyertaan-Nya sampai akhir zaman hanya mungkin diartikan bahwa Yesus akan menyertai para pengganti rasul- rasul tersebut, dan menjaga mereka dari kesesatan dalam kapasitasnya memimpin Gereja dan melestarikan ajaran Kristus. Maka, dengan mengimani janji Kristus itu, kita percaya bahwa para pengganti rasul diilhami oleh Roh Kudus untuk meneguhkan kitab-kitab mana yang diilhami Roh Kudus, yang kemudian membentuk Kitab Suci.
Wahyu Ilahi diberikan kepada beberapa orang pilihan-Nya untuk dituliskan
Allah memberikan wahyu Ilahi kepada banyak orang pilihan-Nya, tidak hanya kepada satu orang saja, untuk dituliskan. Justru karena penulisan Alkitab melibatkan banyak orang selama jangka waktu ribuan tahun, maka secara objektif kita melihat campur tangan Allah dalam hal ini. Wahyu Ilahi ini diberikan dalam sejarah manusia, yaitu kepada para nabi dalam Perjanjian Lama, dan selanjutnya diteruskan oleh para rasul dan para muridnya untuk menyampaikan penggenapan Perjanjian Lama dalam diri Kristus dalam Perjanjian Baru. Ini adalah karya Allah yang sangat mengagumkan, dan justru tidak mungkin salah, karena wahyu tersebut tidak tergantung oleh satu orang saja, namun melibatkan banyak orang dari banyak generasi. Bagaimana naskah- naskah kitab yang terpisah satu sama lain yang ditulis oleh orang-orang yang bisa saja tidak saling kenal satu sama lain, karena terpisah oleh jarak dan waktu/ perbedaan generasi, namun yang memberikan inti pengajaran yang sama, yang pada akhirnya menunjuk dan membuka jalan bagi kedatangan Kristus, itulah yang seharusnya membuat kita tertunduk kagum. Betapa indahnya rencana keselamatan Allah yang melibatkan umat-Nya. Keikutsertaan manusia dalam rencana keselamatan Allah ini tidak mengurangi kemuliaan-Nya, namun semakin melipat-gandakannya. Ia membuktikan DiriNya Mahakuasa, karena Ia memampukan manusia yang lemah untuk mengambil bagian dalam rencana Keselamatan-Nya; baik dalam menuliskan, menyebarluaskan dan melestarikan Kitab Suci, dan tentu saja, dalam melaksanakannya, jika manusia mau bekerjasama dengan Dia.
Peran Gereja Katolik
Dari bukti sejarah kita melihat adanya banyak kitab yang menceritakan tentang Allah. Tentu orang berhak bertanya, mana kitab yang benar, mana yang tidak. Semua orang tentu dapat mempunyai penilaian sendiri-sendiri, namun berbahagialah kita yang percaya bahwa Allah menyertai Gereja-Nya dengan Roh Kudus-Nya, sehingga Gereja yang bertindak atas nama Kristus itulah yang paling berwewenang untuk menentukan kitab mana yang otentik diilhami Roh Kudus, dan kitab mana yang tidak. Karena bimbingan Roh Kudus pada Gereja Katolik inilah, maka kita percaya bahwa kitab-kitab yang ditetapkan oleh Gereja adalah sungguh yang ditetapkan oleh Allah sendiri.
Bukti sejarah ini sungguh membuka mata kita bahwa sesungguhnya Kitab Suci yang kita kenal sekarang ada karena Gereja Katolik, yang menetapkan kanon Kitab Suci. Kata ‘kanon’ sendiri berarti ‘batang pengukur’ atau ‘standar’. Jadi kanon Kitab Suci adalah daftar kitab-kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus yang membentuk Kitab Suci, yang ditentukan oleh tradisi apostolik Gereja Katolik.
Kitab Suci saja (‘Bible alone’) tidak cukup
Ada kelompok orang-orang yang mengatakan bahwa hanya Kitab Suci yang menjadi sumber satu-satunya iman Kristen. Namun, pendapat ini tidak dapat menjelaskan bagaimana kita dapat tahu dengan pasti bahwa kitab-kitab tertentu termasuk dalam Kitab suci sedangkan kitab yang lainnya tidak. Sebab, kanon Kitab Suci tidak diketahui dari Kitab Suci itu sendiri. Di dalam Kitab Suci (dari Kejadian sampai Wahyu) tidak disebutkan bahwa kitab ini dan itu termasuk Kitab Suci, sedang kitab yang lain tidak. Maka, secara objektif sesungguhnya dapat kita lihat, bahwa berpegang pada Kitab Suci saja tidaklah cukup. Peran Gereja menjadi sangat penting, karena Gereja lahir terlebih dahulu dari Kitab Suci. Gereja Katolik yang didirikan oleh Kristus-lah yang menjadi saksi otoritatif yang dapat menentukan apakah kitab-kitab tersebut diilhami oleh Roh Kudus atau tidak. Peran Gereja Katolik ini diakui juga oleh pendiri gereja Protestan, Martin Luther, yang mengatakan, “Kita diwajibkan untuk bersandar pada Gereja Katolik- bahwa mereka memiliki Sabda Tuhan yang kita terima dari mereka, jika tidak, kita tidak dapat mengetahui apapun tentang itu.”
Kanon Kitab Suci menurut Gereja Katolik
Kanon Kitab Suci yang ditetapkan menurut tradisi apostolik Gereja adalah Perjanjian Lama terdiri dari 46 kitab dan Perjanjian Baru terdiri atas 27 kitab. Mungkin kita pernah mendengar bahwa Gereja Katolik dikatakan ‘menambahkan’ 7 kitab dalam Perjanjian Lama, yaitu Kebijaksanaan Salomo, Sirakh, Yudit, Barukh, Tobit, 1 dan 2 Makabe (beserta tambahan Kitab Daniel dan Esther), yang dikenal dengan Kitab Deuterokanonika. Tetapi sesungguhnya, ketujuh kitab tersebut sudah ada sejak jemaat awal. Baru sekitar 1500 tahun kemudian, Martin Luther memisahkan ketujuh kitab ini dari kanon Perjanjian Lama. Kitab-kitab ini digabungkan dengan kitab-kitab lain yang umum disebut sebagai kitab Apokrif/ “Apocrypha” oleh Gereja Protestan.
Kanon Perjanjian Lama (PL)
Kanon Perjanjian Lama gereja Protestan diambil berdasarkan kanon kaum Yahudi yang berbahasa Ibrani di Palestina. Sedangkan kanon Perjanjian Lama Gereja Katolik berdasarkan atas kanon kaum Yahudi yang berbahasa Yunani (Alexandria) di seluruh Mediterania, termasuk di Palestina. Alexandria adalah kota di Mesir yang mempunyai perpustakaan terbesar pada jaman itu, di bawah kepemimpinan Raja Ptolemy II Philadelphus (285-246 BC). Maka keseluruhan Kitab Suci Ibrani diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani oleh 70 atau 72 orang ahli kitab Yahudi. Terjemahan ini selesai pada tahun 250-125 BC, dan dari sanalah kita mengenal kata “Septuagint” yaitu kata Latin dari 70 (LXX), sesuai dengan jumlah para penerjemah itu.
Pada jaman Yesus hidup, bahasa Ibrani adalah bahasa yang mati/ tidak digunakan. Orang-orang Yahudi di Palestina pada saat itu umumnya bicara dengan bahasa Aramaic. Sedangkan pada waktu itu, bahasa Yunani merupakan bahasa yang umum dipergunakan di seluruh dunia Mediteranian. Maka tak mengherankan bahwa yang Alkitab yang dipergunakan oleh Yesus adalah terjemahan Septuagint/ Yunani, dan terjemahan Septuagint ini pula yang dipergunakan oleh para penulis kitab Perjanjian Baru.
Pengarang Protestan yang bernama Gleason Archer dan G.C. Chirichigno membuat daftar yang menyatakan bahwa Perjanjian Baru mengutip Septuagint sebanyak 340 kali, dan hanya mengutip kanon Ibrani sebanyak 33 kali. Dengan demikian, kita ketahui bahwa dalam Perjanjian Baru, terjemahan Septuagint dikutip sebanyak lebih dari 90%. Jangan lupa, seluruh kitab Perjanjian Baru ditulis dalam bahasa Yunani.
Mengapa PL menurut Septuagint berisi 46 kitab sedangkan kanon Ibrani 39 kitab
Kanon Ibrani ditetapkan oleh para rabi Yahudi di Javneh/Jamnia, Palestina, pada sekitar tahun 100, yang kemungkinan disebabkan oleh reaksi mereka terhadap Gereja yang menggunakan kanon Yunani (Alexandria). Alasan mereka tidak memasukkan seluruh kitab ini ke dalam kanon mereka adalah karena mereka tidak dapat menemukan ke-7 kitab Deuterokanonika tersebut dalam versi Ibrani. Namun Gereja Katolik tidak mengakui keputusan para rabi Yahudi tersebut. Jangan kita lupa, bahwa mereka (para rabi Yahudi) tidak pernah menerima Kristus, ajaran Kristiani maupun Perjanjian Baru yang sudah ada sebelum kanon Ibrani ditetapkan. Bagaimana kita dapat mempercayai keputusan para rabi Yahudi untuk menentukan kanon Kitab Suci? Atau mengakui bahwa mereka dipimpin oleh Roh Kudus, padahal mereka malah telah menolak Kristus?
Memang harus diakui bahwa karena wahyu ilahi diberikan pertama-tama melalui bangsa Yahudi, maka tak mengherankan jika Alkitab kita mengandung kitab-kitab suci yang diakui juga oleh kaum agama Yahudi. Menurut The Pontifical Biblical Commision, on The Jewish People and Their Sacred Scriptures in the Christian Bible, (I, E, 3.Formation of the Christian Canon), disebutkan:
“Di Gereja- gereja Timur pada jaman Origen (185-253) ada usaha untuk menyesuaikan dengan kanon Ibrani…. [Namun] usaha untuk menyesuaikan teks Ibrani dalam kanon Ibrani tidak menghalangi para pengarang Kristen di gereja-gereja Timur untuk menggunakan kitab-kitab yang tidak termasuk dalam kanon Ibrani, atau yang mengikuti teks Septuagint. Maka pendapat bahwa – kanon Ibrani yang seharusnya dipilih oleh umat Kristiani- tidak dipilih oleh gereja-gereja Timur, atau setidak-tidaknya tidak ada kesan yang mendukung ke arah itu. Di gereja-gereja Barat, penggunaan Septuagint adalah umum dan dipertahankan oleh St. Agustinus (354-430). Ia melandaskan pandangannya pada praktek yang telah berlangsung lama dalam Gereja.”
Maka berdasarkan penggunaan kitab-kitab yang telah lama berakar di Gereja, Gereja Katolik menetapkan kanon Kitab Suci pada Konsili di Hippo 393 dan Carthage 397, yaitu 46 kitab dari kanon Yunani (Septuagint) sebagai kanon Perjanjian Lama/PL dan 27 kitab Perjanjian Baru/ PB termasuk di sini adalah ketujuh kitab di PL yang disebut sebagai Deuterokanonika. Para Bapa Gereja, baik sejak jaman Kristen abad pertama, Polycarpus, Irenaeus, Clement dan Cyprian mengutip kitab-kitab Deuterokononika tersebut dalam pengajaran mereka, sebab mereka menganggap kitab-kitab tersebut diilhami oleh Roh Kudus, sama dengan kitab-kitab PL lainnya. Sejak saat diresmikannya kanon Kitab Suci pada abad ke-4, Septuagint ini diterima oleh umat Kristiani, kecuali oleh mereka yang kemudian menolaknya pada sekitar tahun 1529 bersamaan dengan pemisahan diri mereka dari kesatuan dengan Gereja Katolik. Jadi tidak benar bahwa Kitab Deuterokanonika baru ditambahkan pada tahun 1546 pada Konsili Trente; ini adalah mitos yang sangat keliru!
PL menurut Martin Luther dan gereja Protestan
Dengan berpegang pada kanon Ibrani berdasarkan Konsili Jamnia dan pendapat St. Jerome, gereja Protestan menganggap ke- 39 kitab sebagai kanon Perjanjian Lama. Namun demikian sebenarnya alasan ini tidak cukup kuat, karena walaupun St. Jerome pernah menyatakan pendapatnya yang menolak status kanonik kitab Yudit, Tobit, Makabe, Sirakh dan Kebijaksanaan, ia pada akhirnya dengan rendah hati tunduk pada keputusan Gereja, dengan memasukkan kitab-kitab tersebut ke dalam terjemahan Kitab Suci berbahasa Latin, “the Vulgate”. Juga penelitian terakhir dari the Dead Sea Scroll di Qumran menunjukkan ditemukannya copy naskah berbahasa Ibrani dari beberapa kitab yang dipermasalahkan (yang tidak termasuk kanon Ibrani). Selanjutnya, penemuan naskah Ibrani pada sebagian besar kitab Sirakh/ Ecclesiaticus di Mesir memperkuat anggapan para ahli kitab suci bahwa kitab Sirakh tersebut diterjemahkan ke bahasa Yunani dari bahasa Ibrani.
Bukti-bukti ini sesungguhnya memperkuat bahwa Septuagint adalah terjemahan awal yang lengkap dan otentik, hanya saja dengan berselangnya waktu, naskah Ibrani dari beberapa kitab ini tidak dapat ditemukan seluruhnya. Jika suatu saat nanti ditemukan semua naskah Ibraninya, barangkali semua menjadi lebih jelas. Namun dengan ditemukannya sebagian saja dari naskah Ibrani kitab tersebut, itu sudah menunjukkan bahwa alasan mencoret keberadaan kitab Deuterokanonika dari kanon hanya karena tidak dapat ditemukan naskah Ibrani-nya, sesungguhnya bukan merupakan alasan yang kuat. Sebab, jika suatu saat dapat ditemukan semua naskah Ibrani-nya, bagaimana mempertanggungjawabkan pendapat ini?
Juga perlu direnungkan, mengapa gereja Protestan mengambil dasar konsili Jamnia sebagai dasar penentuan kanon PL, sebab konsili itu tidak umum diketahui oleh kaum Yahudi dan hasil konsili tersebut tidak diterima oleh segenap kaum Yahudi. Kaum Saduki dan Samaria tidak menerimanya, bahkan kaum Yahudi di Ethiophia sampai sekarang mempunyai kitab PL yang sama dengan yang kanon PL Gereja Katolik.
Sekarang mari kita melihat fakta sejarah. Walaupun Luther mempertanyakan penetapan 46 kitab dalam kanon PL, namun ia sendiri tetap menyertakan Kitab Deuterokanonika tersebut dalam terjemahan Alkitab pertamanya dalam bahasa Jerman pada tahun 1530. Kitab Deuterokanonika juga ditemukan dalam edisi pertama King James Version pada tahun 1611, dan pada saat pertama Alkitab dicetak. Maka kitab Deuterokanonika memang sudah termasuk dalam semua Alkitab (setidak-tidaknya sebagai appendix dalam Alkitab Protestan) sampai pada tahun 1825, yaitu saat Komite Edinburgh dari the British Foreign Bible Society ‘memotongnya’. Maka terlihat bahwa bukan Gereja Katolik yang menambahkan Kitab Deuterokanonika, melainkan gereja Protestan yang menguranginya dari keseluruhan Kitab Suci.
Perlu juga diketahui bahwa Luther mempertanyakan keaslian kitab 2 Makabe, dari segi historis dan karena di kitab tersebut juga berisi dasar doktrin Api Penyucian, yang bertentangan dengan prinsip-nya “Salvation by faith alone”. Pandangan inilah yang sering dianggap sebagai alasan mengapa Luther memisahkan kitab Deuterokanonika sebagai “Apokrif ‘Apocrypha’, yaitu kitab-kitab yang tidak dianggap sama seperti Kitab Suci lainnya namun sebagai kitab yang berguna dan baik untuk dibaca.” Sayangnya, setelah jaman Reformasi, arti ‘apocrypha’ –yang terjemahan bebasnya adalah ‘tersebunyi’ ini memperoleh konotasi negatif, sehingga diartikan sebagai ‘salah/ sesat’.
Kanon PL mana yang kita pilih?
Jika kita memilih untuk berpegang pada Kitab Suci yang mengandung ketujuh kitab tersebut, artinya, kita mengikuti tradisi para rasul, para penulis kitab Perjanjian Baru dan para jemaat awal. Namun jika kita berpegang pada Kitab Suci yang tidak mencantumkan ketujuh kitab itu, artinya kita mengikuti tradisi para rabi Yahudi non-Kristen yang kemudian diikuti oleh gereja Protestan.
Kanon Perjanjian Baru (PB)
Mengenai hal kanon PB, baik Gereja Katolik maupun Protestan setuju, bahwa terdapat 27 kitab di dalam kitab Perjanjian Baru. Kitab pertama PB dituliskan sekitar tahun 50, yaitu 1 Tesalonika, dan yang terakhir, Wahyu, pada tahun 90-100. Pertanyaannya sekarang adalah, bagaimana sampai diperoleh Kitab Perjanjian Baru tersebut, jika pada waktu yang sama dituliskan kitab-kitab lain, yang mengundang perbedaan pendapat dalam kelompok jemaat mengenai hal ke-otentikan kitab sebagai yang diilhami Roh Kudus. Misalnya ada yang berpendapat bahwa kitab Ibrani, Yudas, Wahyu dan 2 Petrus itu tidak diilhami Roh Kudus, sedangkan sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kitab Hermas, Injil Petrus dan Thomas, surat Barnabas dan Clement adalah tulisan yang diilhami Roh Kudus. Gereja memahami situasi ‘kebingungan’ ini maka pada akhir abad ke- 4 dimulailah suatu konsili dan dekrit yang memutuskan Kanon seluruh Kitab Suci, sebagai berikut:
1. Tahun 382, Paus Damasus I, didorong oleh Konsili Roma, menulis dekrit yang menentukan ke 73 kitab, PL dan PB.
2. Tahun 393, Konsili Hippo di Afrika Utara menyetujui adanya ke-73 kitab tersebut dalam kanon Kitab Suci, PL dan PB.
3. Tahun 397, Konsili Carthage/ Carthago, Afrika Utara, kembali menyetujui kanon PL dan PB tersebut. Banyak gereja Protestan yang menganggap konsili ini sebagai yang menentukan secara otoritatif kanon Perjanjian Baru.
4. Tahun 405, Paus St. Innocentius I (401-417) menulis surat kepada Uskup Exsuperius dari Toulouse, menetapkan ke 73 kitab seperti yang disetujui oleh Konsili Hippo dan Carthage.
5. Tahun 419, Konsili ekumenikal di Florence secara resmi mendefinisikan daftar ke-73 kitab yang sama tersebut dalam kanon Kitab Suci.
6. Tahun 1546, Konsili ekumenikal di Trente meneguhkan lagi kanon Kitab Suci yang terdiri dari ke-73 kitab tersebut.
7. Tahun 1869, Konsili ekumenikal Vatikan I kembali meneguhkan daftar kitab yang disebutkan dalam Konsili Trente.
Maka kita ketahui dalam waktu 40 tahun dari tahun 382 sampai 419 diadakan beberapa konsili dan keputusan Bapa Paus tentang Kanon Kitab Suci sampai akhirnya ke-73 kitab tersebut diterima secara umum oleh Gereja pada sekitar tahun 450.
Gereja Katolik menggunakan wewenang mengajarnya untuk meneguhkan kanon Kitab Suci tersebut, dan kita patut bersyukur atas campur tangan Roh Kudus yang memimpin Gereja Katolik dalam hal ini. St. Agustinus berkata, “Saya tidak akan percaya pada Injil seandainya otoritas Gereja Katolik tidak mengarahkan saya untuk itu”. Maka St. Agustinus mengakui bahwa kepastian akan keaslian kitab tertentu sebagai yang sungguh diilhami oleh Roh Kudus adalah dengan menerima ketentuan yang ditetapkan oleh Gereja Katolik, dan dengan demikian mengakui juga otoritas Gereja Katolik. Suatu permenungan adalah: jika kita meragukan otoritas Gereja Katolik, maka kita sesungguhnya juga menentang Para Bapa Gereja, seperti St. Agustinus. Adakah kita lebih pandai dan lebih diilhami Roh Kudus daripada mereka?
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kita mengetahui bahwa Kitab Suci berkaitan erat dengan Gereja Katolik. Kitab Perjanjian Lama ditetapkan berdasarkan terjemahan yang diakui oleh Gereja Katolik. Kitab Perjanjian Baru ditulis, diperbanyak, dikumpulkan dan dilestarikan oleh Gereja Katolik. Dari kanon yang ditetapkan oleh Gereja Katolik inilah semua gereja yang lain memperoleh Kitab Suci. Namun bukan berarti bahwa otoritas Gereja Katolik-lah yang menciptakan Kitab Suci, sebab Roh Kuduslah yang memberi inspirasi kepada para penulis Kitab Suci. Yang benar adalah, Gereja Katolik diberi kuasa ilahi oleh Yesus Kristus sendiri untuk secara resmi meneguhkan dan menentukan secara dogmatis daftar kitab-kitab tertentu sebagai kitab yang diinspirasikan oleh Roh Kudus. Penentuan ini tidak mungkin salah, sebab Gereja dipimpin oleh Roh Kudus yang tidak mungkin salah. Mari bersama, kita dengan rendah hati mensyukuri rahmat bimbingan Roh Kudus terhadap Gereja Katolik yang olehnya kita memperoleh Kitab Suci. Mari kita tunjukkan ketaatan iman kita kepada Kristus dengan mempercayai ketentuan yang ditetapkan oleh Gereja yang didirikan-Nya. Dan akhirnya, mari bersama-sama kita belajar lebih tekun membaca dan merenungkan Kitab Suci, yang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari Gereja Katolik.
| |
| | | alfa1 Tamtama
Jumlah posting : 30 Join date : 04.02.11
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab 7th February 2011, 18:10 | |
| dear bro bruce,
apakah anda meyakini bahwa Injil Matius ditulis pertama kali dalam bahasa Ibrani dan bukan bahasa Yunani?
dapatkah anda memberikan referensi tentang keyakinan anda itu????
terimakasih.... | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| | | | Admin Admin
Jumlah posting : 31 Join date : 20.01.11
| | | | Sponsored content
| Subyek: Re: Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab | |
| |
| | | | Beragam Gaya Bahasa Dalam Penulisan Ayat Alkitab | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |