Qurban vs. Menyembelih Cara Barat, Sains Menjawabnya
Setiap tahun, dirayakan Hari Raya ‘Idul Ad-ha yang jatuh tanggal 10 Dzulhijjah Tahun Hijriyah. dan disunnahkan bagi yang mampu memiliki hewan ternak, untuk mengorbankan ternaknya (dalam artian harta benda) dan dibagikan dagingnya pada yang kurang mampu untuk sarana mendekatkan diri kepada Ilahi. (qurban berasal dari kata “qarib” yang artinya “dekat”), ternak-ternak yang disembelih itu tidak berdaya, hanya bisa meronta-ronta dan mengerang kesakitan saat disembelih.
Menurut kebanyakan orang, cara menyembelih yang baik adalah dengan memingsankan ternak itu terlebih dahulu, baru disembelih (dalam keadaan pingsan) dalam hal ini, pemingsanan itu dapat dilakukan dengan berbagai alat, seperti: stunning gun, pembiusan, atau menggunakan arus listrik.
selain itu, metode pemingsanan terbaik yang sering mereka lakukan adalah dengan cara memukul bagian tertentu di kepala ternak dengan alat tertentu, dengan beban dan kecepatan yang tertentu pula.
Alat yang dipakai untuk memingsankan ternak itu, di antaranya adalah Captive Bolt Pistol (CBP). menurut kebanyakan orang, inilah cara yang terbaik dan lebih “manusiawi”, cara ini juga, menurut mereka lagi, dapat melindungi pekerja dari kemungkinan kecelakaan karena hewan meronta-ronta ketika disembelih. Setelah pingsan, menurut mereka juga, hewan itu tidak akan merasa kesakitan bila disembelih. Cara seperti ini mereka yakini sebagai cara yang terbaik, karena hewan tidak meronta-ronta, tidak tampak kesakitan, dan “sepertinya” tidak merasakan sakit (karena telah pingsan).
Melalui penelitian ilmiah yang dilakukan oleh dua staf ahli peternakan dari Hannover University, sebuah universitas terkemuka di Jerman yaitu Prof. Dr. Schultz dan koleganya, Dr. Hazim.
keduanya membuat dan memimpin satu tim penelitian terstruktur untuk menjawab pertanyaan:
manakah yang lebih baik dan paling tidak sakit, penyembelihan secara Syari’at Islam yang murni (tanpa proses pemingsanan) ataukah penyembelihan dengan cara Barat (dengan pemingsanan)?
keduanya merancang penelitian sangat canggih, mempergunakan sekelompok sapi yang telah cukup umur (dewasa).
Pada permukaan otak kecil sapi-sapi itu dipasang elektroda (microchip) yang disebut Electro-Encephalograph (EEG), Microchip EEG dipasang di permukaan otak yang menyentuh titik (panel) rasa sakit di permukaan otak, untuk merekam dan mencatat derajat rasa sakit sapi ketika disembelih. Di jantung sapi-sapi itu juga dipasang Electro Cardiograph (ECG) untuk merekam aktivitas jantung saat darah keluar karena disembelih.
Untuk menekan kesalahan, sapi dibiarkan beradaptasi dengan EEG maupun ECG yang telah terpasang di tubuhnya selama beberapa minggu. Setelah masa adaptasi dianggap cukup, maka separuh sapi disembelih sesuai dengan Syariat Islam yang murni, dan separuh sisanya disembelih dengan menggunakan metode pemingsanan yang diadopsi Barat.
Dalam Syariat Islam, penyembelihan dilakukan dengan menggunakan pisau yang tajam, dengan memotong tiga saluran pada leher bagian depan, yakni: saluran makanan, saluran nafas serta dua saluran pembuluh darah, yaitu: arteri karotis dan vena jugularis.
Patut pula diketahui, syariat Islam tidak merekomendasikan metoda atau teknik pemingsanan. Sebaliknya, Metode Barat justru mengajarkan atau bahkan mengharuskan agar ternak dipingsankan terlebih dahulu sebelum disembelih.
Selama penelitian, EEG dan ECG pada seluruh ternak sapi itu dicatat untuk merekam dan mengetahui keadaan otak dan jantung sejak sebelum pemingsanan (atau penyembelihan) hingga ternak itu benar-benar mati. Nah, hasil penelitian inilah yang sangat ditunggu-tunggu!
Dari hasil penelitian dengan menerapkan praktek penyembelihan menurut Syariat Islam menunjukkan:
Rasa Sakit
Pada 3 detik pertama setelah ternak disembelih (dan ketiga saluran pada leher sapi bagian depan terputus), tercatat tidak ada perubahan pada grafik EEG. Hal ini berarti bahwa pada 3 detik pertama setelah disembelih itu, tidak ada indikasi rasa sakit.
Kesadaran dan Aktivitas Jantung
Pada 3 detik berikutnya, EEG pada otak kecil merekam adanya penurunan grafik secara bertahap yang sangat mirip dengan kejadian deep sleep (tidur nyenyak) hingga sapi-sapi itu benar-benar kehilangan kesadaran. pada saat tersebut, tercatat pula oleh ECG bahwa jantung mulai meningkat aktivitasnya.
Pemompaan Darah Keluar
Setelah 6 detik pertama itu, ECG pada jantung merekam adanya aktivitas luar biasa dari jantung untuk menarik sebanyak mungkin darah dari seluruh anggota tubuh dan memompanya keluar. Hal ini merupakan refleksi gerakan koordinasi antara jantung dan sumsum tulang belakang (spinal cord). Pada saat darah keluar melalui ketiga saluran yang terputus di bagian leher tersebut, grafik EEG tidak naik, tapi justru drop (turun) sampai ke zero level (angka nol). Hal ini diterjemahkan oleh kedua peneliti ahli itu bahwa: "No feeling of pain at all!" (tidak ada rasa sakit sama sekali!)
Kondisi Akhir Daging
Karena darah tertarik dan terpompa oleh jantung keluar tubuh secara maksimal, maka dihasilkan healthy meat (daging yang sehat) yang layak dikonsumsi bagi manusia. Jenis daging dari hasil sembelihan semacam ini sangat sesuai dengan prinsip Good Manufacturing Practise (GMP) yang menghasilkan Healthy Food.
Hasil penelitian dengan menerapkan praktek penyembelihan menurut metode barat menunjukkan:
Mudah Dikendalikan
Segera setelah dilakukan proses stunning (pemingsanan), sapi terhuyung jatuh dan collaps (roboh). Setelah itu, sapi tidak bergerak-gerak lagi, sehingga mudah dikendalikan, oleh karena itu, sapi dapat pula dengan mudah disembelih tanpa meronta-ronta, dan tampaknya tanpa mengalami rasa sakit pada saat disembelih, darah yang keluar hanya sedikit, tidak sebanyak bila disembelih tanpa proses stunning (pemingsanan),
Rasa Sakit
Segera setelah proses pemingsanan, tercatat adanya kenaikan yang sangat nyata pada grafik EEG. Hal itu mengindikasikan adanya tekanan rasa sakit yang diderita oleh ternak (seperti karena kepalanya dipukul, sampai jatuh pingsan).
Berhentinya Kerja Jantung
Grafik EEG meningkat sangat tajam dengan kombinasi grafik ECG yang drop ke batas paling bawah, hal ini mengindikasikan adanya peningkatan rasa sakit yang luar biasa, sehingga jantung berhenti berdetak lebih awal akibatnya, jantung kehilangan kemampuannya untuk menarik dari dari seluruh organ tubuh, serta tidak lagi mampu memompanya keluar dari tubuh.
Kondisi Akhir Daging
Karena darah tidak tertarik dan tidak terpompa keluar tubuh secara maksimal, maka darah itu pun membeku di dalam urat-urat darah dan daging, sehingga dihasilkan unhealthy meat (daging yang tidak sehat), yang dengan demikian menjadi kurang layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Disebutkan dalam ilmu dan teknologi pengolahan daging, bahwa timbunan darah beku (yang tidak keluar saat ternak mati/disembelih) merupakan tempat atau media yang sangat baik bagi tumbuh-kembangnya bakteri pembusuk, yang merupakan agen utama merusak kualitas daging.
Darah menjadi tempat berkembangnya kuman, bakteri, racun dan unsur merugikan lainnya, unsur itu yang membuat kekakuan mayat hewan oleh karena itu cara penyembelihan hewan secara Islam lebih higienis dimana semua darah dialirkan atau dibuang.
Meregangnya Ternak Bukan Ekspresi Rasa Sakit!
Kejang dan meregangkan otot pada saat ternak disembelih ternyata bukanlah ekspresi rasa sakit! Sangat jauh berbeda dengan dugaan kita sebelumnya! Bahkan mungkin sudah lazim menjadi keyakinan kita bersama, bahwa setiap darah yang keluar dari anggota tubuh yang terluka, pastilah disertai rasa sakit dan nyeri. Terlebih lagi yang terluka adalah leher dengan luka terbuka yang menganga lebar.!
Hasil penelitian Prof. Schultz dan Dr. Hazim justru membuktikan yang sebaliknya. Yakni bahwa pisau tajam yang mengiris leher (sebagai syariat Islam dalam penyembelihan ternak) ternyata tidaklah ‘menyentuh’ saraf rasa sakit. Oleh karenanya kedua peneliti ahli itu menyimpulkan bahwa sapi meronta-ronta dan meregangkan otot bukanlah sebagai ekspresi rasa sakit, melainkan sebagai ekspresi ‘keterkejutan otot dan saraf’ saja (yaitu pada saat darah mengalir keluar dengan deras). Mengapa demikian? Hal ini tentu tidak terlalu sulit untuk dijelaskan, karena grafik EEG tidak membuktikan juga tidak menunjukkan adanya rasa sakit itu.
Apabila telah disembelih, tetapi sapi tidak segera mati, bolehkah kita menusuk jantungnya?
Sering kita melihat bahwa setelah disembelih, banyak sapi yang tidak segera mati. Seringkali pula kita merasa kasihan, sehingga muncul ide di benak kita untuk menusuk jantungnya. Sikap ini umumnya berawal dari kekhawatiran kita kalau-kalau sapi terlalu lama menahan sakit.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Blackmore (1984), Daly et al. (1988), Blackman et al. (1985), dan Anil et al. (1995) di 4 negara yang berbeda membuktikan bahwa setelah disembelih, sapi memerlukan waktu lebih lama untuk benar-benar mati. Hal ini diduga disebabkan oleh ukuran tubuh sapi yang lebih besar dibandingkan kambing, domba, rusa, ayam, dll. Untuk itu, sebaiknya kita menunda hingga sapi benar-benar mati dan tidak perlu menusuk jantungnya. Bila kita menusuk jantungnya, maka jantung akan sobek dan kehilangan fungsinya untuk memompa darah, sehingga darah tidak dapat maksimal terpompa keluar tubuh. Selain itu, sobeknya jantung diduga akan menimbulkan kejutan rasa sakit yang amat sangat bagi hewan ternak yang bersangkutan.
“Sesungguhnya Allah menetapkan ihsan (kebaikan) pada segala sesuatu. Maka jika kalian membunuh hendaklah kalian berbuat ihsan dalam membunuh, dan apabila kalian menyembelih, maka hendaklah berbuat ihsan dalam menyembelih. (Yaitu) hendaklah salah seorang dari kalian menajamkan pisaunya agar meringankan binatang yang disembelihnya.” (H.R. Muslim).
Ditulis oleh:
Nanung Danar Dono, S.Pt., M.P.
Sekretaris Eksekutif LPPOM Majelis Ulama Indonesia Propinsi DIY dan Dosen Fakultas Peternakan UGM Yogyakarta. Mobile phone : 081 2277 6763
Sumber :
[You must be registered and logged in to see this link.]dengan perubahan seperlunya.