1. Arius
Arianism adalah bidaah/ heresi yang sangat berbahaya, di awal abad ke -4 (319) karena mengajarkan ajaran sesat dalam hal Trinitas dan Kristologis. Bidaah ini diajarkan oleh Arius, seorang imam dari Alexandria, yang ingin menyederhanakan misteri Trinitas. Ia tidak bisa menerima bahwa Kristus Sang Putera Allah berasal dari Allah Bapa, namun sehakekat dengan Bapa. Maka Arius mengajarkan bahwa karena Yesus ‘berasal’ dari Bapa maka mestinya Ia adalah seorang ciptaan biasa, namun ciptaan yang paling tinggi. Arius tidak memahami bahwa di dalam satu Pribadi Yesus terdapat dua kodrat, yaitu kodrat Allah dan kodrat manusia.
Berikut ini adalah ringkasan ajaran sesat/ heresi Arianism:
- Kristus Sang Putera tidak sama-sama kekal (tak berawal dan berakhir) dengan Bapa, melainkan mempunyai sebuah awal.
- Kristus Sang Putera tidak sehakekat dengan Allah Bapa.
- Allah Bapa secara tak terbatas lebih mulia dari pada Kristus Sang Putera.
- Kristus Sang Putera adalah seorang ciptaan, yang diciptakan dari sesuatu yang tidak ada, berupa kodrat malaikat (super-archangel) yang tidak sehakekat dengan Allah Bapa.
- Tuhan bukan Trinitas secara kodratnya.
- Kristus Putera Allah bukan Putera Allah secara kodrati, tetapi Putera angkat.
- Kristus Putera Allah diciptakan dengan kehendak bebas Allah Bapa.
- Kristus Putera Allah tidak tanpa cela, tetapi dapat secara kodrati berubah/ berdosa.
- Kristus Putera Allah tidak dapat memahami Allah Bapa.
- Jiwa dari Kristus Putera Allah yang sudah ada sebelumnya (dari super archangel tersebut) mengambil tempat jiwa manusia dalam kemanusiaan Yesus.
Maka menurut Arius, Kristus adalah bukan sungguh-sungguh Allah, namun juga bukan sungguh-sungguh manusia (sebab jiwanya bukan jiwa manusia). Sebagai dasarnya Arius mengambil ayat Yoh Yoh 1:14, “Firman itu menjadi manusia/ “the Word was made flesh”, dan ia berkesimpulan bahwa Firman itu hanya menjelma menjadi daging saja tetapi tidak jiwanya. Prinsip ini kemudian juga diikuti oleh Apollinaris (300-390).
Ajaran sesat ini diluruskan melalui Konsili Nicea (325) yang dihadiri oleh sekitar 300 uskup. Ajaran Arius ini dikecam, dan dianggap sebagai inovasi radikal. Maka dibuatlah suatu pernyataan Credo, untuk mempertahankan ajaran para rasul, yaitu Kristus adalah “sehakekat dengan Bapa, Allah dari Allah, Terang dari Terang, Allah benar dari Allah benar.” Pada waktu penandatanganan ajaran ini, hampir semua dari para uskup tersebut setuju, hanya terdapat 17 uskup yang enggan bersuara, namun kenyataannya hanya 2 orang uskup yang menolak, ditambah dengan Arius sendiri.
Konsili Nicea ini sering disalah mengerti oleh umat non-Kristen, sebab mereka menyangka bahwa baru pada tahun 325 Yesus dinobatkan sebagai Tuhan. Ini salah besar, sebab pernyataan Kristus sehakekat dengan Allah tersebut dibuat untuk meluruskan ajaran sesat Arianism dan untuk menegaskan kembali iman Gereja yang berasal dari pengajaran para rasul. Maka kita mengenal pernyataan itu sebagai “Syahadat Para Rasul”, karena memang dalam syahadat tersebut tercantum pokok-pokok iman yang diajarkan oleh para rasul.
Perjuangan melawan bidaah Arianism kemudian dilanjutkan oleh St. Athanasius (296-373). Ajaran St. Athanasius yang terkenal adalah bahwa kalau Kristus mempunyai awal mula, maka artinya ada saat bahwa Allah Bapa bukan Allah Bapa, dan di mana Allah Bapa tidak punya Sabda ataupun Kebijaksanaan….Ini jelas bertentangan dengan Wahyu Allah dan akal sehat. “Sebab jika Allah Bapa itu kekal, tak berawal dan tak berakhir maka Sabda-Nya dan Kebijaksanaan-Nya pasti juga kekal, tak berawal dan berakhir.”
Tidak ada penindasan dalam hal ini, terutama karena umat Kristen tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan yang memungkinkan tidakan represif. Ingat, pada tahun itu, kekuasaan militer berada di tangan Romawi yang belum Kristen.
2.Tidak ada catatan tentang tindak kekerasan, terutama yang dilakukan resmi oleh Gereja, terlebih lagi pihak penentang Gereja didukung oleh Kaisar Romawi.
Sekilas tentang Euthyches mengajarkan bahwa sebelum inkarnasi terdapat dua kodrat dalam diri Yesus, namun setelah inkarnasi ada hanya satu kodrat. Ajaran ini ditolak oleh Sinoda Konstantinopel, yang mengekskomunikasi Euthyches. Namun Euthyches protes, dan ia mendapat simpati dari Kaisar [Theodosius II] yang kemudian mendorong agar diadakannya konsili di Efesus. Paus Leo I, Dioscorus (Partriarkh Aleksandria) dan beberapa uskup lainnya diundang untuk menghadiri konsili ini untuk menyelidiki ajaran Euthyches tersebut. Paus tidak dapat hadir, namun mengutus tiga orang wakil untuk membawa surat- suratnya, antara lain Epistola Dogmatica, yang menjelaskan tentang misteri Inkarnasi, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan Euthycus. Paus sendiri mengecam ajaran Euthyches. Konsili lalu diadakan di Efesus pada tahun 449 yang dihadiri oleh rekan- rekan partisan Dioscorus dan Euthyches.
Cardinal Henry Newman, seolah ahli sejarah Anglikan yang kemudian menjadi Katolik pernah menulis tentang Konsili Efesus (449) demikian:
“Proses yang berlangsung sangat dipenuhi kekerasan, sehingga Konsili itu telah dikenal secara turun temurun sebagai Latrocinium, atau Konsili ‘Penyamun’ (gang of robbers). Euthyches dengan hormat dibebaskan [dari tuduhan], dan ajarannya diterima; namun St. Flavian [uskup Konstantinopel] dipecat. Dioscorus didukung oleh banyak sekali pertapa dan para pendukung ajaran Monophysites yang sangat berapi- api, dari Syria dan Mesir, dan oleh angkatan bersenjata. Mereka ini menyerbu Gereja pada saat dikomandokan olehnya; Flavian dibuang dan diinjak- injak hingga terluka parah, dan ia wafat tiga hari setelah kejadian itu. Para utusan Paus melarikan diri semampu mereka, dan para uskup yang hadir diharuskan menandatangani kertas kosong, yang kemudian diisi dengan tulisan yang menghukum Flavian… Proses diakhiri dengan Dioscorus mengekskomunikasi Paus dan Kaisar mengeluarkan Edict yang menyetujui keputusan konsili.” (Cardinal Henry Newman, An Essay on the Development of Christian Doctrine, (Notre Dame, 1989), p.300)
Kaisar Theodosius II yang memihak Euthyches menyetujui tindakan kekerasan itu, tetapi Paus Leo I tidak mengakuinya, dan tidak pula mengakui Anatolius sebagai Uskup Konstantinopel. Paus meminta bantuan Kaisar untuk mengadakan konsili di Italia untuk meluruskan kekacauan ini, namun ditolak oleh Kaisar. Namun kemudian Kaisar Theodosius II mendadak meninggal (28 Juli 450) dan digantikan oleh adiknya Pulcheria yang menunjuk jenderal bernama Marcian. Mereka berdua menentang ajaran Dioscurus dan Euthyches. Marcian lalu memberitahukan kepada Paus tentang kesediaannya mendukung diadakannya konsili seperti dikehendaki Paus. Sementara itu Anatolius dan banyak uskup lainnya di Gereja Timur mengecam ajaran Euthyches dan menerima ajaran Paus Leo I (Epistola Dogmatica).
Sementara itu di Eropa terjadi kekacauan karena invasi Attila orang Hun, sehingga banyak uskup dari Barat tidak dapat hadir dalam konsili yang akan diadakan di Timur (Nicea, Sept 451), atas prakarsa Jenderal Marcian. Walaupun Paus tidak setuju akan tempatnya, namun ia setuju untuk mengirimkan utusannya, yaitu Paschasinus, Uskup Lilybaeumdi di Sisilia, Uskup Lucentius, Uskup Julian, and dua orang imam, Bonifasius and Basil. Konsili akhirnya tidak jadi diadakan di Nicea, tetapi di Kalsedon dekat Konstantinopel, pada bulan Oktober 451. Konsili dihadiri oleh 630 uskup (termasuk 4 orang dari Barat: dia orang Afrika dan dua orang utusan Gereja Roma). Utusan Roma membuka konsili mewakili Gereja Roma, “yang merupakan kepala dari semua Gereja-gereja”. Dioscorus dikenai sangsi karena telah “mengadakan konsili di luar otoritas dari tahta apostolik, yang belum pernah terjadi dan tidak sah” (Newman, p.308), dan karena tidak membacakan surat Paus di Konsili (yang juga dikenal dengan sebutan Tome of Leo). Terjemahan kutipan The Tome of Leo, dapat dibaca di sini, silakan klik. Surat Paus Leo I mendapat persetujuan semua uskup yang hadir, kecuali 4 orang dari keuskupan Timur.
Hasil konsili yang terpenting adalah dekrit tentang iman Kristiani, yang menekankan kembali ajaran Konsili Nicea (325), Konstantinopel (381), Efesus (431), ajaran St. Cyril (Sirilus) dan surat Paus Leo I, demikian:
“Kami mengajarkan …. Kristus yang satu dan sama, Sang Putera Allah, Tuhan, Putera yang Tunggal, yang dikenal di dalam dua kodrat, tanpa percampuran, tanpa perubahan, tanpa pembagian, tanpa perceraian.” (We teach . . . one and the same Christ, Son, Lord, Only-begotten, known in two natures, without confusion, without change, without division, without separation.)
Selanjutnya, selain dari ajaran iman, Konsili Kalsedon membahas banyak hal sehubungan dengan disiplin para imam/ biarawan dan biarawati.
3. Pelagius dan Caelestius (411-415)
Dari jauh pengaruh pada kemajuan lebih lanjut dari Pelagianisme adalah persahabatan yang Pelagius kontrak di Roma dengan Caelestius, seorang pengacara yang mulia (mungkin Italia) keturunan. Sebuah kasim oleh kelahiran, tapi diberkahi dengan bakat tidak ada artinya, Caelestius telah dimenangkan ke asketisisme oleh antusiasmenya untuk kehidupan monastik, dan dalam kapasitas seorang biarawan awam-ia berusaha untuk mengubah kaidah praktis belajar dari Pelagius, menjadi prinsip-prinsip teoritis , yang berhasil disebarkan di Roma. St Agustinus, saat pengisian Pelagius dengan kemisteriusan, kebohongan, dan kelihaian, panggilan Caelestius (De peccat. Dgn., Xv) tidak hanya "sangat banyak bicara", tetapi juga membuka hati, keras kepala, dan bebas dalam pergaulan sosial. Bahkan jika intrik-intrik mereka rahasia atau terbuka tidak luput dari perhatian, masih dua temannya tidak diganggu oleh kalangan Romawi resmi. Tapi hal-hal berubah ketika pada tahun 411 mereka meninggalkan tanah ramah dari kota metropolis, yang telah dipecat oleh Alaric (410), dan berlayar untuk Afrika Utara. Ketika mereka mendarat di pantai dekat Hippo, Agustinus, uskup kota itu, tidak hadir, sepenuhnya diduduki dalam penyelesaian sengketa Donatis di Afrika. Kemudian, ia bertemu Pelagius dalam beberapa kali Carthage, tanpa, bagaimanapun, datang ke dalam kontak dekat dengan dia. Setelah tinggal singkat di Afrika Utara, Pelagius perjalanan ke Palestina, sementara Caelestius mencoba untuk memiliki dirinya membuat imam di Kartago. Tapi rencana ini merasa frustrasi oleh Paulinus diakon dari Milan, yang disampaikan kepada uskup, Aurelius, peringatan di mana enam tesis dari Caelestius - mungkin ekstrak harfiah dari karyanya hilang "Contra traducem peccati" - yang dicap sebagai sesat. Tesis-tesis berlari sebagai berikut:
Bahkan jika Adam tidak berdosa, ia akan mati.
Dosa Adam dirugikan hanya dirinya sendiri, bukan ras manusia.
Anak baru lahir berada dalam keadaan yang sama seperti Adam sebelum kejatuhannya.
Seluruh umat manusia tidak mati karena dosa Adam atau kematian, atau naik lagi melalui kebangkitan Kristus.
Para (Hukum Musa) adalah sebagai baik panduan untuk surga sebagai Injil.
Bahkan sebelum kedatangan Kristus ada orang-orang yang tanpa dosa.
Pada rekening doktrin-doktrin ini, yang jelas mengandung intisari Pelagianisme, Caelestius dipanggil untuk muncul sebelum sinode di Kartago (411), tetapi ia menolak untuk menarik kembali mereka, menyatakan bahwa warisan dosa Adam adalah pertanyaan terbuka dan karenanya penyangkalannya ada bid'ah. Akibatnya ia tidak hanya dikecualikan dari penahbisan, namun enam tesis dikutuk. Dia menyatakan niatnya untuk menarik kepada Paus di Roma, tetapi tanpa melaksanakan desain pergi ke Efesus di Asia Kecil, di mana ia ditahbiskan imam.
Sementara itu ide Pelagius telah terinfeksi area yang luas, terutama di sekitar Carthage, sehingga Agustinus dan uskup lainnya terpaksa mengambil sikap tegas terhadap mereka dalam khotbah dan percakapan pribadi. Didesak oleh temannya Marcellinus, yang "sehari-hari mengalami perdebatan yang paling menjengkelkan dengan saudara-saudara berdosa", St Agustinus dalam 412 menulis karya-karya terkenal: "De peccatorum meritis et remissione Libri III" (PL, XLIV, 109 sqq.) Dan " De Spiritu et Litera "(ibid., 201 sqq.), di mana ia mendirikan positif keberadaan dosa asal, perlunya baptisan bayi, ketidakmungkinan hidup tanpa dosa, dan kebutuhan interior kasih karunia (spiritus) dalam oposisi kasih karunia luar hukum (Litera). Ketika di 414 rumor menggelisahkan tiba dari Sisilia dan yang disebut "Definitiones Caelestii" (direkonstruksi di Garnier, "Marii Mercatoris Opera", saya, 384 sqq, Paris., 1673), dikatakan karya Caelestius, dikirim ke dia, dia sekaligus (414 atau 415) diterbitkan jawaban itu, "De perfectione justitiae hominis" (PL, XLIV, sqq 291.), di mana ia kembali menghancurkan ilusi kemungkinan kebebasan penuh dari dosa. Keluar dari amal dan dalam rangka untuk memenangkan kembali berdosa itu secara lebih efektif, Agustinus, dalam semua tulisan-tulisan ini, tidak pernah menyebutkan dua penulis dari bidah dengan nama.
Sementara Pelagius, yang sojourning di Palestina, tidak tinggal diam, untuk perawan Romawi yang mulia, bernama Demetrias, yang pada Alaric datang telah melarikan diri ke Carthage, ia menulis surat yang masih ada (dalam PL, XXX, 15-45) dan di mana ia kembali ditanamkan prinsip Stoic tentang energi yang tak terbatas dari alam. Selain itu, ia diterbitkan dalam 415 karya, kini hilang, "De natura", di mana ia mencoba untuk membuktikan ajarannya dari pemerintah, menarik tidak hanya untuk tulisan-tulisan Hilary dan Ambrosius, tetapi juga untuk karya-karya sebelumnya Jerome dan Agustinus, keduanya masih hidup. Yang terakhir ini menjawab sekaligus (415) dengan risalah-Nya "De Gratia et natura" (PL, XLIV, 247 sqq.). Jerome, bagaimanapun, kepada siapa murid Agustinus Orosius, seorang imam Spanyol, secara pribadi menjelaskan bahaya bid'ah baru, dan yang telah kecewa oleh keparahan yang Pelagius telah mengkritik tafsirannya tentang Surat kepada jemaat di Efesus, berpikir waktu masak untuk masukkan daftar; ini ia lakukan dengan suratnya kepada Ctesiphon (Ep. cxxliii) dan dengan anggun nya "kontra Pelagianos Dialogus" (PL, XXIII, 495 sqq.). Ia dibantu oleh Orosius, yang, segera menuduh Pelagius di Yerusalem dari klenik. Setelah itu, Uskup John dari Yerusalem "dikasihi" (St Agustinus, "Ep. Clxxix") Pelagius dan menyuruhnya pada saat itu sebagai tamunya. Dia convoked pada bulan Juli,, 415 sebuah dewan keuskupan untuk penyelidikan muatan. Proses terhambat oleh kenyataan bahwa Orosius, pihak menuduh, tidak mengerti bahasa Yunani dan telah terlibat seorang juru bahasa yang buruk, sedangkan terdakwa Pelagius cukup mampu untuk membela diri dalam bahasa Yunani dan menegakkan ortodoksi nya. Namun, menurut account pribadi (ditulis pada penutupan 415) dari Orosius (Liber apolog. Kontra Pelagium, PL, XXXI, 1173), partai-partai peserta pemilu pada akhirnya sepakat untuk meninggalkan penghakiman terakhir pada semua pertanyaan orang-orang Latin, karena baik Pelagius dan musuhnya adalah orang Latin, dan untuk memanggil keputusan Innocent I, sementara itu diam dikenakan pada kedua belah pihak.
Tapi Pelagius diberikan hanya tangguh pendek. Untuk di tahun yang sama, para uskup Galia, pahlawan dari Arles dan Lazarus Aix, yang, setelah kekalahan Konstantinus perampas (411), telah mengundurkan diri keuskupan mereka dan pergi ke Palestina, membawa masalah sebelum Uskup Eulogius dari Kaisarea, dengan hasil yang memanggil Pelagius yang terakhir pada bulan Desember, 415, sebelum sinode empat belas uskup, diadakan di Diospolis, di Lida kuno. Tapi keberuntungan lagi disukai bidah. Tentang proses dan masalah kita sangat baik diinformasikan melalui rekening St Agustinus, "De gestis Pelagii" (PL, XLIV, 319 sqq.), Yang ditulis dalam 417 dan berdasarkan tindakan sinode. Pelagius tepat waktu mematuhi panggilan, tetapi pengadu utama, pahlawan dan Lazarus, gagal membuat penampilan mereka, salah satu dari mereka yang dicegah oleh sakit-kesehatan. Dan sebagai Orosius, juga, diejek dan dianiaya oleh Uskup John dari Yerusalem, telah berangkat, Pelagius tidak bertemu penggugat pribadi, sementara ia menemukan pada saat yang sama advokat terampil dalam Anianus diakon dari Celeda (lih. Hieronym, "Ep. Cxliii. ", ed. Vallarsi, aku, 1067). Poin utama dari permohonan yang diterjemahkan oleh penerjemah ke dalam bahasa Yunani dan membaca hanya di ekstrak. Pelagius, setelah memenangkan baik-kehendak perakitan dengan membaca kepada mereka beberapa surat-surat pribadi uskup menonjol di antara mereka salah satu dari Agustinus (Ep. cxlvi) - mulai untuk menjelaskan dan menyangkal berbagai tuduhan. Jadi dari tuduhan bahwa ia membuat kemungkinan hidup tanpa dosa semata-mata bergantung pada kehendak bebas, ia dibebaskan dari tuduhan dirinya dengan mengatakan bahwa, sebaliknya, ia diperlukan bantuan dari Allah (Dei adjutorium) untuk itu, meskipun dengan ini ia berarti apa-apa lagi dari kasih karunia penciptaan (gratia creationis). Doktrin lain yang telah didakwa, ia mengatakan bahwa, dirumuskan sebagai mereka berada di komplain, mereka tidak berasal dari dirinya, tetapi dari Caelestius, dan bahwa ia juga menolak mereka. Setelah mendengar ada yang tersisa untuk sinode tetapi untuk melepaskan terdakwa dan mengumumkan dia sebagai layak persekutuan dengan Gereja. Orient sekarang sudah berbicara dua kali dan tidak menemukan apa pun di Pelagius menyalahkan, karena ia telah menyembunyikan perasaan sebenarnya dari hakim nya.
=bersambung-