|
| Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? | |
| | |
Pengirim | Message |
---|
epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 12:04 | |
| Allah menciptakan 'ruang' dan 'waktu'. Jadi ada dua dimensi, yaitu 'kekal' dan 'waktu'.
Sifat-sifat-Nya kekal, sempurna dan tidak berubah. Tetapi ketika Allah beraktifitas di dalam 'waktu', ternyata DIA ber-SIKAP DINAMIS. Akibatnya terdapat dua dikotomi: SIFAT dan SIKAP Allah. Yang satu kekal dan tidak berubah. Sedangkan satunya lagi bersifat dinamis dan berubah-ubah.
SIKAP-Nya yang dinamis yang dilakukan-Nya DIDALAM 'WAKTU' antara lain adalah: Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), dan sebagainya.
Pertanyaan: 1. Apakah Allah BENAR-BENAR dan SUNGGUH-SUNGGUH bertindak demikian DIDALAM 'WAKTU'? 2. Kini kita masih ada di dalam 'waktu'. Apakah DIA MASIH AKAN TERUS demikian di dalam 'waktu' ini? 3. Apakah Allah yang bertindak demikian di dalam 'waktu' benar-benar Allah yang sama dengan Allah yang 'kekal' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna (tidak berubah) itu? 4. Bolehkah seseorang mempertentangkan ayat-ayat tentang SIKAP (aktifitas) Allah didalam 'waku' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang 'kekal' itu dengan tujuan mereduksi atau menghilangkan salah satu dari dua dikotomi (SIKAP-SIFAT) itu? Mengapa? 5. Apakah SIKAP-Nya di dalam 'waktu' mengubah 'SIFAT-Nya yang 'kekal'? 6. Bagaimana cara mensinkronkan keduanya, karena toh kita masih tetap berada didalam 'waktu'? Adakah cara lainnya? Mengapa?
| |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 12:21 | |
| - Quote :
- SIKAP-Nya yang dinamis yang dilakukan-Nya DIDALAM 'WAKTU' antara lain adalah: Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), dan sebagainya.
Untuk menjawab pertanyaan anda, sebenarnya dibutuhkan pengertian tentang konsep Allah. Tanpa pengertian ini memang kita mudah menjadi bingung. Mari kita menilik kepada pengajaran dari St. Thomas Aquinas, yang menurut saya sangat baik dan sangat membantu. St. Thomas melihat kepada diri manusia (yang lebih mudah dipahami, karena realitasnya sangat nyata bagi kita) untuk menjelaskan tentang Allah. Hakekat (“essence“) manusia adalah mahluk yang terdiri dari kesatuan jiwa spiritual dan tubuh, yang mempunyai akal budi dan kehendak bebas. Hakekat ini sama pada setiap orang, namun jika kita melihat ada lagi yang bersifat spesifik pada tiap-tiap manusia yang membuat setiap orang berbeda-beda, yaitu yang disebut”accidents” misalnya, warna kulit, tinggi dan berat badan, warna rambut, bangsa, bagian-bagian tubuh (kepala, dan anggota badan) dst yang bisa berubah-ubah oleh dimensi waktu. Ini disebabkan karena manusia mempunyai tubuh yang terbatas oleh ruang dan waktu. Nah, hal ini tidak ada pada diri Allah. Allah adalah spiritual Being dan tidak mempunyai tubuh. Ia tidak terbatas oleh ruang dan waktu, dan Ia tidak mempunyai “accidents” yang membuatnya berubah atau terbagi-bagi. Allah itu Satu (Kel 20:2-3; Mal 2:10; Rom 10:12; 1 Kor 8:6; 1 Kor 12:6; Gal 3:20; Ef 4:6) dan tetap selamanya (Rat 5:19; Ibr 7:24; 13:8 ). Cara lain, menurut St. Thomas, adalah dengan melihat bahwa manusia adalah mahluk komposit yang mempunyai dua unsur, yaitu jiwa (rohani) dan tubuh (jasmani). Di antara mahluk ciptaan lainnya yang mempunyai unsur jasmani (yaitu tumbuhan dan hewan), maka manusia adalah mahluk yang paling tinggi dan kompleks, tetapi di antara mahluk rohani, yaitu jika dibandingkan dengan malaikat yang tidak mempunyai tubuh jasmani, maka manusia berada di bawah malaikat. Dan kita mengetahui bahwa semakin tinggi derajat kerohaniannya, maka mahluk itu menjadi semakin sederhana, “simple“, tidak terdiri dari bagian-bagian yang kompleks. Dengan kacamata ini kita memahami bahwa Allah, sebagai Roh, adalah suatu Pribadi yang paling sederhana, satu, dan tidak terdiri dari unsur-unsur, seperti pada manusia. Maka, mari kita kembali kepada manusia, yang mempunyai kompleksitas yang tinggi dengan keaneka-ragaman sifat-sifat dan ‘accidents‘. Tubuh kita terdiri dari beberapa bagian, dan kita dikatakan ‘mempunyai’ sifat-sifat, dan sifat-sifat itu bukan hakekat kita sebagai manusia. Namun tidak demikian halnya dengan Allah. Allah adalah Maha Sempurna, Sederhana, tidak terdiri dari bagian-bagian, karena Allah adalah satu dan tetap selamanya. Ia ada sebelum segala sesuatu diciptakan, Ia adalah awal dan akhir dari segala sesuatu. Allah adalah Sumber segala sesuatu, dan Kesempurnaan dari segala sesuatu. Apapun yang baik di dunia ini hanyalah contoh sebagian kecil yang menggambarkan sifat Allah. Dan karena tidak ada bagian-bagian dalam Diri Allah, maka hakekat Allah adalah satu dan sama dengan segala sifat-sifat-Nya. Maka kita dapat mengatakan Allah itu Roh, Allah itu Kasih, Allah itu Jalan, Allah itu Kebenaran, Allah itu Kehidupan, Allah itu Kebaikan, Allah itu Keadilan, Allah itu Kekudusan, dst. Tentu pada masing-masing sifat ini, artinya Allah adalah kesempurnaan sifat-sifat itu, sehingga jangan menyamakan kasih yang kita kenal di dunia ini dengan Kasih Allah, karena Kasih Allah jauh melampaui kasih manusia, demikian pula dengan sifat- sifat Tuhan lainnya, yaitu Kebaikan, Keindahan, Kemuliaan, dst, Allah adalah kesempurnaan absolut akan semua sifat-sifat itu. Dan walaupun ada banyak sifat Allah namun, Ia tetap Satu. Walaupun Dia mempunyai Tiga Pribadi (Bapa, Putera dan Roh Kudus), namun Ia tetap Satu. Kesempurnaan Allah justru terlihat dalam kesederhanaan-Nya, di mana semuanya tergabung menjadi satu. Untuk menjawab pertanyaan anda seolah olah Allah terikat pada kondisi manusia (ruang dan waktu), kita harus mengetahui gaya berbahasa dalam Alkitab, bro. 1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya. 2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah. 3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh. 4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14). 5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu. 6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal). Jadi, Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), adalah bentuk ungkapan Personifikasi/Antropomorfis. Karena sebagai Allah yang berwujud ROH, tidaklah mungkin Dia bersifat seperti manusia yang berwujud daging. Syalom | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 12:40 | |
| [quote="bruce"] - Quote :
St. Thomas melihat kepada diri manusia (yang lebih mudah dipahami, karena realitasnya sangat nyata bagi kita) untuk menjelaskan tentang Allah.
Untuk menjawab pertanyaan anda seolah olah Allah terikat pada kondisi manusia (ruang dan waktu), kita harus mengetahui gaya berbahasa dalam Alkitab, bro.
1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya.
2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah.
3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh.
4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14).
5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu.
6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal).
Jadi, Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), adalah bentuk ungkapan Personifikasi/Antropomorfis. Karena sebagai Allah yang berwujud ROH, tidaklah mungkin Dia bersifat seperti manusia yang berwujud daging.
Syalom Koq, cepat benar, sih nge-reply-nya? Bingung, saya.... Jangan2 Anda ini mahakuasa, ya.... Ooo, jadi, St. Thomas menganjurkan agar dalam mempelajari Allah, sebaiknya melihat ke manusia... Ada orang lain lagi yang berkata belajar tentang manusia lebih baik melihat kepada Allah, dari Alkitab. Bro, memangnya gaya bahasa di atas tidak mereduksi KENYATAAN bahwa Allah BENAR-BENAR bertindak seperti yang digambarkan eksplisit di dalam Alkitab? Misalnya, sewaktu Allah 'bertanya', apakah DIA tidak benar-benar bertanya? Di thread lain Bro berkata: - bruce wrote:
Tidak juga bro. Mengapa? Karena Allah berada jauh di 'atas' batasan ruang dan waktu.
Kita ambil analogi mudah saja ya, misalkan nih saya mengajarkan anak saya yang SMP kl.2 tentang Fisika (soal listrik dsb), saya tentu tidak perlu 'menyesuaikan' kemampuan saya menjadi seperti anak SMP. Tetapi, tentu saja saya membatasi sampai dimana saya bisa mengajarkan Fisika hingga batas kemampuan anak SMP.
Betul seperti anda sebutkan di atas, bahwa 'saat' DIA berinteraksi dengan manusia, DIA berberoperasi dalam 'waktu', tetapi waktu tetap tidak berpengaruh apapun kepada DIA.
GBU Memang Bro tidak perlu menyesuaikan 'kemampuan'. Tapi Bro bisa MEMBATASI operasional dari kemampuan Bro. Pertanyaannya, apakah Allah bisa MEMBATASI operasional pengetahuan-Nya saat Dia 'bertanya', menyesal, menghukum pihak-pihak yang berperilaku tidak seperti yang diharapkan-Nya, dsb. Tolong dijelaskan, ya, Bro.... GBU | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 13:09 | |
| - Quote :
- Bro, memangnya gaya bahasa di atas tidak mereduksi KENYATAAN bahwa Allah BENAR-BENAR bertindak seperti yang digambarkan eksplisit di dalam Alkitab? Misalnya, sewaktu Allah 'bertanya', apakah DIA tidak benar-benar bertanya?
Pernahkah ada manusia yang berhadap-hadapan dengan Allah dan masih hidup bro? Sedangkan Musa 'hanya' berhadapan dengan hadirat Allah saja sudah tidak mampu karena kukuasaan Allah begitu besar. Allah tentu saja bisa 'bersabda' kepada kita manusia, tetapi dalam bentuk suara yang mampu kita dengar, kejadian yang bisa kita rasakan, dan berbagai macam 'mujijat' yang bisa kita syukuri. - Quote :
- Memang Bro tidak perlu menyesuaikan 'kemampuan'. Tapi Bro bisa MEMBATASI operasional dari kemampuan Bro. Pertanyaannya, apakah Allah bisa MEMBATASI operasional pengetahuan-Nya saat Dia 'bertanya', menyesal, menghukum pihak-pihak yang berperilaku tidak seperti yang diharapkan-Nya, dsb.
Apakah Allah bisa? Tentu kita harus katakan BISA, tetapi apakah kita MAMPU untuk berhadapan langsung dengan Allah dalam wujud kemuliaanNya, saya yakin tidak seorangpun mampu bro. Memang sulit bagi kita yang berada pada 'dimensi' yang jauh lebih rendah dari Allah mengerti tentang Allah, bro. Bagaikan kita menggambarkan suatu benda 3 dimensi dalam bidang 2 dimensi. Menjawab pertanyaan anda di atas, ijinkan saya mengutip dari KGK : KGK 105 Allah adalah penyebab [auctor] Kitab Suci. “Yang diwahyukan oleh Allah dan yang termuat serta tersedia dalam Kitab Suci telah ditulis dengan ilham Roh Kudus”….. KGK 106 Allah memberi inspirasi kepada manusia penulis [auctor] Kitab Suci. “Tetapi dalam mengarang kitab-kitab suci itu Allah memilih orang-orang, yang digunakan-Nya sementara mereka memakai kecakapan dan kemampuan mereka sendiri, supaya – sementara Dia berkarya dalam dan melalui mereka – semua itu dan hanya itu yang dikehendaki-Nya sendiri dituliskan oleh mereka sebagai pengarang yang sungguh-sungguh.” (Dei Verbum 11) KGK 109 Di dalam Kitab Suci Allah berbicara kepada manusia dengan cara manusia. Penafsir Kitab Suci harus menyelidiki dengan teliti, agar melihat, apa yang sebenarnya hendak dinyatakan para penulis suci, dan apa yang ingin diwahyukan Allah melalui kata-kata mereka (Bdk. Dei Verbum 12,1). KGK 110 Untuk melacak maksud para penulis suci, hendaknya diperhatikan situasi zaman dan kebudayaan mereka, jenis sastra yang biasa pada waktu itu, serta cara berpikir, berbicara, dan berceritera yang umumnya digunakan pada zaman teks tertentu ditulis. “Sebab dengan cara yang berbeda-beda kebenaran dikemukakan dan diungkapkan dalam nas-nas yang dengan aneka cara bersifat historis, atau profetis, atau poetis, atau dengan jenis sastra lainnya” (Dei Verbum 12,2). untuk contoh ayat yang mengatakan Allah menyesal, penjelasannya seperti ini : Kej 6:6-7 “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Berfirmanlah TUHAN,” Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu… sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka.” Pada perikop ini, dipergunakan gaya bahasa antropomorfis, yang artinya menggambarkan Allah dari perspektif manusia, atau menggunakan penggambaran yang umum digunakan oleh manusia. Gaya bahasa macam ini memang digunakan di dalam Alkitab, seperti yang nanti akan timbul lagi pada beberapa ayat yang anda tanyakan. (Silakan membaca kembali link di atas tentang prinsip menginterpretasikan Kitab Suci, terutama di bagian gaya bahasa. Karena dalam Kitab Suci, selain gaya bahasa antropomorfis/ personifikasi dipergunakan juga gaya bahasa simili, metafor, perkiraan/ prediksi, fenomenologi, dan hiperbolisme) Maka jika dikatakan Allah menyesal, itu adalah untuk menggambarkan, bahwa jika manusia yang ada di posisi Allah, maka ia akan menyesal. Namun sebenarnya, Allah sendiri telah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sebab Ia adalah Maha Tahu, sehingga keputusan-Nya tidak berubah. Tentang Allah yang tidak berubah ini disebutkan dalam Bil 23:19. Jadi ungkapan “Allah menyesal” ini adalah untuk menghubungkan akan apa yang kemungkinan dirasakan oleh Allah, jika ditinjau dari sudut pandang manusia. Syalom | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 16:07 | |
| Syallom, Bro, Terima kasih untuk penjelasannya mengenai Kitab Suci menurut KGK... Saya bisa menerimanya, walaupun mungkin perlu penjelasan dalam penerapannya. - bruce wrote:
-
- Quote :
- Bro, memangnya gaya bahasa di atas tidak mereduksi KENYATAAN bahwa Allah BENAR-BENAR bertindak seperti yang digambarkan eksplisit di dalam Alkitab? Misalnya, sewaktu Allah 'bertanya', apakah DIA tidak benar-benar bertanya?
Pernahkah ada manusia yang berhadap-hadapan dengan Allah dan masih hidup bro? Sedangkan Musa 'hanya' berhadapan dengan hadirat Allah saja sudah tidak mampu karena kukuasaan Allah begitu besar.
Allah tentu saja bisa 'bersabda' kepada kita manusia, tetapi dalam bentuk suara yang mampu kita dengar, kejadian yang bisa kita rasakan, dan berbagai macam 'mujijat' yang bisa kita syukuri.
......
Kej 6:6-7 “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya. Berfirmanlah TUHAN,” Aku akan menghapuskan manusia yang telah Kuciptakan itu… sebab Aku menyesal, bahwa Aku telah menjadikan mereka.”
Pada perikop ini, dipergunakan gaya bahasa antropomorfis, yang artinya menggambarkan Allah dari perspektif manusia, atau menggunakan penggambaran yang umum digunakan oleh manusia. Gaya bahasa macam ini memang digunakan di dalam Alkitab, seperti yang nanti akan timbul lagi pada beberapa ayat yang anda tanyakan. (Silakan membaca kembali link di atas tentang prinsip menginterpretasikan Kitab Suci, terutama di bagian gaya bahasa. Karena dalam Kitab Suci, selain gaya bahasa antropomorfis/ personifikasi dipergunakan juga gaya bahasa simili, metafor, perkiraan/ prediksi, fenomenologi, dan hiperbolisme)
Maka jika dikatakan Allah menyesal, itu adalah untuk menggambarkan, bahwa jika manusia yang ada di posisi Allah, maka ia akan menyesal. Namun sebenarnya, Allah sendiri telah mengetahui segala sesuatu yang akan terjadi, sebab Ia adalah Maha Tahu, sehingga keputusan-Nya tidak berubah. Tentang Allah yang tidak berubah ini disebutkan dalam Bil 23:19. Jadi ungkapan “Allah menyesal” ini adalah untuk menghubungkan akan apa yang kemungkinan dirasakan oleh Allah, jika ditinjau dari sudut pandang manusia.
Syalom A. SIFAT Allah "diatas waktu" dan SIKAP Allah "didalam waktu".1. Saya percaya bahwa SIFAT-SIFAT Allah yang kekal itu tidak pernah berubah. Tapi pernyataan Bro tentang Musa yang tidak mati ketika berhadapan dengan Allah, justru menyatakan bahwa operasional dari SIFAT-SIFAT Allah (dalam hal ini adalah Kemahakudusan-Nya) mengalami penyesuaian saat DIA berada di dalam waktu. Kualitas kekudusan-Nya DIA kurangi ' sesaat' ketika DIA berada didalam 'waktu'. Nah, kalau Allah mampu membatasi operasional Kemahakudusan-Nya di dalam 'waktu', apakah Dia mampu membatasi kemahatahuan-Nya di dalam 'waktu'? Kalau ditanya soal "BISA", maka jawaban Bro, tentu saja Allah BISA. Nah, saat Allah mengoperasikan ke-BISA-an-Nya itu di dalam 'waktu', apakah Allah yang SEDANG beraktifitas di dalam waktu itu dapat dikatakan Mahatahu? Maaf, Bro, yang saya tanyakan adalah yang DIDALAM WAKTU dan BUKAN yang diatas 'waktu'. B. Sungguh-sungguh terjadi, atau hanya simbolik ("menggambarkan")?
1. Pertanyaan saya, Bro, "Apakah peristiwa 'Allah menyesal', memang benar-benar terjadi demikian, atau sebenarnya Allah tidak pernah menyesal karena DIA Mahatahu"? Apakah saat itu Allah tidak benar-benar menyesal? Jika memang Allah INGIN menggambarkan sesuatu, adakah INDIKASI yang jelas tentang hal itu dalam konteks ayat tsb? 2. Dalam hemat saya, 'menyesal' adalah PERNYATAAN Allah sendiri tentang dinamika emosi dan pikiran-Nya yang SEDANG beroperasi 'didalam waktu'. Apakah suatu tafsiran boleh dikatakan 'sah' jika hasil pernafsiran itu akhirnya mereduksi "PERNYATAAN Allah sendiri" (tentang diri-Nya sendiri itu)? Mana yang harus saya ikuti: pernyataan Allah tentang diri-Nya sendiri, atau pernyataan penafsir tentang Allah? Bagaimana sikap kita jika penafsiran manusia ternyata tidak sesuai dengan (mengubah) pernyataan eksplisit di dalam satu ayat, terlebih lagi yang berkaitan dengan Allah? 3. Sedangkan yang Bro katakan ("sebab Ia adalah Maha Tahu, sehingga keputusan-Nya tidak berubah") merujuk pada SIFAT Allah yang memang tidak berubah, kekal dan 'diatas waktu'. Bukankah dalam uraian KGK di atas dinyatakan bahwa menafsirkan ayat harus sesuai dengan konteksnya? Jika konteks dari "Allah menyesal" adalah konteks 'didalam waktu', sedangkan SIFAT-SIFAT Allah (Mahatahu, Mahakuasa dan Mahakudus) adalah konteks yang berada 'diatas waktu', maka bolehkah kita menafsirkan konteks 'didalam waktu' dengan perspektif (konteks) 'diluar waktu'? Blessings, | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 17:20 | |
| - Quote :
- Nah, saat Allah mengoperasikan ke-BISA-an-Nya itu di dalam 'waktu', apakah Allah yang SEDANG beraktifitas di dalam waktu itu dapat dikatakan Mahatahu? Maaf, Bro, yang saya tanyakan adalah yang DIDALAM WAKTU dan BUKAN yang diatas 'waktu'.
Bro, seperti yang saya contohkan saat mengajar matematika smp itu, saat saya mengajar matematika smp tentu saya tidak kehilangan kemampuan matematika tinggi yang saya kuasai kan? Saya batasi apa yang saya sampaikan itu betul, tetapi saya tidak kehilangan kemampuan matematika saya hanya karena saya mengajar anak smp, bukankah begitu? Maka mengacu pada contoh sederhana di atas, Allah yang Maha Tahu dan Maha Kuasa, tidak akan kehilangan Kemahatahuan dan Kemahakuasaan Nya walau sedang berada pada 'derajad' atau dimensi manusia. - Quote :
- 1. Pertanyaan saya, Bro, "Apakah peristiwa 'Allah menyesal', memang benar-benar terjadi demikian, atau sebenarnya Allah tidak pernah menyesal karena DIA Mahatahu"? Apakah saat itu Allah tidak benar-benar menyesal? Jika memang Allah INGIN menggambarkan sesuatu, adakah INDIKASI yang jelas tentang hal itu dalam konteks ayat tsb?
Kalau menurut hemat saya, maka peristiwa Allah menyesal tersebut bersifat simbolik. Mengapa? Karena alasan yang sudah saya post itu (Allah Maha Tahu), dan kedua, siapa yang menjadi saksi 'penyesalan' Allah itu? Jadi lebih cocok Allah mewahyukan kepada penulis Pentateuch bahwa sifat manusia itu tidak berkenan bagiNya. Digambarkan dengan 'penyesalan' Allah, agar lebih mudah dimengerti oleh manusia penulis dan pembacanya. - Quote :
- 2. Dalam hemat saya, 'menyesal' adalah PERNYATAAN Allah sendiri tentang dinamika emosi dan pikiran-Nya yang SEDANG beroperasi 'didalam waktu'. Apakah suatu tafsiran boleh dikatakan 'sah' jika hasil pernafsiran itu akhirnya mereduksi "PERNYATAAN Allah sendiri" (tentang diri-Nya sendiri itu)? Mana yang harus saya ikuti: pernyataan Allah tentang diri-Nya sendiri, atau pernyataan penafsir tentang Allah? Bagaimana sikap kita jika penafsiran manusia ternyata tidak sesuai dengan (mengubah) pernyataan eksplisit di dalam satu ayat, terlebih lagi yang berkaitan dengan Allah?
Bro, pasti anda setuju bahwa Allah adalah wujud ROH yang paling murni. Bahwa tidak ada sedikitpun sifat buruk pada Allah. Maka, rasanya agak mustahil jika kita katakan Allah punya emosi (marah, senang, sedih, duka, kecewa dan sebagainya yang bersifat manusiawi). Jika nda menganggap bahwa Allah berkata dengan sebenarnya seperti tertulis itu, tentu tidak salah jika anda mempercayainya seperti tertulis. Tidak ada keharusan untuk anda menyangkal apa yang anda percayai, bro. Tetapi, akan lain jika bicara masalah theology, dimana kita mempelajari dan berusaha mengenal lebih jauh tentang Allah itu sendiri. Kita belajar dari para pemikir yang sudah sangat pakar, para Bapa Gereja yang memang mendedikasikan pikirannya untuk mengenal lebih jauh sosok Allah itu. Karena akan ternyata kemudian, bahwa dengan mengetahui dan mengenal sosok Allah itu sendiri, justru semakin membuat iman kita sangat kuat, dan semakin besar kecintaan kita pada Allah. - Quote :
- 3. Sedangkan yang Bro katakan ("sebab Ia adalah Maha Tahu, sehingga keputusan-Nya tidak berubah") merujuk pada SIFAT Allah yang memang tidak berubah, kekal dan 'diatas waktu'. Bukankah dalam uraian KGK di atas dinyatakan bahwa menafsirkan ayat harus sesuai dengan konteksnya? Jika konteks dari "Allah menyesal" adalah konteks 'didalam waktu', sedangkan SIFAT-SIFAT Allah (Mahatahu, Mahakuasa dan Mahakudus) adalah konteks yang berada 'diatas waktu', maka bolehkah kita menafsirkan konteks 'didalam waktu' dengan perspektif (konteks) 'diluar waktu'?
Sepertinya sudah terjawab pada jawaban saya di atas, bahwa dengan 'turun' ke 'drajad'/dimensi manusia, Allah tidak akan kekurangan Kemahatahuan ataupun KemahakuasaanNya. GBU | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 27th September 2011, 23:06 | |
| - bruce wrote:
-
- Quote :
- Nah, saat Allah mengoperasikan ke-BISA-an-Nya itu di dalam 'waktu', apakah Allah yang SEDANG beraktifitas di dalam waktu itu dapat dikatakan Mahatahu? Maaf, Bro, yang saya tanyakan adalah yang DIDALAM WAKTU dan BUKAN yang diatas 'waktu'.
Bro, seperti yang saya contohkan saat mengajar matematika smp itu, saat saya mengajar matematika smp tentu saya tidak kehilangan kemampuan matematika tinggi yang saya kuasai kan? Saya batasi apa yang saya sampaikan itu betul, tetapi saya tidak kehilangan kemampuan matematika saya hanya karena saya mengajar anak smp, bukankah begitu? Betul, Bro, dan saya juga sudah mengatakan dengan merujuk pada ilustrasi Anda itu, “Saya setuju bahwa saat mengajar matematika sama sekali tidak menghilangkan KEMAMPUAN Anda”. Demikian juga dengan Allah, saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, itu tidak menghilangkan atau mengurangi SIFAT-SIFAT sempurna DIA yang ada ‘di atas waktu’. Yang saya tanyakan adalah: Jika Kemahatahuan Allah tidak berubah di atas ‘waktu’, sementara DIA mampu membatasi pengetahuan-Nya saat BEROPERASI didalam ‘waktu’, maka pertanyaannya: “PADA SAAT Allah SEDANG BEROPERASI (beraktifitas) di dalam ‘waktu’, apakah Allah SELALU mengoperasikan SIFAT Kemahatahuan-Nya?” (Ingat tentang ilustrasi Kemahakudusan Allah yang dapat DiaBATASI sehingga Musa tidak tewas). Jadi sekali lagi, yang saya tanyakan adalah PADA SAAT Allah sedang BEROPERASI di dalam ‘waktu’, bukan saat DIA sedang berada diatas ‘waktu’. - bruce wrote:
- Quote :
- 1. Pertanyaan saya, Bro, "Apakah peristiwa 'Allah menyesal', memang benar-benar terjadi demikian, atau sebenarnya Allah tidak pernah menyesal karena DIA Mahatahu"? Apakah saat itu Allah tidak benar-benar menyesal? Jika memang Allah INGIN menggambarkan sesuatu, adakah INDIKASI yang jelas tentang hal itu dalam konteks ayat tsb?
Kalau menurut hemat saya, maka peristiwa Allah menyesal tersebut bersifat simbolik. Mengapa? Karena alasan yang sudah saya post itu (Allah Maha Tahu), dan kedua, siapa yang menjadi saksi 'penyesalan' Allah itu?
Jadi lebih cocok Allah mewahyukan kepada penulis Pentateuch bahwa sifat manusia itu tidak berkenan bagiNya. Digambarkan dengan 'penyesalan' Allah, agar lebih mudah dimengerti oleh manusia penulis dan pembacanya.
- Quote :
- 2. Dalam hemat saya, 'menyesal' adalah PERNYATAAN Allah sendiri tentang dinamika emosi dan pikiran-Nya yang SEDANG beroperasi 'didalam waktu'. Apakah suatu tafsiran boleh dikatakan 'sah' jika hasil pernafsiran itu akhirnya mereduksi "PERNYATAAN Allah sendiri" (tentang diri-Nya sendiri itu)? Mana yang harus saya ikuti: pernyataan Allah tentang diri-Nya sendiri, atau pernyataan penafsir tentang Allah? Bagaimana sikap kita jika penafsiran manusia ternyata tidak sesuai dengan (mengubah) pernyataan eksplisit di dalam satu ayat, terlebih lagi yang berkaitan dengan Allah?
Bro, (sorry, saya ganti/tambah ayat ini) KEJADIAN 6:7 itu bukan pernyataan tidak langsung dari Allah yang harus dikutip oleh penulis Pentateukh, melainkan benar-benar PERNYATAAN Allah sendiri secara langsung tentang apa yang terjadi di dalam Diri-Nya. Demikian juga dalam I Sam. 15:11, “AKU menyesal telah menjadikan Saul raja…”. Itu benar-benar kalimat langsung dari Allah. - bruce wrote:
- Quote :
- 1. Pertanyaan saya, Bro, "Apakah peristiwa 'Allah menyesal', memang benar-benar terjadi demikian, atau sebenarnya Allah tidak pernah menyesal karena DIA Mahatahu"? Apakah saat itu Allah tidak benar-benar menyesal? Jika memang Allah INGIN menggambarkan sesuatu, adakah INDIKASI yang jelas tentang hal itu dalam konteks ayat tsb?
Kalau menurut hemat saya, maka peristiwa Allah menyesal tersebut bersifat simbolik. Mengapa? Karena alasan yang sudah saya post itu (Allah Maha Tahu), dan kedua, siapa yang menjadi saksi 'penyesalan' Allah itu?
Jadi lebih cocok Allah mewahyukan kepada penulis Pentateuch bahwa sifat manusia itu tidak berkenan bagiNya. Digambarkan dengan 'penyesalan' Allah, agar lebih mudah dimengerti oleh manusia penulis dan pembacanya.
Tentu saja tidak diperlukan saksi lain selain Allah sendiri (karena DIA sungguh-sungguh sedang mengungkapkan perasaan-Nya), dan setidaknya memang penulis Pentateukh itulah saksinya. Sekali lagi, sama sekali tidak dikatakan “penyesalan Allah”, melainkan “AKU menyesal”. MUNGKIN jika itu bukan kalimat langsung, maka dapat dinyatakan sebagai simbolik. Tapi jika itu merupakan kalimat langsung, maka Allah memang sedang sungguh-sungguh memaksudkan apa yang SEDANG dikatakan-Nya itu. Begini, Bro… saya agak berlambat-lambat sedikit sambil menunggu Calvinis hadir di sini. Kalau mereka hadir, pasti akan langsung menyerang saya. Mereka tahu persis apa yang saya sedang tuliskan di sini. Apa yang saya nyatakan di sini adalah sesuatu yang masih ‘baru’ dan ‘mentah’ (artinya, saya belum mengadopsinya menjadi bagian dari keyakinan saya, tapi ingin mengujinya lebih dahulu). Tapi, sekalipun begitu, kalangan Calvinis sudah memvonis pendirian seperti di atas sebagai ‘keliru’. Jadi, sementara mereka belum hadir, saya mau bertanya: “Apakah Bro seorang yang ‘open minded’?” Maksud saya, seorang yang ‘open minded’ adalah seorang yang tidak terburu-buru memasang defence-mechanism, melainkan senang menguji keyakinan yang selama ini sudah dianggap benar. Saya sama sekali tidak bermaksud membuktikan Bro keliru, karena memang saya tidak memiliki alat ukur (batu penguji) untuk ‘menilai’ benar-tidaknya keyakinan Bro (tapi kalau terhadap Calvinis, ya, mereka punya batu pengujinya, dan mereka tahu bahwa itu dapat digunakan untuk menguji keyakinan mereka. Jika Bro seorang yang memang ‘open minded’, maka saya ingin membicarakan tentang keabsahan ‘kapan’ kita boleh menggunakan alat penafsir yang disebut ‘gaya bahasa’ itu, dan kapan hal itu sepatutnya tidak digunakan. Apa alat ukurnya? Tidak tahu, Bro…. Justru kita berbincang disini adalah untuk berupaya menemukan alat ukurnya itu… he… he… he… Sorry, ya, Bro…. Abaikan saja kalau tidak berkenan… - bruce wrote:
- Quote :
- 2. Dalam hemat saya, 'menyesal' adalah PERNYATAAN Allah sendiri tentang dinamika emosi dan pikiran-Nya yang SEDANG beroperasi 'didalam waktu'. Apakah suatu tafsiran boleh dikatakan 'sah' jika hasil pernafsiran itu akhirnya mereduksi "PERNYATAAN Allah sendiri" (tentang diri-Nya sendiri itu)? Mana yang harus saya ikuti: pernyataan Allah tentang diri-Nya sendiri, atau pernyataan penafsir tentang Allah? Bagaimana sikap kita jika penafsiran manusia ternyata tidak sesuai dengan (mengubah) pernyataan eksplisit di dalam satu ayat, terlebih lagi yang berkaitan dengan Allah?
Bro, pasti anda setuju bahwa Allah adalah wujud ROH yang paling murni. Bahwa tidak ada sedikitpun sifat buruk pada Allah. Maka, rasanya agak mustahil jika kita katakan Allah punya emosi (marah, senang, sedih, duka, kecewa dan sebagainya yang bersifat manusiawi).
Jika nda menganggap bahwa Allah berkata dengan sebenarnya seperti tertulis itu, tentu tidak salah jika anda mempercayainya seperti tertulis. Tidak ada keharusan untuk anda menyangkal apa yang anda percayai, bro.
Tetapi, akan lain jika bicara masalah theology, dimana kita mempelajari dan berusaha mengenal lebih jauh tentang Allah itu sendiri. Kita belajar dari para pemikir yang sudah sangat pakar, para Bapa Gereja yang memang mendedikasikan pikirannya untuk mengenal lebih jauh sosok Allah itu.
Karena akan ternyata kemudian, bahwa dengan mengetahui dan mengenal sosok Allah itu sendiri, justru semakin membuat iman kita sangat kuat, dan semakin besar kecintaan kita pada Allah. Itu dia, Bro, masalahnya: tentang hal ‘diatas waktu’ pun kita masih menduga-duga apakah Allah itu memang tidak memiliki perangkat emotif. Namun, didalam ‘waktu’, hal itu sangat gamblang dan tegas. Pertanyaannya: “ Apakah pembaca Alkitab BOLEH mengabaikan PENYATAAN Diri Allah DI DALAM ‘WAKTU’, hanya karena dua hal ini: (2.a.) penekanan sudut pandang teologis (Bro mengatakan, “Tetapi, akan lain jika bicara masalah theology “) yang merupakan hasil karya penafsiran manusia (sementara Alkitab menuliskan secara ‘eksplisit’ tentang dinamika emotif-Nya?); (2.b.) adanya peraturan dalam menafsirkan Alkitab yang disebut ‘gaya bahasa’? Memang benar tidak ada keharusan untuk menyangkal apa yang saya percayai. Tapi karena Roh Kudus terus bekerja menyingkapkan kebenaran kepada para pembaca Alkitab, maka ada kemungkinan DIA memberikan semacam ‘pencerahan’ baru. Itu sebabnya saya ungkap tentang ‘open minded’ tadi. Namun, mungkin itu hanya pendirian saya, yang bisa saja berbeda dengan Anda. Saya menghormati tradisi (walaupun dan anehnya, saya tidak tahu tentang itu dan juga tentang sejarah gereja, bahkan bahasa asli…. He…. He....), walaupun terkadang satu gerakan 'pembaharuan', yang 'mungkin' dilakukan oleh Roh Kudus, kadang tidak mengakar pada tradisi (pembaharuan ekstrim?). Namun, kadang Roh Kudus juga bukan hanya menggunakan para ‘elit’ (maaf) rohaniwan saja. Alkitab mengungkapkan bahwa Roh Kudus dapat bekerja di segala aras. Saya sangat setuju dengan pernyataan Bro, “Karena akan ternyata kemudian, bahwa dengan mengetahui dan mengenal sosok Allah itu sendiri, justru semakin membuat iman kita sangat kuat, dan semakin besar kecintaan kita pada Allah.” Amin. - bruce wrote:
- Quote :
- 3. Sedangkan yang Bro katakan ("sebab Ia adalah Maha Tahu, sehingga keputusan-Nya tidak berubah") merujuk pada SIFAT Allah yang memang tidak berubah, kekal dan 'diatas waktu'. Bukankah dalam uraian KGK di atas dinyatakan bahwa menafsirkan ayat harus sesuai dengan konteksnya? Jika konteks dari "Allah menyesal" adalah konteks 'didalam waktu', sedangkan SIFAT-SIFAT Allah (Mahatahu, Mahakuasa dan Mahakudus) adalah konteks yang berada 'diatas waktu', maka bolehkah kita menafsirkan konteks 'didalam waktu' dengan perspektif (konteks) 'diluar waktu'?
Sepertinya sudah terjawab pada jawaban saya di atas, bahwa dengan 'turun' ke 'drajad'/dimensi manusia, Allah tidak akan kekurangan Kemahatahuan ataupun KemahakuasaanNya.
GBU Betul, Bro, saya setuju dengan hal itu. Dan Bro sendiri juga tahu tentang itu. Tapi, ketika di dalam ‘waktu’, mengapa Allah kadang suka bertanya? Memang Kemahatahuannya tidak berkurang, sekalipun DIA bertanya. Persoalannya: ketika DIA bertanya, itu DIA lakukan didalam ‘waktu’. Nah, saat di dalam ‘waktu’ itu, apakah Allah tetap Mahatahu (TANPA membuat SIFAT Allah yang Mahatahu ‘diatas waktu’ itu berkurang atau berubah)? Jadi, untuk sementara pertanyaan terakhir di atas (nomer 3, tentang “bolehkah”, yang nantinya mungkin akan berkembang menjadi “atau justru harus”?) kita tunda saja dulu. Begitu, Bro… GBU too, | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 28th September 2011, 01:20 | |
| - Quote :
- Betul, Bro, dan saya juga sudah mengatakan dengan merujuk pada ilustrasi Anda itu, “Saya setuju bahwa saat mengajar matematika sama sekali tidak menghilangkan KEMAMPUAN Anda”.
Demikian juga dengan Allah, saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, itu tidak menghilangkan atau mengurangi SIFAT-SIFAT sempurna DIA yang ada ‘di atas waktu’.
Yang saya tanyakan adalah: Jika Kemahatahuan Allah tidak berubah di atas ‘waktu’, sementara DIA mampu membatasi pengetahuan-Nya saat BEROPERASI didalam ‘waktu’, maka pertanyaannya:
“PADA SAAT Allah SEDANG BEROPERASI (beraktifitas) di dalam ‘waktu’, apakah Allah SELALU mengoperasikan SIFAT Kemahatahuan-Nya?” (Ingat tentang ilustrasi Kemahakudusan Allah yang dapat DiaBATASI sehingga Musa tidak tewas).
Jadi sekali lagi, yang saya tanyakan adalah PADA SAAT Allah sedang BEROPERASI di dalam ‘waktu’, bukan saat DIA sedang berada diatas ‘waktu’. Ehhhhm, boleh tahu apa sebab anda berkeras bahwa Allah mengurangi Kemaha-tahuannya saat 'turun gunung' itu bro ? - Quote :
- Bro, (sorry, saya ganti/tambah ayat ini) KEJADIAN 6:7 itu bukan pernyataan tidak langsung dari Allah yang harus dikutip oleh penulis Pentateukh, melainkan benar-benar PERNYATAAN Allah sendiri secara langsung tentang apa yang terjadi di dalam Diri-Nya. Demikian juga dalam I Sam. 15:11, “AKU menyesal telah menjadikan Saul raja…”. Itu benar-benar kalimat langsung dari Allah.
Tetap sama bro, Alkitab kita tidak jatuh dari langit dalam bentuk buku, tetapi ditulis oleh manusia atas wahyu Ilahi. Jadi, Allah memberikan wahyu yang dapat dicerna oelh sang penulis dan pembacanya kelak. - Quote :
- Saya sama sekali tidak bermaksud membuktikan Bro keliru, karena memang saya tidak memiliki alat ukur (batu penguji) untuk ‘menilai’ benar-tidaknya keyakinan Bro (tapi kalau terhadap Calvinis, ya, mereka punya batu pengujinya, dan mereka tahu bahwa itu dapat digunakan untuk menguji keyakinan mereka.
Jika Bro seorang yang memang ‘open minded’, maka saya ingin membicarakan tentang keabsahan ‘kapan’ kita boleh menggunakan alat penafsir yang disebut ‘gaya bahasa’ itu, dan kapan hal itu sepatutnya tidak digunakan. Apa alat ukurnya? Tidak tahu, Bro…. Justru kita berbincang disini adalah untuk berupaya menemukan alat ukurnya itu… he… he… he…
Sorry, ya, Bro…. Abaikan saja kalau tidak berkenan Silahkan bro, saya terbuka untuk menerima perbedaan, tetapi tentu saja saya tidak bisa menjanjikan pasti menerima pendapat orang, seperti juga saya harapkan hal yang sama dari lawan diskusi saya. Karena untuk bicara soal Tuhan, maka hanya satu yang bisa secara mutlak berkata benar, yakni Tuhan itu sendiri. Tetapi, seperti juga seperti kita belajar sejarah, maka dari orang yang memang mengetahui peristiwa itulah kita bisa percaya. Begitu juga untuk belajar Alkitab, kita bisa belajar banyak dari para Bapa Gereja, dimana mereka hidup hanya berselang waktu beberapa puluh/ratus tahun saja dari peristiwa yang tertulis, mereka memang bertugas untuk mempelajari isi Alkitab, mereka memang para ahli yang ditugaskan untuk itu. Tentulah jauh dari sekedar kita yang hanya 'amatiran' dan sekedar 'hobby'. Penerangan Roh Kudus? Saya percaya bisa tercurah pada semua orang. Tetapi apa kemudian kita bisa merasa bahwa kemampuan kita dalam mempelajari Alkitab menjadi lebih 'hebat' dari mereka yang memang dijamah Roh Kudus untuk memberi penerangan kepada umatNya? Sekedar contoh adalah penentuan kanon Alkitab, adalah mustahil sembarang orang bisa menentukan kitab mana yang bisa dianggap sebagai kitab suci, dan kitab mana yang bisa dianggap sebagai kitab yang tergolong sesat. Dan dari mereka jugalah kita bisa percaya untuk menerima penjelasan yang sesungguhnya. Syalom | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 28th September 2011, 13:05 | |
| - bruce wrote:
-
- Quote :
- Betul, Bro, dan saya juga sudah mengatakan dengan merujuk pada ilustrasi Anda itu, “Saya setuju bahwa saat mengajar matematika sama sekali tidak menghilangkan KEMAMPUAN Anda”.
Demikian juga dengan Allah, saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, itu tidak menghilangkan atau mengurangi SIFAT-SIFAT sempurna DIA yang ada ‘di atas waktu’.
Yang saya tanyakan adalah: Jika Kemahatahuan Allah tidak berubah di atas ‘waktu’, sementara DIA mampu membatasi pengetahuan-Nya saat BEROPERASI didalam ‘waktu’, maka pertanyaannya:
“PADA SAAT Allah SEDANG BEROPERASI (beraktifitas) di dalam ‘waktu’, apakah Allah SELALU mengoperasikan SIFAT Kemahatahuan-Nya?” (Ingat tentang ilustrasi Kemahakudusan Allah yang dapat DiaBATASI sehingga Musa tidak tewas).
Jadi sekali lagi, yang saya tanyakan adalah PADA SAAT Allah sedang BEROPERASI di dalam ‘waktu’, bukan saat DIA sedang berada diatas ‘waktu’. Ehhhhm, boleh tahu apa sebab anda berkeras bahwa Allah mengurangi Kemaha-tahuannya saat 'turun gunung' itu bro ? Indikasi Allah kadang-kadang membatasi Kemahatahuan-Nya saat beraktifitas di dalam ‘waktu’Syallom, Bro. Bruce… Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya. Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya. Ketiga, dalam Kitab Wahyu disebutkan “barangsiapa menang”. Ini juga mengarah kepada pembatasan diri ‘sesaat’ dalam aspek Kemahatahuan-Nya. Keempat, Allah menampilkan Diri bukan hanya melalui aspek transendensi-Nya, melainkan juga sisi imanensinya, yang keduanya tidak saling mereduksi. Dari sisi emanensi-Nya inilah DIA benar-benar memaksudkan setiap tindakan dan aktifitas-Nya di dalam ‘waktu’ (bertanya, berharap, mencari, merespon, dll). - bruce wrote:
- Quote :
- Bro, (sorry, saya ganti/tambah ayat ini) KEJADIAN 6:7 itu bukan pernyataan tidak langsung dari Allah yang harus dikutip oleh penulis Pentateukh, melainkan benar-benar PERNYATAAN Allah sendiri secara langsung tentang apa yang terjadi di dalam Diri-Nya. Demikian juga dalam I Sam. 15:11, “AKU menyesal telah menjadikan Saul raja…”. Itu benar-benar kalimat langsung dari Allah.
Tetap sama bro, Alkitab kita tidak jatuh dari langit dalam bentuk buku, tetapi ditulis oleh manusia atas wahyu Ilahi. Jadi, Allah memberikan wahyu yang dapat dicerna oelh sang penulis dan pembacanya kelak. Ya, saya setuju dengan orientasi kepada pembaca. Tapi kita tidak mengaggap bahwa kemampuan ‘mencerna’ yang dimiliki pembaca akan berhenti atau stagnan (melainkan dinamis dan terus berkembang), 'kan? Dan sekarang ternyata ada sebagian pembacanya yang mulai memahami sebagian daripadanya dengan cara yang berbeda, yaitu: di dalam ‘waktu’ terkadang Allah memang ber-SIKAP dinamis, TANPA mereduksi SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal dan sempurna itu. Dan saat DIA beraktifitas berada di dalam ‘waktu’ (hingga detik ini), DIA memang Allah yang ‘dekat’, dan berinteraksi dengan manusia dengan cara yang ‘mirip’ dengan manusia, TANPA mereduksi SIFAT-SIFAT ke-Allah-an-Nya yang kekal dan sempurna itu. - bruce wrote:
- Quote :
- Saya sama sekali tidak bermaksud membuktikan Bro keliru, karena memang saya tidak memiliki alat ukur (batu penguji) untuk ‘menilai’ benar-tidaknya keyakinan Bro (tapi kalau terhadap Calvinis, ya, mereka punya batu pengujinya, dan mereka tahu bahwa itu dapat digunakan untuk menguji keyakinan mereka.
Jika Bro seorang yang memang ‘open minded’, maka saya ingin membicarakan tentang keabsahan ‘kapan’ kita boleh menggunakan alat penafsir yang disebut ‘gaya bahasa’ itu, dan kapan hal itu sepatutnya tidak digunakan. Apa alat ukurnya? Tidak tahu, Bro…. Justru kita berbincang disini adalah untuk berupaya menemukan alat ukurnya itu… he… he… he…
Sorry, ya, Bro…. Abaikan saja kalau tidak berkenan
Silahkan bro, saya terbuka untuk menerima perbedaan, tetapi tentu saja saya tidak bisa menjanjikan pasti menerima pendapat orang, seperti juga saya harapkan hal yang sama dari lawan diskusi saya. Karena untuk bicara soal Tuhan, maka hanya satu yang bisa secara mutlak berkata benar, yakni Tuhan itu sendiri.
Tetapi, seperti juga seperti kita belajar sejarah, maka dari orang yang memang mengetahui peristiwa itulah kita bisa percaya. Begitu juga untuk belajar Alkitab, kita bisa belajar banyak dari para Bapa Gereja, dimana mereka hidup hanya berselang waktu beberapa puluh/ratus tahun saja dari peristiwa yang tertulis, mereka memang bertugas untuk mempelajari isi Alkitab, mereka memang para ahli yang ditugaskan untuk itu. Tentulah jauh dari sekedar kita yang hanya 'amatiran' dan sekedar 'hobby'.
Penerangan Roh Kudus? Saya percaya bisa tercurah pada semua orang. Tetapi apa kemudian kita bisa merasa bahwa kemampuan kita dalam mempelajari Alkitab menjadi lebih 'hebat' dari mereka yang memang dijamah Roh Kudus untuk memberi penerangan kepada umatNya?
Sekedar contoh adalah penentuan kanon Alkitab, adalah mustahil sembarang orang bisa menentukan kitab mana yang bisa dianggap sebagai kitab suci, dan kitab mana yang bisa dianggap sebagai kitab yang tergolong sesat. Dan dari mereka jugalah kita bisa percaya untuk menerima penjelasan yang sesungguhnya.
Syalom “Lebih hebat”? Wah, saya tidak memiliki mindset komparatif begitu, Bro…. “Kanonisasi Alkitab”? Oya, Bro pernah menanyakan (di thread lain) apa aliran kekristenan saya, ‘kan? Saya tidak menjawab dengan bentuk lembaganya (“physical body”), melainkan ‘fahamnya”, yaitu saya penganut Sola Scriptura. Dengan demikian saya mengimani dua hal tentang ketidak-keliruan: (1) Saat penulis Alkitab menuliskan kitab-kitabnya, mereka dijagai Allah agar tidak melakukan kekeliruan. (2) Saat kanonisasi Alkitab, juga tidak terjadi kekeliruan. (Jangan tanya lebih lanjut tentang hal ini, karena saya ‘gaptek’, termasuk bahasa asli Alkitab dan sejarah.) Jadi, selain dua hal di atas, para pembaca Alkitab tetap memiliki kemungkinan kekeliruan. Itu sebabnya dibutuhkan forum diskusi seperti ini untuk saling mengingatkan dan menegur, serta saling melangkapi. Seperti yang sudah saya ungkapkan sebelumnya, saya tidak menyangkal keberadaan dan fungsi sejarah dan tradisi, termasuk kemungkinan bahwa Roh Kudus bergerak di aras akar rumput (umat, jemaat, ‘amatiran’). Sikap saya ini juga berarti bahwa saya tidak memiliki semangat saling mereduksi antara sejarah/tradisi dengan perkembangan dinamis kontemporer; antara ‘profesional’ dan ‘amatir’. Terakhir, tentang diskusi kita… Latar BelakangBegini, Bro… Pendirian teologis yang saya paparkan di atas barulah saya temukan belum satu minggu ini (dan saya pun belum menguasai sama sekali argumen-argumen baik dari pihak yang pro, maupun yang kontra). Jadi tidak mungkin saya langsung menelan mentah-mentah begitu saja. Pendirian di atas datang dari kalangan ‘elit’ teolog yang (umumnya) berlatarbelakang Calvinis. Tentu saja pihak pertama yang keberatan dan mengkritik pendirian di atas adalah kalangan Calvinis itu sendiri. Saat ini, pendirian di atas (untuk sementara) nampaknya sudah ‘dianggap’ keliru (kecuali satu orang yang masih terus dipertimbangkan kebenarannya, tapi kini sudah wafat), dan karenanya akan segera ‘dipublikasikan’. Persoalannya, saat dipublikasikan nanti kepada umat, akan ada banyak dari mereka yang akan merasa diri terkena tudingan ‘bersalah’, sekalipun mereka tidak tahu-menahu tentang kontradiksi di aras teologia itu. Nah melihat ciri-ciri tentang ‘indikasi pembatasan Kemahatahuan Allah saat beroperasi di dalam waktu’ sebagaimana dipaparkan di atas, ada kemungkinan 5-10 tahun mendatang akan ada jutaan orang yang terkena imbas (langsung maupun tidak langsung) tudingan ‘bidat/sesat’ karena salah kaprah para pengkritiknya. Dan saat ini sudah ada tesis di Indonesia! (tingkat S-2 teologia) tentang hal itu dari pihak yang kontra. Diskusi kita tentu janganlah dianggap terlalu serius, Bro. Saya memposisikan diri sebagai orang yang meminta tolong kepada Bro untuk bersedia mengkritik pendirian di atas, sekeras-kerasnya (demikian juga harapan saya dari para netter lainnya). Tentu sebagai orang yang meminta tolong tidak layak jika saya ‘menyerang’ balik pendirian Bro. Itu sebabnya saya menunda untuk mendiskusikan pertanyaan ke-3 di postingan sebelumnya. Jadi, anggap saja Bro sedang bersimulasi dengan saya. Dan karena concern saya (parno, 'kali, ya)) akan apa yang saya prediksi akan terjadi 5-10 tahun mendatang, maka saya menempatkan diri saya ‘seolah-olah’ berada pada posisi teologi di atas. Karena itu saya akan mengakui bahwa saya keliru, jika memang dapat dibuktikan secara ilmiah (bukan hanya imbauan moral) bahwa saya telah keliru. Tentu saja saya harapkan teman-teman Calvinis pun mau bergabung di sini. “Ilustrasi Ayah dan anak SMP”
Seperti yang Bro katakan, seorang ayah bisa membatasi pengetahuannya saat mengajari anaknya yang masih duduk di SMP. Tapi pengetahuan sang ayah tidak berkurang saat ia bertanya kepada anaknya tentang materi yang sedang dipelajari. Mari kita perdalam tentang hal itu. “Apa rumus luas trapesium?”, tanya sang ayah. “Ahh… papah’kan sudah tahu, mengapa bertanya? Papa bertanya ‘kan hanya untuk ‘menggambarkan’ bahwa papah menguasai pelajaran yang sedang saya pelajari’kan?” Lihat, sang ayah pasti mendesak anaknya untuk tetap menjawab, sekalipun sang ayah sudah tahu semua hal yang dia tanyakan kepada anaknya. Sang ayah benar-benar bertanya, dan sebagai konsekuensinya sang anak HARUS benar-benar menjawab. Kalau sang anak tidak menjawab karena hal itu dianggap sebagai ‘gambaran’ simbolik, apa yang akan terjadi? Setiap kali sang ayah bertanya tentang pokok-pokok yang berbeda, tiap kali pula sang anak tidak serius menjawabnya. Sebagai manusia, tentu sang ayah akan menganggap bahwa anaknya tidak serius (melecehkan?) upaya sang ayah. Jadi sekali lagi, kewajiban ‘menjawab’ adalah bukti bahwa sang ayah ingin anaknya ‘menyikapi’ sang ayah sebagaimana dirinya sendiri yang masih SMP (didalam ‘waktu’). Karena itulah mengapa saya mengatakan bahwa kasus dimana Allah mengakui diri-Nya ‘menyesal’ belum tentu HARUS selalu ditafsirkan sebagai ‘gambaran’ simbolik. Ada kemungkinan dengan hadirnya model teologi baru di atas justru ingin mengingatkan umat-Nya untuk menyikapi DINAMIKA SIKAP-Nya yang beroperasi di dalam ‘waktu’ dengan cara-cara tertentu pula. Penekanan yang terlalu banyak kepada aspek ‘di atas waktu’ (transendensi Allah), mungkin dapat diartikan (oleh Allah sendiri?) sebagai ‘pengabaian’ (pelecehan?) aspek ‘didalam waktu’ (imanensi Allah), karena kita memang benar-benar SEDANG berada di dalam ‘waktu’, dan Allah MEMANG BENAR-BENAR BERINTERAKSI dengan kita SEKARANG. Thesis1. Terdapat indikasi di dalam Alkitab bahwa SIKAP Allah di dalam ‘waktu’ adalah bersifat dinamis, TANPA menghilangkan SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal dan sempurna (‘diatas waktu’). Jika Allah beroperasi di dalam ‘ruang dan waktu’ dengan keseluruhan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna, maka dapat dipastikan alam semesta ini akan hancur lebur berantakan. Namun, tidak disangkal bahwa terkadang Allah menerapkan SIFAT Kemahatahuan-Nya di dalam ‘waktu’, walaupun tidak selalu demikian. 2. Bentuk-bentuk operasional dari SIKAP Allah yang dinamis di dalam ‘waktu’ tidak harus selalu ditafsirkan dengan menggunakan gaya bahasa simbolik atau antropomorfisme (antropofatik?). Sebagaimana “Ilustrasi Ayah dan Anak SMP-nya” di atas, terkadang ayat-ayat yang menggambarkan dinamika emosi, pikiran dan tindakan Allah ‘didalam waktu’ pun perlu ditanggapi serius apa adanya sebagaimana pernyataan eksplisit yang terdapat dalam teks Alkitab. Usulan proses penafsiran ayat-ayat yang berindikasi “SIKAP Allah yang dinamis ‘di dalam waktu’”Untuk menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang relevan dengan lebih ketat, perlu diajukan usulan tentang ‘tingkat‘kedekatan’ hasil penafsiran dengan teksnya itu sendiri di dalam Alkitab. 1. What the bible says. => (Aras pertama) 2. What you think the Bible says. => (Aras Kedua) 3. What you preceps about what you think the Bible says. => (Aras Ketiga) Begitu, Bro…. mungkin dalam perkembangan diskusi kita, akan ada penambahan lagi disana-sini…. Maaf sudah merepotkan. Blesings,
Terakhir diubah oleh epafras tanggal 28th September 2011, 13:43, total 2 kali diubah | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 28th September 2011, 15:34 | |
| - epafras wrote:
- Allah menciptakan 'ruang' dan 'waktu'. Jadi ada dua dimensi, yaitu 'kekal' dan 'waktu'.
Sepertinya kurang tepat bro, karena dimensinya tetap satu yakni WAKTU, sedangkan kekal berarti waktu yang tidak berujung (tidak berawal dan tidak berakhir). - Quote :
- Sifat-sifat-Nya kekal, sempurna dan tidak berubah. Tetapi ketika Allah beraktifitas di dalam 'waktu', ternyata DIA ber-SIKAP DINAMIS. Akibatnya terdapat dua dikotomi: SIFAT dan SIKAP Allah. Yang satu kekal dan tidak berubah. Sedangkan satunya lagi bersifat dinamis dan berubah-ubah.
Jika dinamis di sini berarti sifat Allah berubah ubah, sepertinya tidak cocok bro. Dan sepertinya juga berada di luar Alkitab. - Quote :
- SIKAP-Nya yang dinamis yang dilakukan-Nya DIDALAM 'WAKTU' antara lain adalah: Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), dan sebagainya.
Memutuskan, berpikir, menghukum, memberi perintah sepertinya bisa diterima, dan tidak berhubungan dengan kekekalan bro. Tetapi 'menyesal' sepertinya beda dengan mengubah pikiran, bertanya mencari dan mengharapkan kita akan diskusikan lebih lanjut. - Quote :
Pertanyaan: 1. Apakah Allah BENAR-BENAR dan SUNGGUH-SUNGGUH bertindak demikian DIDALAM 'WAKTU'? 2. Kini kita masih ada di dalam 'waktu'. Apakah DIA MASIH AKAN TERUS demikian di dalam 'waktu' ini? 3. Apakah Allah yang bertindak demikian di dalam 'waktu' benar-benar Allah yang sama dengan Allah yang 'kekal' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna (tidak berubah) itu? 4. Bolehkah seseorang mempertentangkan ayat-ayat tentang SIKAP (aktifitas) Allah didalam 'waku' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang 'kekal' itu dengan tujuan mereduksi atau menghilangkan salah satu dari dua dikotomi (SIKAP-SIFAT) itu? Mengapa? 5. Apakah SIKAP-Nya di dalam 'waktu' mengubah 'SIFAT-Nya yang 'kekal'? 6. Bagaimana cara mensinkronkan keduanya, karena toh kita masih tetap berada didalam 'waktu'? Adakah cara lainnya? Mengapa?
Bro, untuk menjawab pertanyaan anda saya mencoba berimajinasi ya, he he he, bukan berdasarkan iman Kristen dulu nih. Saya membayangkan seandainya saya punya mesin waktu, yang dapat mengantar saya ke waktu lampau maupun waktu yang akan datang. Mungkinkah kita melakukannya seperti 'Back to the Future' ataupun 'Time Machine' 'Terminator' atau bahkan 'The One'? Seandainya saya benar benar bisa pergi ke tahun dimana orang tua saya belum menikah. Dapatkah saya bertemu muka dengan orang tua saya itu? Apa yang terjadi jika tindakan saya yang keliru membuat mereka tidak menikah, apakah kemudian saya tidak akan dilahirkan? Jadi saya kemudian lenyap? Seandainya saya saat sebelum pergi telah memiliki istri dan anak, apakah kemudian anak anak saya juga akan lenyap? Sepertinya tidak mungkin terjadi kan bro, karena ibarat kita membuat program yang berisi langkah yang 'looping' yakni berputar putar secara berulang ulang. Atau, bisa juga menurut yang saya 'bisa' pahami, jika saya 'mundur' ke belakang, maka semua seolah film yang diputar ulang, akan kembali persis seperti frame dimana saya menuju, dimajukan ataupun dimundurkan, sosok saya akan tetap berada dalam frame. Jika saya kembali ke 20 tahun lalu, maka berarti saya kembali ke masa remaja saat itu, dan tidak mengetahui apapun yang terjadi selama 20 tahun itu. Dan saya tetap akan menjalani semua kehidupan saya persis seperti yang sudah terjadi. Tetapi kemudian kita akan bertanya, apa gunanya? =bersambung= | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 28th September 2011, 16:14 | |
| - Quote :
- Syallom, Bro. Bruce…
Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya. Syallom bro. Wah anda ubah thread yang saya sedang reply dan sedang saya quote, jadi sedikit kacau, he he he. Ok, Saya sependapat bahwa keselamatan memang ditawarkan, bukan diberikan secra paksa kepada seseorang. Tetapi mengapa kesimpulan anda menjadi Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan Nya? Bukankah tetap saja Allah Maha Tahu dengan menawarkan keselamatan, dan sudah mengetahui apakah tawaran keselamatanNya diterima atau ditolak oleh seseorang? - Quote :
- Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya.
Saya lebih cenderung setuju dengan non-OSAS, bukan karena denom saya berpegang pada non-OSAS, tetapi karena cenderung lebih masuk akal bagi saya. Karena, kalau saya ibaratkan, OSAS adalah memberi blank-cheque, atau bagaikan saya memberi ijazah kepada anak didik saya sebelum mulai kuliah. - Quote :
- Ketiga, dalam Kitab Wahyu disebutkan “barangsiapa menang”. Ini juga mengarah kepada pembatasan diri ‘sesaat’ dalam aspek Kemahatahuan-Nya.
Keempat, Allah menampilkan Diri bukan hanya melalui aspek transendensi-Nya, melainkan juga sisi imanensinya, yang keduanya tidak saling mereduksi. Dari sisi emanensi-Nya inilah DIA benar-benar memaksudkan setiap tindakan dan aktifitas-Nya di dalam ‘waktu’ (bertanya, berharap, mencari, merespon, dll). Allah adalah sosok Maha Kuasa, dan tidak terikat pada ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini tidak terpisahkan bro. Seperti kisah imajiner yang saya sampaikan di atas. Keberadaan saya di masa lalu ataupun masa depan 'HARUS" punya efek saling mempengaruhi, karena saya terikat dengan ruang. Sedangkan Allah yang Maha Ada, DIA berada di manapun, DIA berada di masa lalu, mas kini, masa depan. Tidak ada ruang yang tersembunyi bagi Dia, dan tidak ada waktu dimana Dia tidak hadir. Di sini mengapa saya tidak sependapat dengan anda. Karena dengan memisahkan 'waktu' dan 'diatas waktu', seolah Allah sempat tidak hadir di masa depan, sehingga Dia tidak tahu apa yang terjadi. Atau seolah Allah ketika berada dalam 'waktu' Dia berada dalam kondisi lupa akan kejadian masa depan. Ini yang tentunya tidak tepat menurut saya. - Quote :
- Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? Today at 1:05 pm
+ ---- - bruce wrote: Quote: Betul, Bro, dan saya juga sudah mengatakan dengan merujuk pada ilustrasi Anda itu, “Saya setuju bahwa saat mengajar matematika sama sekali tidak menghilangkan KEMAMPUAN Anda”.
Demikian juga dengan Allah, saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, itu tidak menghilangkan atau mengurangi SIFAT-SIFAT sempurna DIA yang ada ‘di atas waktu’.
Yang saya tanyakan adalah: Jika Kemahatahuan Allah tidak berubah di atas ‘waktu’, sementara DIA mampu membatasi pengetahuan-Nya saat BEROPERASI didalam ‘waktu’, maka pertanyaannya:
“PADA SAAT Allah SEDANG BEROPERASI (beraktifitas) di dalam ‘waktu’, apakah Allah SELALU mengoperasikan SIFAT Kemahatahuan-Nya?” (Ingat tentang ilustrasi Kemahakudusan Allah yang dapat DiaBATASI sehingga Musa tidak tewas).
Jadi sekali lagi, yang saya tanyakan adalah PADA SAAT Allah sedang BEROPERASI di dalam ‘waktu’, bukan saat DIA sedang berada diatas ‘waktu’.
Ehhhhm, boleh tahu apa sebab anda berkeras bahwa Allah mengurangi Kemaha-tahuannya saat 'turun gunung' itu bro ?
Indikasi Allah kadang-kadang membatasi Kemahatahuan-Nya saat beraktifitas di dalam ‘waktu’
Syallom, Bro. Bruce…
Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya.
Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya.
Ketiga, dalam Kitab Wahyu disebutkan “barangsiapa menang”. Ini juga mengarah kepada pembatasan diri ‘sesaat’ dalam aspek Kemahatahuan-Nya.
Keempat, Allah menampilkan Diri bukan hanya melalui aspek transendensi-Nya, melainkan juga sisi imanensinya, yang keduanya tidak saling mereduksi. Dari sisi emanensi-Nya inilah DIA benar-benar memaksudkan setiap tindakan dan aktifitas-Nya di dalam ‘waktu’ (bertanya, berharap, mencari, merespon, dll).
bruce wrote:
Quote: Bro, (sorry, saya ganti/tambah ayat ini) KEJADIAN 6:7 itu bukan pernyataan tidak langsung dari Allah yang harus dikutip oleh penulis Pentateukh, melainkan benar-benar PERNYATAAN Allah sendiri secara langsung tentang apa yang terjadi di dalam Diri-Nya. Demikian juga dalam I Sam. 15:11, “AKU menyesal telah menjadikan Saul raja…”. Itu benar-benar kalimat langsung dari Allah.
Tetap sama bro, Alkitab kita tidak jatuh dari langit dalam bentuk buku, tetapi ditulis oleh manusia atas wahyu Ilahi. Jadi, Allah memberikan wahyu yang dapat dicerna oelh sang penulis dan pembacanya kelak.
Ya, saya setuju dengan orientasi kepada pembaca. Tapi kita tidak mengaggap bahwa kemampuan ‘mencerna’ yang dimiliki pembaca akan berhenti atau stagnan (melainkan dinamis dan terus berkembang), 'kan?
Dan sekarang ternyata ada sebagian pembacanya yang mulai memahami sebagian daripadanya dengan cara yang berbeda, yaitu: di dalam ‘waktu’ terkadang Allah memang ber-SIKAP dinamis, TANPA mereduksi SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal dan sempurna itu. Dan saat DIA beraktifitas berada di dalam ‘waktu’ (hingga detik ini), DIA memang Allah yang ‘dekat’, dan berinteraksi dengan manusia dengan cara yang ‘mirip’ dengan manusia, TANPA mereduksi SIFAT-SIFAT ke-Allah-an-Nya yang kekal dan sempurna itu.
Banyak ayat dalam Alkitab yang pengertiannya berkembang seperti juga pembacanya yang berkembang bro. Dan ini yang sangat sulit saya sampaikan kepada teman teman di forum, karena pasti mendapat tentangan. Saya mengibaratkan anak saya yang berusia 5 thun bertanya kepada saya darimana asalnya? Apa yang harus saya jawab? Bahwa dia berasal dari hubungan sex antara saya dan ibunya? Dan kalau ditanya apa itu hubungan sex, maka saya dengan muka merah dan gelagapan akan menyuruhnya bertanya lain waktu, he he he. Boleh tidak kalau saya sampaikan kepada anak saya bahwa ia berasal dari Tuhan yang diletakkan dalam 'perut' ibunya, setelah 9 bulan dalam perut ibunya dia lahir, dan bertambah besar hingga sekarang? Jika kemudian anak saya bertambah besar, di SMP dan SMA, dia mengetahui dari pelajaran biologi bagaimana 'cara Tuhan' meletakkannya di perut ibunya, apakah jawaban saya itu salah? Tidak, karena memang oleh campur tangan Tuhan lah dia hadir dalam perut ibunya. Tetapi segala teori tentang hubungan sex, pembelahan sel dan sebagainya 'belum perlu' saya sampaikan kepadanya saat usia 5 tahun. Kembali kepada Alkitab, kisah penciptaan dan yang paling sering saya pakai adalah kisah nabi Nuh. Betulkah banjir menutup seluruh muka bumi? Saya dengan keyakinan saya berani berkata tidak mungkin, dan itu banyak alasannya. Tetapi apa yang ditulis dalam Alkitab juga tidak salah. Karena, seluruh muka bumi yang dimaksud pada saat itu adalah seluruh daerah yang diketahui oleh penulis kitab itu. Dia memang diwahyukan Tuhan dan Tuhan cukup memberinya 'air bah menutup seluruh muka bumi', dan itu cukup. Dan memang inti dan makna yang ingin disampaikan sudah cukup, bahwa Tuhan dapat memusnahkan / menghukum manusia yang tidak taat. =bersambung= | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 28th September 2011, 16:38 | |
| - Quote :
- Lihat, sang ayah pasti mendesak anaknya untuk tetap menjawab, sekalipun sang ayah sudah tahu semua hal yang dia tanyakan kepada anaknya. Sang ayah benar-benar bertanya, dan sebagai konsekuensinya sang anak HARUS benar-benar menjawab.
Betul bro, sang ayah sungguh sungguh bertanya, tetapi sang ayah bertanya bukan karena tidak tahu, tetapi bertujuan menguji. Tepat seperti saat Allah bertanya kepada Kain 'Di mana adikmu?' bukan berarti Allah tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Habil. - Quote :
- Karena itulah mengapa saya mengatakan bahwa kasus dimana Allah mengakui diri-Nya ‘menyesal’ belum tentu HARUS selalu ditafsirkan sebagai ‘gambaran’ simbolik. Ada kemungkinan dengan hadirnya model teologi baru di atas justru ingin mengingatkan umat-Nya untuk menyikapi DINAMIKA SIKAP-Nya yang beroperasi di dalam ‘waktu’ dengan cara-cara tertentu pula.
Penekanan yang terlalu banyak kepada aspek ‘di atas waktu’ (transendensi Allah), mungkin dapat diartikan (oleh Allah sendiri?) sebagai ‘pengabaian’ (pelecehan?) aspek ‘didalam waktu’ (imanensi Allah), karena kita memang benar-benar SEDANG berada di dalam ‘waktu’, dan Allah MEMANG BENAR-BENAR BERINTERAKSI dengan kita SEKARANG. Saya ingin meralat sedikit apa yang sudah saya sampaikan kemarin, karena sepertinya kebabasan. Allah Bapa adalah pribadi yang berwujud ROH, sehingga tentu saja punya 'perasaan'. Sehingga menyesal, marah, kecewa, bisa saja dianggap adalah ungkapan nyata dari Allah. Tetapi, kecewa bukan berarti Allah tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh umatNya. Begitu juga menyesal, bukan berarti Allah merasa telah salah dalam bertindak. Tidak, saya tetap percaya bahwa Allah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi, walau tetap Allah memberikan yang terbaik kepada kita. Seperti yang saya contohkan di thread lain tentang membuat kue bolu. Saya tahu persis cukup dengan melihat proses pembuatannya, apakah bolu yang dibuat itu akan memberi hasil yang baik atau tidak. Dan saya tentu kecewa karena ternyata kemudian bolu itu benar benar gagal. Dan saya menyesal karena tidak sempat mencegah kesalahan yang terjadi. Itu karena saya berada dalam waktu. Dan jika saya adalah Allah, maka saya justru lebih kecewa lagi, karena saya sudah melihat bolu yang gagal saat kesalahan dilakukan, dan tentu saya lebih merasakan sesal lebih kuat lagi. - Quote :
- 1. Terdapat indikasi di dalam Alkitab bahwa SIKAP Allah di dalam ‘waktu’ adalah bersifat dinamis, TANPA menghilangkan SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal dan sempurna (‘diatas waktu’). Jika Allah beroperasi di dalam ‘ruang dan waktu’ dengan keseluruhan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna, maka dapat dipastikan alam semesta ini akan hancur lebur berantakan. Namun, tidak disangkal bahwa terkadang Allah menerapkan SIFAT Kemahatahuan-Nya di dalam ‘waktu’, walaupun tidak selalu demikian.
Sepertinya indikasi dalam hal ini kurang cukup bro, terlebih lagi bagi penganut sola sciptura, dimana pengartian ayat ayat lebih bersifat literal. Tetapi bisa saya sampaikan bahwa dengan sifat-sifatNya yang sempurna, berada dalam wujud kesempurnaanNya tidak menghalangi Dia untuk berinteraksi dengan manusia. Tentu bukan secara berhadap hadapan. Karena Musa juga tidak berhadap hadapan bro, Musa hanya berhadapan dengan tanda keberadaan Allah saja. Dan jangan juga dilupakan sifat Maha Ada dari Allah, jadi tidak ada tempat dimanapun di jagad raya ini dimana Allah tidak hadir. Jadi Allah tetap hadir, baik disadari maupun tidak, dimanapun. - Quote :
2. Bentuk-bentuk operasional dari SIKAP Allah yang dinamis di dalam ‘waktu’ tidak harus selalu ditafsirkan dengan menggunakan gaya bahasa simbolik atau antropomorfisme (antropofatik?). Sebagaimana “Ilustrasi Ayah dan Anak SMP-nya” di atas, terkadang ayat-ayat yang menggambarkan dinamika emosi, pikiran dan tindakan Allah ‘didalam waktu’ pun perlu ditanggapi serius apa adanya sebagaimana pernyataan eksplisit yang terdapat dalam teks Alkitab.
Betul bro, sudah saya ralat di atas, walau tidak semua, karena tetap kita harus percaya bahwa tidak ada yang dapat dirahasiakan dari Allah, rahasia di sini berarti juga apa yang sudah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi. GBU | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 01:37 | |
| - bruce wrote:
- epafras wrote:
- Allah menciptakan 'ruang' dan 'waktu'. Jadi ada dua dimensi, yaitu 'kekal' dan 'waktu'.
Sepertinya kurang tepat bro, karena dimensinya tetap satu yakni WAKTU, sedangkan kekal berarti waktu yang tidak berujung (tidak berawal dan tidak berakhir).
Shallom, Bro, Bruce… Terima kasih untuk tanggapan Bro. Kemungkinan saya tidak akan secepar Bro dalam memberikan tanggapan. Kalau tentang istilah, ganti saja ‘dimensi’ dengan ‘dikotomi’. Jadi ada dua dikotomi ‘kekal’ dan ‘waktu’; atau ‘diatas waktu’ dan ‘didalam waktu’. - bruce wrote:
- Quote :
- Sifat-sifat-Nya kekal, sempurna dan tidak berubah. Tetapi ketika Allah beraktifitas di dalam 'waktu', ternyata DIA ber-SIKAP DINAMIS. Akibatnya terdapat dua dikotomi: SIFAT dan SIKAP Allah. Yang satu kekal dan tidak berubah. Sedangkan satunya lagi bersifat dinamis dan berubah-ubah.
Jika dinamis di sini berarti sifat Allah berubah ubah, sepertinya tidak cocok bro. Dan sepertinya juga berada di luar Alkitab. Sorry, mungkin Bro salah tangkap. Yang berubah secara dinamis ‘didalam waktu’ bukan SIFAT Allah, melainkan SIKAP Allah. Saya tetap berpendirian bahwa SIFAT Allah yang kekal dan sempurna itu TIDAK BERUBAH, sekalipun DIA beraktifitas di dalam ‘waktu’. Apakah SIKAP Allah yang dinamis didalam ‘waktu’, memang tidak cocok dengan Alkitab? - bruce wrote:
- Quote :
- SIKAP-Nya yang dinamis yang dilakukan-Nya DIDALAM 'WAKTU' antara lain adalah: Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), dan sebagainya.
Memutuskan, berpikir, menghukum, memberi perintah sepertinya bisa diterima, dan tidak berhubungan dengan kekekalan bro. Tetapi 'menyesal' sepertinya beda dengan mengubah pikiran, bertanya mencari dan mengharapkan kita akan diskusikan lebih lanjut. Kalau semua hal itu sama-sama terjadi ‘didalam waktu’ bagaimana kedua kelompok itu bisa berbeda? Saya kurang mengerti, Bro. Atau mungkin Bro maksudkan bahwa salah satu kelompok itu terjadi ‘diatas waktu’, sedangkan satu kelompok lagi ‘didalam waktu’? - bruce wrote:
-
- Quote :
Pertanyaan: 1. Apakah Allah BENAR-BENAR dan SUNGGUH-SUNGGUH bertindak demikian DIDALAM 'WAKTU'? 2. Kini kita masih ada di dalam 'waktu'. Apakah DIA MASIH AKAN TERUS demikian di dalam 'waktu' ini? 3. Apakah Allah yang bertindak demikian di dalam 'waktu' benar-benar Allah yang sama dengan Allah yang 'kekal' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna (tidak berubah) itu? 4. Bolehkah seseorang mempertentangkan ayat-ayat tentang SIKAP (aktifitas) Allah didalam 'waku' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang 'kekal' itu dengan tujuan mereduksi atau menghilangkan salah satu dari dua dikotomi (SIKAP-SIFAT) itu? Mengapa? 5. Apakah SIKAP-Nya di dalam 'waktu' mengubah 'SIFAT-Nya yang 'kekal'? 6. Bagaimana cara mensinkronkan keduanya, karena toh kita masih tetap berada didalam 'waktu'? Adakah cara lainnya? Mengapa?
Bro, untuk menjawab pertanyaan anda saya mencoba berimajinasi ya, he he he, bukan berdasarkan iman Kristen dulu nih.
Saya membayangkan seandainya saya punya mesin waktu, yang dapat mengantar saya ke waktu lampau maupun waktu yang akan datang. Mungkinkah kita melakukannya seperti 'Back to the Future' ataupun 'Time Machine' 'Terminator' atau bahkan 'The One'?
Seandainya saya benar benar bisa pergi ke tahun dimana orang tua saya belum menikah. Dapatkah saya bertemu muka dengan orang tua saya itu? Apa yang terjadi jika tindakan saya yang keliru membuat mereka tidak menikah, apakah kemudian saya tidak akan dilahirkan? Jadi saya kemudian lenyap? Seandainya saya saat sebelum pergi telah memiliki istri dan anak, apakah kemudian anak anak saya juga akan lenyap? Sepertinya tidak mungkin terjadi kan bro, karena ibarat kita membuat program yang berisi langkah yang 'looping' yakni berputar putar secara berulang ulang.
Atau, bisa juga menurut yang saya 'bisa' pahami, jika saya 'mundur' ke belakang, maka semua seolah film yang diputar ulang, akan kembali persis seperti frame dimana saya menuju, dimajukan ataupun dimundurkan, sosok saya akan tetap berada dalam frame. Jika saya kembali ke 20 tahun lalu, maka berarti saya kembali ke masa remaja saat itu, dan tidak mengetahui apapun yang terjadi selama 20 tahun itu. Dan saya tetap akan menjalani semua kehidupan saya persis seperti yang sudah terjadi. Tetapi kemudian kita akan bertanya, apa gunanya?
=bersambung= Wah, sorry, Bro, saya memang ‘pelo’, alias telmi, ga bisa mengkaitkan antara jawaban dengan pertanyaan. Sebenarnya yang saya coba ungkapkan adalah dikotomi antara: (1) saat Kemahatahuan Allah yang kekal dan tidak berubah, yaitu ‘diatas waktu’; dengan (2) Saat Allah sedang membatasi Kemahakuasaan-Nya, yaitu ketika DIA beraktifitas didalam ‘waktu’. Satu hal yang tidak akan pernah dapat (mampu) saya jawab adalah: “Bagaimana interaksi diantara kedua dikotomi di atas?”. Atau: “Bagaimana Allah, yang pada satu saat memutuskan ‘tidak mengetahui tentang sesuatu’, namun pada saat yang sama Dia tetap Allah yang Mahatahu”? Mengapa saya tidak akan pernah bisa menjawab? Ya, karena kalau saya bisa menjawabnya, pastilah saya sudah menjadi Mahatahu. Tapi seperti yang Bro katakan, “Apakah Allah BISA melakukan hal itu?”, maka jawab Bro, ”Kalau soal ‘BISA’, pastilah Allah BISA”. Jadi, soal tahu-tidak tahu-dan Mahatahu ini akan semakin rumit kalau dijelaskan dengan menggunakan ilustrasi yang melibatkan manusia dan mesin waktu. Mungkin ilmu fisika bisa menjelaskan tentang ilustrasi Bro itu, asalkan ilustrasi itu rasional. - bruce wrote:
-
- Quote :
- Syallom, Bro. Bruce…
Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya. Syallom bro.
Wah anda ubah thread yang saya sedang reply dan sedang saya quote, jadi sedikit kacau, he he he.
Ok, Saya sependapat bahwa keselamatan memang ditawarkan, bukan diberikan secra paksa kepada seseorang. Tetapi mengapa kesimpulan anda menjadi Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan Nya?
Bukankah tetap saja Allah Maha Tahu dengan menawarkan keselamatan, dan sudah mengetahui apakah tawaran keselamatanNya diterima atau ditolak oleh seseorang? Maaf, Bro, saya tidak tahu bahwa editing thread ternyata mendatangkan kekacauan…. Sorry, ya… Belasan tahun yang lalu, waktu saya sharing dengan teman yang sudah lulus sekolah teologia, dia langsung menuding saya, “Anda, tuh, Armenian!”. Sementara saya terbengong-bengong ga ngerti apa yang dimaksudkannya. “Memangnya Anda apa?”, saya tanya. “Calvinis!”. Karena dia mengucapkan itu dengan nada superioritas, jadi saya lebih condong membaca buku Reformed daripada Armenian. Sungguh, Bro, saya tidak tahu apa itu Armenian. Saya lebih tahu (relatif) tentang Reformed. Dan ternyata sekarang terbukti lagi. Anggapan bahwa tawaran keselamatan merupakan bukti bahwa Allah membatasi kemahatahuan-Nya, nampaknya merupakan pendirian Armenian, ya, Bro? OK, kita sebenarnya pernah bahas ini, tapi tertunda. Waktu itu kita membahas tentnag, “Bagaimana mungkin Allah dapat mengetahui sesuatu dapat terjadi (dan bukan merupakan ‘kemungkinan’), tanpa dipastikan terlebih dahulu bahwa apa yang kemudian AKAN diketahui Allah itu memang benar-benar AKAN terjadi demikian. Dan nampaknya kita tunda saja dulu sekali lagi. Kalau masih ada waktu kita kembali lagi ke topik ini. - bruce wrote:
- Quote :
- Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya.
Saya lebih cenderung setuju dengan non-OSAS, bukan karena denom saya berpegang pada non-OSAS, tetapi karena cenderung lebih masuk akal bagi saya.
Karena, kalau saya ibaratkan, OSAS adalah memberi blank-cheque, atau bagaikan saya memberi ijazah kepada anak didik saya sebelum mulai kuliah. Tapi apakah Bro setuju bahwa non-OSAS berindikasi kepada “Allah membatasi Kemahatahuan-Nya”? Kalau Bro memang setuju pada poin ini, maka sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa memang ada ayat Alkitab yang menyatakan Allah membatasi Kemahatahuan-Nya SAAT Dia beroperasi didalam ‘waktu’. - bruce wrote:
- Quote :
- Ketiga, dalam Kitab Wahyu disebutkan “barangsiapa menang”. Ini juga mengarah kepada pembatasan diri ‘sesaat’ dalam aspek Kemahatahuan-Nya.
Keempat, Allah menampilkan Diri bukan hanya melalui aspek transendensi-Nya, melainkan juga sisi imanensinya, yang keduanya tidak saling mereduksi. Dari sisi emanensi-Nya inilah DIA benar-benar memaksudkan setiap tindakan dan aktifitas-Nya di dalam ‘waktu’ (bertanya, berharap, mencari, merespon, dll). Allah adalah sosok Maha Kuasa, dan tidak terikat pada ruang dan waktu. Ruang dan waktu ini tidak terpisahkan bro. Seperti kisah imajiner yang saya sampaikan di atas. Keberadaan saya di masa lalu ataupun masa depan 'HARUS" punya efek saling mempengaruhi, karena saya terikat dengan ruang. Sedangkan Allah yang Maha Ada, DIA berada di manapun, DIA berada di masa lalu, mas kini, masa depan. Tidak ada ruang yang tersembunyi bagi Dia, dan tidak ada waktu dimana Dia tidak hadir.
Di sini mengapa saya tidak sependapat dengan anda. Karena dengan memisahkan 'waktu' dan 'diatas waktu', seolah Allah sempat tidak hadir di masa depan, sehingga Dia tidak tahu apa yang terjadi. Atau seolah Allah ketika berada dalam 'waktu' Dia berada dalam kondisi lupa akan kejadian masa depan. Ini yang tentunya tidak tepat menurut saya. Waduh, ini satu hal yang ketinggalan, dan belum sempat saya utarakan. Saya pikir saya sudah dianggap berpendirian yang sama dengan Bro tanpa saya harus mengungkapkannya. Begini, Bro… Saya percaya tentang Kemahahadiran Allah seperti yang Bro ungkapkan. Saya tadinya ingin mengatakan bahwa saya kurang setuju dengan istilah Bro, “Allah turun gunung”, karena kalau Dia turun gunung, maka gunung itu jadi kosong, alias DIA tidak ada lagi disana. Saya percaya, bahwa saat Allah menjelma menjadi manusia Yesus, masuk dalam ‘ruang dan waktu’, maka surga tidak kosong. Jadi, sekalipun Allah yang ‘diatas waktu’, kemudian beraktifitas didalam ‘waktu’, sebenarnya DIA juga PADA SAAT YANG SAMA tetap berada ‘diatas ruang dan waktu’. Karena itulah saya tetap berpendirian bahwa SIFAT-SIFAT Allah yang kekal dan sempurna yang ‘diatas waktu’ TIDAK PERNAH berubah, sekalipun DIA sedang beraktifitas didalam ‘waktu’. Dan karena itu pulalah saya berkata bahwa saya tidak akan pernah bisa menjelaskan tentang interaksi antara Kemahatahuan Allah dengan saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, yaitu saat membatasi Kemahatahuan-Nya. Setelah saya jelaskan seperti di atas, apakah Bro masih tidak sependapat dengan saya, bahwa Allah memang Mahaada? Jadi, kembali ke laptop… Apakah poin ketiga dan keempat di atas memang sudah cukup membuktikan bahwa ada ayat Alkitab yang menyatakan Allah memang membatasi Kemahatahuan-Nya di dalam ‘waktu’, TANPA mengubah SIFAT Kemahatahuan-Nya yang kekal dan sempurna itu? Atau memang semua poin di atas sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah membatasi Kemahatahuan-Nya saat DIA beraktifitas didalam ‘waktu’? Kalau semua poin di atas memang belum bisa membuktikan sama sekali, maka saya belum bisa ‘maju’ dalam diskusi ini. - Quote :
Banyak ayat dalam Alkitab yang pengertiannya berkembang seperti juga pembacanya yang berkembang bro. Dan ini yang sangat sulit saya sampaikan kepada teman teman di forum, karena pasti mendapat tentangan.
Dan memang inti dan makna yang ingin disampaikan sudah cukup, bahwa Tuhan dapat memusnahkan / menghukum manusia yang tidak taat.
=bersambung= Wah… ternyata sebagai sesepuh di forum ini punya pergumulan tersendiri, ya…. Selamat, deh, Bro… he… he…. he…. Oya, tentang kalimat kedua diatas, apakah Bro bermaksud ingin menyatakan tentang ‘makna’ satu teks yang terkadang bersifat ‘implisit’ itu? Kalau benar, maka di bawah ini kita akan coba melihat ayat-ayat lainnya untuk mengerti tentang keragaman dinamika tindakan Allah saat beroperasi didalam ‘waktu’. Kita akan mengujinya berdasarkan kriteria “Aras Pertama, Kedua dan Ketiga”. - bruce wrote:
- Quote :
- Lihat, sang ayah pasti mendesak anaknya untuk tetap menjawab, sekalipun sang ayah sudah tahu semua hal yang dia tanyakan kepada anaknya. Sang ayah benar-benar bertanya, dan sebagai konsekuensinya sang anak HARUS benar-benar menjawab.
Betul bro, sang ayah sungguh sungguh bertanya, tetapi sang ayah bertanya bukan karena tidak tahu, tetapi bertujuan menguji. Tepat seperti saat Allah bertanya kepada Kain 'Di mana adikmu?' bukan berarti Allah tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Habil. Kita belum beranjak ke soal “ tujuan” Allah bertanya, Bro… Itu ada di “ARAS KEDUA” (implisit). Yang kita sedang bicarakan sekarang masih pada “ARAS PERTAMA”, yaitu: Apakah Allah benar-benar sedang bertanya? Dan apakah Habil HARUS benar-benar menjawab? 1. Coba Bro tempatkan diri sebagai Habil. Lalu Allah bertanya seperti itu kepada Bro. Pertanyaan saya tetap sama: (a) Apakah SAAT ITU Allah benar-benar bertanya kepada Bro? (b) Kalau Bro ditanya seperti itu oleh Allah, apakah Bro diharapkan oleh Allah untuk sungguh-sungguh dan benar-benar menjawab DIA saat itu juga? 2. Coba Bro tempatkan diri sebagai Adam. Lalu Allah bertanya kepada Bro, “Dimanakah engkau?” Apakah Allah SAAT ITU benar-benar bertanya kepada Bro? Apakah Allah memang MENGHARAPKAN Bro untuk menjawab secara spontan saat itu juga? Apakah Bro merasa WAJIB menjawab pertanyaan Allah itu? 3. Coba Bro tempatkan diri sebagai Raja Salomo. Kemudian, setelah MELIHAT persembahan yang luar biasa yang Bro ‘berikan’ kepada Allah, maka DIA pun bertanya, “Apa yang engkau ingin AKU perbuat bagimu?” Apakah pertanyaan itu memang aktual? Apakah Allah SAAT ITU benar-benar bertanya kepada Bro? Apakah Allah memang MENGHARAPKAN Bro untuk menjawab secara spontan saat itu juga? Apakah Bro merasa WAJIB menjawab pertanyaan Allah itu? - bruce wrote:
-
- Quote :
- Karena itulah mengapa saya mengatakan bahwa kasus dimana Allah mengakui diri-Nya ‘menyesal’ belum tentu HARUS selalu ditafsirkan sebagai ‘gambaran’ simbolik. Ada kemungkinan dengan hadirnya model teologi baru di atas justru ingin mengingatkan umat-Nya untuk menyikapi DINAMIKA SIKAP-Nya yang beroperasi di dalam ‘waktu’ dengan cara-cara tertentu pula.
Penekanan yang terlalu banyak kepada aspek ‘di atas waktu’ (transendensi Allah), mungkin dapat diartikan (oleh Allah sendiri?) sebagai ‘pengabaian’ (pelecehan?) aspek ‘didalam waktu’ (imanensi Allah), karena kita memang benar-benar SEDANG berada di dalam ‘waktu’, dan Allah MEMANG BENAR-BENAR BERINTERAKSI dengan kita SEKARANG. Saya ingin meralat sedikit apa yang sudah saya sampaikan kemarin, karena sepertinya kebabasan. Allah Bapa adalah pribadi yang berwujud ROH, sehingga tentu saja punya 'perasaan'.
Terima kasih, Bro… Itu sudah mengurangi beban saya…. - bruce wrote:
Sehingga menyesal, marah, kecewa, bisa saja dianggap adalah ungkapan nyata dari Allah. Tetapi, kecewa bukan berarti Allah tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh umatNya. Begitu juga menyesal, bukan berarti Allah merasa telah salah dalam bertindak. Begini, Bro… Saya pernah mengusulkan seperti ini: Usulan proses penafsiran ayat-ayat yang berindikasi “SIKAP Allah yang dinamis ‘di dalam waktu’”
Untuk menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang relevan dengan lebih ketat, perlu diajukan usulan tentang ‘tingkat‘kedekatan’ hasil penafsiran dengan teksnya itu sendiri di dalam Alkitab. 1. What the bible says. => (Aras pertama) 2. What you think the Bible says. => (Aras Kedua) 3. What you preceps about what you think the Bible says. => (Aras Ketiga) Kalau tidak keberatan, bersediakah Bro menentukan urutan aras mana yang paling berotoritas (paling dekat dengan Alkitab), dan aras mana yang paling kurang otoritasnya (paling jauh dari Alkitab). Menurut saya, aras kedua dan ketiga perlu dikesampingkan jika ada satu tafsiran lain (aras pertama) yang ternyata ‘lebih dekat’ kepada Alkitab. Mari kita pilah menjadi dua kalimat. Pertama, “Menyesal, marah, kecewa, bisa saja dianggap adalah ungkapan nyata dari Allah…” Nah ini masih pada “ARAS PERTAMA”. Inilah yang saya pikir perlu kita perdalam lebih dahulu. Sedangkan kalimat kedua, “Tetapi, kecewa bukan berarti Allah tidak tahu apa yang akan diperbuat oleh umatNya. Begitu juga menyesal, bukan berarti Allah merasa telah salah dalam bertindak”, berada pada “ARAS KEDUA”. (Tolong koreksi saya kalau keliru). Mengapa? Karena Bro sudah mengungkapkan “ arti” dari makna itu ‘menurut’ Bro sendiri. (Di atas Bro sudah berbicara tentang “tujuan”, yaitu ARAS KEDUA. Sekarang Bro berbicara tentang “ arti” dari satu teks Alkitab. Keduanya adalah ARAS KEDUA). Catat baik-baik, nih, Bro… saya setuju dengan Bro, apa pun “ tujuan” dan “ arti” yang Bro maksudkan. Tapi kalau Bro tidak keberatan, kita jangan beranjak dulu pada hal-hal yang implisit. Kita gali dulu yang eksplisitnya. Kalau Bro saat itu berada di posisi seorang nabi yang SAAT ITU SEDANG diajak bicara oleh Allah dimana DIA berkata, “Aku menyesal telah menciptakan manusia… Aku menyesal telah menjadikan Saul raja…” Apakah Bro sungguh-sungguh merasakan bahwa Allah sungguh-sungguh mengucapkan hal itu (jangan tambahi dulu dengan tafsiran tentang ‘tujuan’ atau ‘arti’/’makna’-nya)? Apakah Allah sungguh-sungguh menghendaki bahwa Bro memahami bahwa DIA memang sungguh-sungguh menyesal? - bruce wrote:
Tidak, saya tetap percaya bahwa Allah mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi, walau tetap Allah memberikan yang terbaik kepada kita. Seperti yang saya contohkan di thread lain tentang membuat kue bolu. Saya tahu persis cukup dengan melihat proses pembuatannya, apakah bolu yang dibuat itu akan memberi hasil yang baik atau tidak. Dan saya tentu kecewa karena ternyata kemudian bolu itu benar benar gagal. Dan saya menyesal karena tidak sempat mencegah kesalahan yang terjadi. Itu karena saya berada dalam waktu. Dan jika saya adalah Allah, maka saya justru lebih kecewa lagi, karena saya sudah melihat bolu yang gagal saat kesalahan dilakukan, dan tentu saya lebih merasakan sesal lebih kuat lagi. Wah, nampaknya kita perlu singgung hal ini sedikit, nih, Bro… Pengetahuan berdasarkan intelektualitas dan progresif?Ada dua kemungkinan tentang ‘cara’ Allah mengetahui: 1. Dari intelektualitas yang bersifat progresif. Dia menimbang sesuatu di masa depan berdasarkan apa yang DIA analisis di masa kini. Lihat ilustrasi Bro di atas, dimana Bro mengatakan, “Saya tahu persis cukup dengan melihat proses pembuatannya, apakah bolu yang dibuat itu akan memberi hasil yang baik atau tidak”. Jadi, Bro melihat dan menganalisis dulu situasi/keadaan di masa kini. Lalu menggunakan analisis itu untuk memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan (pada kue bolu itu). 1.a. Pengetahuan ini bersifat analisis dan progresif. Dan ini bukanlah ‘cara’ yang dimiliki Allah saat Dia mengoperasikan Kemahatahuan-Nya. Jika Allah mengoperasikan Kemahatahuan-Nya, maka tidak dibutuhkan suatu mekanisme berpikir, menghitung, memperkirakan, dan lain sebagainya. Dia tahu sesaat itu juga, tentang masa lalu, sekarang dan masa depan. Justru ilustrasi Bro tentang kue bolu itu merupakan ilustrasi tentang ‘cara’ Allah mengetahui melalui pembatasan diri-Nya sendiri atas Kemahatahuan-Nya. Dan itu terjadi ‘didalam waktu’. Sedangkan ‘cara’ mengetahui melalui Kemahatahuan-Nya, tidak diperlukan sekuens sama sekali. 1.b. Oleh karena pengetahuan tentang masa depan (‘hasil akhir’ kue bolu) itu diperoleh melalui pengamatan atas peristiwa masa kini (analisis terhadap ‘proses’ pembuatan kue bolu), maka hal itu masih dikategorikan bahwa yang Allah ketahui dengan ‘cara’ demikian, bukanlah ‘kepastian’ pengetahuan, melainkan ‘dugaan’ terhadap ‘kemungkinan’ hasil akhirnya. Hanya saja karena tingkat kecerdasan Allah yang demikian tinggi, maka analisis dan dugaan-Nya menjadi tidak pernah keliru. Namun, tetap saja hal itu BUKAN merupakan ‘cara’ mengetahui dengan PASTI HASIL AKHIRNYA, melainkan “dugaan terhadap kemungkinan” yang akan terjadi ‘nanti’. 2. Cara mengetahui yang spontan, menyeluruh, lengkap dan sempurna, SEKETIKA/SESAAT itu pula. Nah, inilah yang dimaksudkan dengan Kemahatahuan Allah, yang tanpa memerlukan proses, waktu, sikuens, analisis, pertimbangan, dan lain sebagainya. Allah mengetahui dengan sempurna, lengkap dan spontan, SEKETIKA itu juga. Tapi hal ini bagi para penganut Calvinis masih bisa dipermasalahkan jika sudah berhadapan dengan Armenian. Yaitu, Allah mengetahui dengan PASTI dengan atau tanpa terlebih dahulu melakukan ‘penentuan’ tentang hasil akhirnya. Ini kembali pada pertanyaan saya sebelumnya, “Bagaimana mungkin sesuatu akan PASTI terjadi dan diketahui DEMIKIAN, tanpa terlebih dahulu ditentukan oleh Allah, bahwa hal itu memang AKAN terjadi demikian”. Saya tidak yakin bahwa semua variasi ‘cara’ mengetahui seperti diatas tidak diperagakan Allah di dalam Alkitab, melalui apa yang Bro anggap sebagai gaya bahasa figuratif (penggambaran, simbolik). Bersambung…. | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 07:28 | |
| Syalom bro, - Quote :
- Sorry, mungkin Bro salah tangkap. Yang berubah secara dinamis ‘didalam waktu’ bukan SIFAT Allah, melainkan SIKAP Allah. Saya tetap berpendirian bahwa SIFAT Allah yang kekal dan sempurna itu TIDAK BERUBAH, sekalipun DIA beraktifitas di dalam ‘waktu’. Apakah SIKAP Allah yang dinamis didalam ‘waktu’, memang tidak cocok dengan Alkitab?
Jujur, saya masih rancu antara 'sifat' dan 'sikap' yang anda maksudkan bro, jadi mungkin masih sering tertukar-tukar. Tetapi apakah dalam hal ini sikap yang anda maksud itu adalah seperti sikap yang kita juga bersikap, dalam hal ini lebih ke arah perilaku? - Quote :
- Kalau semua hal itu sama-sama terjadi ‘didalam waktu’ bagaimana kedua kelompok itu bisa berbeda? Saya kurang mengerti, Bro.
Atau mungkin Bro maksudkan bahwa salah satu kelompok itu terjadi ‘diatas waktu’, sedangkan satu kelompok lagi ‘didalam waktu’? Begini bro, yang satu kelompok bisa terjadi tidak berhubungan dengan kemahatahuan, sementara yang satu kelompok lagi (menyesal, kecewa, mengetahui) sepertinya berhubungan dengan kemahatahuan (kekuasaan terhadap waktu). - Quote :
- Satu hal yang tidak akan pernah dapat (mampu) saya jawab adalah: “Bagaimana interaksi diantara kedua dikotomi di atas?”. Atau: “Bagaimana Allah, yang pada satu saat memutuskan ‘tidak mengetahui tentang sesuatu’, namun pada saat yang sama Dia tetap Allah yang Mahatahu”?
Mengapa saya tidak akan pernah bisa menjawab? Ya, karena kalau saya bisa menjawabnya, pastilah saya sudah menjadi Mahatahu. Tapi seperti yang Bro katakan, “Apakah Allah BISA melakukan hal itu?”, maka jawab Bro, ”Kalau soal ‘BISA’, pastilah Allah BISA” Betul bro, dan seperti yang pernah juga saya ungkapkan bahwa kita, sebagai mahluk yang terikat pada waktu dan ruang, sungguh sulit menggambarkan bagaimana melihat dan memahami ROH yang tidak terikat ruang dan waktu. Kita hanya mampu menduga-duga, tetapi seperti apa sebenarnya, tidak bisa kita lukiskan. Boleh memberi ilustrasi lagi? Kita selalu beranggapan bahwa neraka itu seperti kawah gunung berapi, penuh api yang berkobar. Suasana sangat mengerikan, dan sebagainya. Betulkah seperti itu? Betul, memang tertulis seperti itu di Alkitab, karena memang kita tidak bisa menggambarkan bagaimana penderitaan maksimal yang mungkin terjadi. Dan 'pengetahuan' kita hanya memungkinkan penderitaan fisik secara maksimal adalah seperti dibakar hidup-hidup tanpa pernah berhenti. Begitu juga sebaliknya, bagaimana kita menggambarkan keindahan dan kebahagiaan Surga dengan kondisi dunia (yang bisa kita menbgerti) dengan bahasa kita, sangat sulit. Maka tampilah gambaran taman yang indah, suasana yang nyaman, lagu lagu yang indah dan sebagainya. Betulkah seperti itu? Jika saya katakan bahwa Tuhan adalah sumber segala kebahagiaan. Sehingga di surga, dimana kita berada bersama sama Sang Sumber Kebahagiaan itu sudah segala galanya, tidak ada kebahagiaan yang bisa melebihi keberadaan kita bersama Sang Sumber Kebahagiaan itu sendiri. Sedangkan neraka, adalah ketiadaan Sang Sumber Kebahagiaan, dimana kita berada pada tempat atau situasi dimna tidak terhadap kebahagiaan sedikitpun. Dan tidak ada kebahagiaan berarti penderitaan. Dan ternyata sangat sulit menyampaikan pengertian seperti itu kepada kebanyakan orang, he he he. - Quote :
- Maaf, Bro, saya tidak tahu bahwa editing thread ternyata mendatangkan kekacauan…. Sorry, ya…
Belasan tahun yang lalu, waktu saya sharing dengan teman yang sudah lulus sekolah teologia, dia langsung menuding saya, “Anda, tuh, Armenian!”. Sementara saya terbengong-bengong ga ngerti apa yang dimaksudkannya. “Memangnya Anda apa?”, saya tanya. “Calvinis!”. Karena dia mengucapkan itu dengan nada superioritas, jadi saya lebih condong membaca buku Reformed daripada Armenian. Sungguh, Bro, saya tidak tahu apa itu Armenian. Saya lebih tahu (relatif) tentang Reformed.
Dan ternyata sekarang terbukti lagi. Anggapan bahwa tawaran keselamatan merupakan bukti bahwa Allah membatasi kemahatahuan-Nya, nampaknya merupakan pendirian Armenian, ya, Bro?
OK, kita sebenarnya pernah bahas ini, tapi tertunda. Waktu itu kita membahas tentnag, “Bagaimana mungkin Allah dapat mengetahui sesuatu dapat terjadi (dan bukan merupakan ‘kemungkinan’), tanpa dipastikan terlebih dahulu bahwa apa yang kemudian AKAN diketahui Allah itu memang benar-benar AKAN terjadi demikian. Dan nampaknya kita tunda saja dulu sekali lagi. Kalau masih ada waktu kita kembali lagi ke topik ini. Sorry bro, bukan jadi kacau, tetapi seolah jadi : saya menjawab yang tidak anda tanyakan, karena tidak ada di post anda, he he he Mengenai Armenianism (juga Nestorianism, Calvinist dan Coptic mesir) termasuk aliran gereja yang memisahkan diri dari gereja Katolik, dan memang bertentangan dengan Calvinist. Untuk perbandingannya, bisa anda pelajari di [You must be registered and logged in to see this link.] - Quote :
- Tapi apakah Bro setuju bahwa non-OSAS berindikasi kepada “Allah membatasi Kemahatahuan-Nya”? Kalau Bro memang setuju pada poin ini, maka sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa memang ada ayat Alkitab yang menyatakan Allah membatasi Kemahatahuan-Nya SAAT Dia beroperasi didalam ‘waktu’.
Nah, sepertinya saya setuju pada non-OSAS, tetapi bukan karena Allah membatasi Kemahatahuan Nya, tetapi karena Allah memberi Freewill (bukan pre-destinasi) kepada manusia. - Quote :
- Saya percaya tentang Kemahahadiran Allah seperti yang Bro ungkapkan. Saya tadinya ingin mengatakan bahwa saya kurang setuju dengan istilah Bro, “Allah turun gunung”, karena kalau Dia turun gunung, maka gunung itu jadi kosong, alias DIA tidak ada lagi disana. Saya percaya, bahwa saat Allah menjelma menjadi manusia Yesus, masuk dalam ‘ruang dan waktu’, maka surga tidak kosong.
Jadi, sekalipun Allah yang ‘diatas waktu’, kemudian beraktifitas didalam ‘waktu’, sebenarnya DIA juga PADA SAAT YANG SAMA tetap berada ‘diatas ruang dan waktu’.
Karena itulah saya tetap berpendirian bahwa SIFAT-SIFAT Allah yang kekal dan sempurna yang ‘diatas waktu’ TIDAK PERNAH berubah, sekalipun DIA sedang beraktifitas didalam ‘waktu’.
Dan karena itu pulalah saya berkata bahwa saya tidak akan pernah bisa menjelaskan tentang interaksi antara Kemahatahuan Allah dengan saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, yaitu saat membatasi Kemahatahuan-Nya.
Setelah saya jelaskan seperti di atas, apakah Bro masih tidak sependapat dengan saya, bahwa Allah memang Mahaada?
Jadi, kembali ke laptop… Apakah poin ketiga dan keempat di atas memang sudah cukup membuktikan bahwa ada ayat Alkitab yang menyatakan Allah memang membatasi Kemahatahuan-Nya di dalam ‘waktu’, TANPA mengubah SIFAT Kemahatahuan-Nya yang kekal dan sempurna itu?
Atau memang semua poin di atas sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah membatasi Kemahatahuan-Nya saat DIA beraktifitas didalam ‘waktu’? Kalau semua poin di atas memang belum bisa membuktikan sama sekali, maka saya belum bisa ‘maju’ dalam diskusi ini.
Nah betul, memang Allah adalah Maha Tahu dan Maha Ada. Itu kita sepakat bro. Bahwa Allah berinteraksi dengan manusia itu kita sepakat juga Tetapi mengapa Allah harus mengurangi KemahatahuanNya ketika berinteraksi dengan manusia? Ini yang masih tidak saya mengerti. Bukankah lebih tepat jika kita 'anggap' bahwa Allah yang Mahatahu memberi wahyu kepada manusia penulis kitab dengan pengertian yang dapat dipahami oleh penulis (dan pembaca)? :) - Quote :
- Oya, tentang kalimat kedua diatas, apakah Bro bermaksud ingin menyatakan tentang ‘makna’ satu teks yang terkadang bersifat ‘implisit’ itu? Kalau benar, maka di bawah ini kita akan coba melihat ayat-ayat lainnya untuk mengerti tentang keragaman dinamika tindakan Allah saat beroperasi didalam ‘waktu’. Kita akan mengujinya berdasarkan kriteria “Aras Pertama, Kedua dan Ketiga”.
Betul bro - Quote :
- 1. Coba Bro tempatkan diri sebagai Habil. Lalu Allah bertanya seperti itu kepada Bro. Pertanyaan saya tetap sama: (a) Apakah SAAT ITU Allah benar-benar bertanya kepada Bro? (b) Kalau Bro ditanya seperti itu oleh Allah, apakah Bro diharapkan oleh Allah untuk sungguh-sungguh dan benar-benar menjawab DIA saat itu juga?
2. Coba Bro tempatkan diri sebagai Adam. Lalu Allah bertanya kepada Bro, “Dimanakah engkau?” Apakah Allah SAAT ITU benar-benar bertanya kepada Bro? Apakah Allah memang MENGHARAPKAN Bro untuk menjawab secara spontan saat itu juga? Apakah Bro merasa WAJIB menjawab pertanyaan Allah itu?
3. Coba Bro tempatkan diri sebagai Raja Salomo. Kemudian, setelah MELIHAT persembahan yang luar biasa yang Bro ‘berikan’ kepada Allah, maka DIA pun bertanya, “Apa yang engkau ingin AKU perbuat bagimu?” Apakah pertanyaan itu memang aktual? Apakah Allah SAAT ITU benar-benar bertanya kepada Bro? Apakah Allah memang MENGHARAPKAN Bro untuk menjawab secara spontan saat itu juga? Apakah Bro merasa WAJIB menjawab pertanyaan Allah itu? Bro, sedikit ralat untuk pertanyaan anda, yang seharusnya Allah bertanya kepada Kain, bukan Habil, karena Habil yang terbunuh. Pertanyaan yang diajukan Allah kepada Kain dan Adam lebih kepada teguran bro. Sementara kepada Salomo lebih kepada pengabulan doa. Sepertinya ada juga thread yang saya post mengenai 'perlukah kita berdoa?' karena Allah toh sudah tahu apa yang kita butuhkan. Mirip juga dengan thread lain yang saya juga post yang saya pertanyakan mengapa Allah berkata 'Sekarang telah kuketahui' saat Abraham mematuhi perintah Allah untuk mengurbankan Ishak. -bersambung- | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 08:00 | |
| - Quote :
- Untuk menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang relevan dengan lebih ketat, perlu diajukan usulan tentang ‘tingkat‘kedekatan’ hasil penafsiran dengan teksnya itu sendiri di dalam Alkitab.
1. What the bible says. => (Aras pertama) 2. What you think the Bible says. => (Aras Kedua) 3. What you preceps about what you think the Bible says. => (Aras Ketiga) Ehm, kalau Bible adalah teori matematik yang eksak, maka aras no satu adalah jawabannya bro. Tetapi, karena Bible adalah karya tulis terinspirasi, maka banyak tafsiran yang akan dan bisa berbeda dalam maknanya. Karena jangankan Bible, sedangkan kitab undang undang pun seperti KUHP bisa ditafsirkan dan diperdebatkan di dalam persidangan. Dan setiap orang yang membaca Bible, termasuk kalimat yang sangat jelas sekalipun, bisa memiliki persepsi yang berbeda. Jadi, bagaimana kita mengatakan bahwa persepsi yang ini yang paling benar? Contoh, Allah Tri Tunggal tidak pernah tertulis di Alkitab, tetapi sebagai Kristen kita bisa 'mencari' dan membaca apa yang tidak tertulis jelas di Alkitab. - Quote :
Sekarang Bro berbicara tentang “arti” dari satu teks Alkitab. Keduanya adalah ARAS KEDUA). Catat baik-baik, nih, Bro… saya setuju dengan Bro, apa pun “tujuan” dan “arti” yang Bro maksudkan. Tapi kalau Bro tidak keberatan, kita jangan beranjak dulu pada hal-hal yang implisit. Kita gali dulu yang eksplisitnya.
Kalau Bro saat itu berada di posisi seorang nabi yang SAAT ITU SEDANG diajak bicara oleh Allah dimana DIA berkata, “Aku menyesal telah menciptakan manusia… Aku menyesal telah menjadikan Saul raja…” Apakah Bro sungguh-sungguh merasakan bahwa Allah sungguh-sungguh mengucapkan hal itu (jangan tambahi dulu dengan tafsiran tentang ‘tujuan’ atau ‘arti’/’makna’-nya)? Apakah Allah sungguh-sungguh menghendaki bahwa Bro memahami bahwa DIA memang sungguh-sungguh menyesal?
Bro, apakah saat membaca kita tidak mencari 'arti' dari suatu kalimat? Apakah kita tidak perlu mengetahui apa 'tujuan' kalimat itu? Mengenai nabi yang diajak berbicara oleh Allah. Kembali kita pada pertanyaan, mungkinkah nabi diajak berbicara face to face oleh Allah? Atau pembicaraan itu bersifat wahyu? Jika 'pembicaraan' itu bersifat wahyu, maka tentulah bahasa sang nabi yang dipergunakan. Sehingga saat saya diberi wahyu Allah, saya merasakan melalui perasaan dan pikiran saya tentang kekecewaan dan penyesalan Allah. Atau anda berbeda pendapat bro? :) - Quote :
- Ada dua kemungkinan tentang ‘cara’ Allah mengetahui:
1. Dari intelektualitas yang bersifat progresif. Dia menimbang sesuatu di masa depan berdasarkan apa yang DIA analisis di masa kini. Lihat ilustrasi Bro di atas, dimana Bro mengatakan, “Saya tahu persis cukup dengan melihat proses pembuatannya, apakah bolu yang dibuat itu akan memberi hasil yang baik atau tidak”. Jadi, Bro melihat dan menganalisis dulu situasi/keadaan di masa kini. Lalu menggunakan analisis itu untuk memperkirakan apa yang akan terjadi di masa depan (pada kue bolu itu).
1.a. Pengetahuan ini bersifat analisis dan progresif. Dan ini bukanlah ‘cara’ yang dimiliki Allah saat Dia mengoperasikan Kemahatahuan-Nya. Jika Allah mengoperasikan Kemahatahuan-Nya, maka tidak dibutuhkan suatu mekanisme berpikir, menghitung, memperkirakan, dan lain sebagainya. Dia tahu sesaat itu juga, tentang masa lalu, sekarang dan masa depan. Justru ilustrasi Bro tentang kue bolu itu merupakan ilustrasi tentang ‘cara’ Allah mengetahui melalui pembatasan diri-Nya sendiri atas Kemahatahuan-Nya. Dan itu terjadi ‘didalam waktu’. Sedangkan ‘cara’ mengetahui melalui Kemahatahuan-Nya, tidak diperlukan sekuens sama sekali.
1.b. Oleh karena pengetahuan tentang masa depan (‘hasil akhir’ kue bolu) itu diperoleh melalui pengamatan atas peristiwa masa kini (analisis terhadap ‘proses’ pembuatan kue bolu), maka hal itu masih dikategorikan bahwa yang Allah ketahui dengan ‘cara’ demikian, bukanlah ‘kepastian’ pengetahuan, melainkan ‘dugaan’ terhadap ‘kemungkinan’ hasil akhirnya. Hanya saja karena tingkat kecerdasan Allah yang demikian tinggi, maka analisis dan dugaan-Nya menjadi tidak pernah keliru. Namun, tetap saja hal itu BUKAN merupakan ‘cara’ mengetahui dengan PASTI HASIL AKHIRNYA, melainkan “dugaan terhadap kemungkinan” yang akan terjadi ‘nanti’.
2. Cara mengetahui yang spontan, menyeluruh, lengkap dan sempurna, SEKETIKA/SESAAT itu pula. Nah, inilah yang dimaksudkan dengan Kemahatahuan Allah, yang tanpa memerlukan proses, waktu, sikuens, analisis, pertimbangan, dan lain sebagainya. Allah mengetahui dengan sempurna, lengkap dan spontan, SEKETIKA itu juga. Tapi hal ini bagi para penganut Calvinis masih bisa dipermasalahkan jika sudah berhadapan dengan Armenian. Yaitu, Allah mengetahui dengan PASTI dengan atau tanpa terlebih dahulu melakukan ‘penentuan’ tentang hasil akhirnya. Ini kembali pada pertanyaan saya sebelumnya, “Bagaimana mungkin sesuatu akan PASTI terjadi dan diketahui DEMIKIAN, tanpa terlebih dahulu ditentukan oleh Allah, bahwa hal itu memang AKAN terjadi demikian”.
Saya tidak yakin bahwa semua variasi ‘cara’ mengetahui seperti diatas tidak diperagakan Allah di dalam Alkitab, melalui apa yang Bro anggap sebagai gaya bahasa figuratif (penggambaran, simbolik).
Nah bro, dalam contoh saya tentang pembuatan kue bolu, itu berdasarkan kemampuan saya karena saya tidak mahatahu, tetapi bagaimana jika saya punya film tentang kejadian itu secara lengkap yang dapat saya lihat saat itu juga? Atau sebutlah seperti kalau kita membaca novel detective, dimana kita bisa mengetahui dengan pasti, siapa sang pembunuh sebenarnya? Dan dalam hal ini tentu saja bukan saya yang menentukan bahwa si Mr.X itu adalah si pembunuh sejak awal kisah. | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 08:51 | |
| (Sambungan)
Bukti ketidakmahatahuan dan pembatasan Kemahatahuan
Manusia adalah makhluk yang tidak mahatahu. Gejala yang ada pada manusia bisa digunakan untuk mengindikasikan ketidakmahatahuan. Gejala ketidakmahatahuan itu antara lain: 1. Saat membutuhkan proses berpikir (termasuk untuk menganalisis). 2. Saat melibatkan intelektualitas dalam dinamika berpikir. 3. Saat membutuhkan waktu untuk berpikir dan menganalisis. Jika salah satu ada pada Allah saat beroperasi di dalam ‘waktu’, maka saat itulah DIA sedang membatasi Kemahatahuan-Nya.
4. Jika dibutuhkan data awal untuk mengetahui hasil akhir, maka gejala itu bukan hanya menunjukkan kebergantungan terhadap data awal, melainkan juga ketidak-pastian tentang hasil akhir.
Misalnya, hasil akhir dari kue bolu ditentukan oleh cara sang koki membuat atau memprosesnya. Jika caranya benar, maka hasil akhir kue bolunya memuaskan. Tapi kalau caranya keliru, kemudian ternyata lima menit kemudian sang koki merubah prosesnya, maka hasil akhirnya pun berubah. Jika dikaitkan dengan Allah, maka DIA sangat bergantung pada data awal untuk mengetahui dengan PASTI hasil akhir yang Bro maksudkan.
Sifat kebergantungan ini membuktikan dua hal: (1) Allah membatasi Kemahakuasaan-Nya (tapi tentang hal ini jangan dibahas dulu, ya, sampai tuntas tentang Kemahatahuan-Nya); dan juga (2) Allah membatasi Kemahatahuan-Nya. Karena bergantung pada data awal itulah, maka sebenarnya Allah sedang menduga-duga ‘kemungkinan’, dan bukan ‘mengetahui’ hasil akhir dalam suatu KEPASTIAN.
Sekarang kita hubungkan dengan pernyataan Bro bahwa : “Allah tidak terikat ruang dan waktu. Bagi Dia, masa lampau, masa kini dan masa depan adalah SEKARANG di hadapan hadirat-Nya”.
Nah, itulah yang dimaksudkan dengan SIFAT Allah ‘diatas waktu’. Kemahatahuan Allah (‘diatas waktu’) juga terjadi dalam ‘present time’. Segala sesuatu DIA ketahui ‘SEKETIKA’ dan ‘SEKARANG’ (di dalam hadirat-Nya). Di situ nampak bahwa tidak dibutuhkan intelektualitas. Dia mengetahui segala sesuatu dengan lengkap, rinci, sempurna, SEKETIKA dan SEKARANG (di dalam hadirat-Nya). Tidak dibutuhkan sama sekali proses berpikir.
Karena itulah, jika Allah membutuhkan waktu, proses, pikiran, intelektualitas, data awal dan lain sebagainya, itu justru membuktikan bahwa Allah sedang membatasi Kemahatahuan-Nya, yaitu saat DIA beroperasi di dalam ‘waktu’.
Sekarang kita kembali kepada “Bukti tentang pembatasan Kemahatahuan Allah” yang pernah saya sampaikan sebelumnya:
"Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya."
Kalau penawaran itu diberikan kepada seseorang pada pk. 13.00 dan keputusan dibuat oleh orang itu pada pk. 17.00, maka Allah membutuhkan data awal (pk. 13.00 itu) tentang segala kondisi ybs untuk dapat ‘mengetahui hasil akhir (keputusan) yang akan dibuat orang itu (pk. 17.00). Bukankah ini membuktikan Allah sedang membatasi kemahatahuan-Nya dan sekaligus kemahakuasaan-Nya?
"Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya."
Sama dengan di atas, apa yang Allah hendak ketahui 10 tahun menjelang ajal seseorang, sangat bergantung pada data saat ybs berusia 25, 30 maupun 35 tahun, dan seterusnya. Jika benar demikian, bukankah ini membuktikan Allah sedang membatasi kemahatahuan dan kemahakuasaan-Nya sekaligus?
Dan seterusnya untuk indikasi berikut ini: "Ketiga, dalam Kitab Wahyu disebutkan “barangsiapa menang”. Ini juga mengarah kepada pembatasan diri ‘sesaat’ dalam aspek Kemahatahuan-Nya."
“Ilustrasi Penulis Novel”
Terakhir, tentang contoh pembuat novel. Ini berbeda dengan yang sedang kita bahas, karena penulisnya ‘menentukan’ segala sesuatu sejak awal (sebelum dunia dijadikan). Dia menjadi pembuat skenario, dan para pelaku di dalam novelnya lebih mendekati ‘robot’. Segala hasil akhir memang diketahui lebih dahulu oleh sang penulis, tetapi bukan berdasarkan data awal, melainkan berdasarkan penentuan kedaulatannya sendiri. Dengan demikian, dia memang ‘mahatahu’, karena KEPASTIAN tentang segala hal yang dia ketahui didasarkan pada ‘penentuan sebelumnya’, bukan karena analisis terhadap data awal. Semua ‘ending’ dari tiap-tiap tokoh dan peristiwa, sudah ditentukan sebelumnya oleh sang penulis. Ini sama sekali tidak sesuai dengan ilustrasi pembuat kue bolu. (Tentang ekstrapolasi, mesin waktu, dan putar mundur film, saya tidak mengerti maksud dan relevansinya, Bro. Menurut saya itu lebih ke sain-fiksi. Sorry, ya, Bro…). Syalom. = (finished) =
| |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 11:12 | |
| - bruce wrote:
- Syalom bro,
- Quote :
- Sorry, mungkin Bro salah tangkap. Yang berubah secara dinamis ‘didalam waktu’ bukan SIFAT Allah, melainkan SIKAP Allah. Saya tetap berpendirian bahwa SIFAT Allah yang kekal dan sempurna itu TIDAK BERUBAH, sekalipun DIA beraktifitas di dalam ‘waktu’. Apakah SIKAP Allah yang dinamis didalam ‘waktu’, memang tidak cocok dengan Alkitab?
Jujur, saya masih rancu antara 'sifat' dan 'sikap' yang anda maksudkan bro, jadi mungkin masih sering tertukar-tukar. Tetapi apakah dalam hal ini sikap yang anda maksud itu adalah seperti sikap yang kita juga bersikap, dalam hal ini lebih ke arah perilaku? Betul, Bro, memang itulah yang saya maksudkan. Mudah-mudahan Bro bisa terus menggunakan dikotomi saya itu (‘sifat’ dan ‘sikap’). - bruce wrote:
-
- Quote :
- Kalau semua hal itu sama-sama terjadi ‘didalam waktu’ bagaimana kedua kelompok itu bisa berbeda? Saya kurang mengerti, Bro.
Atau mungkin Bro maksudkan bahwa salah satu kelompok itu terjadi ‘diatas waktu’, sedangkan satu kelompok lagi ‘didalam waktu’? Begini bro, yang satu kelompok bisa terjadi tidak berhubungan dengan kemahatahuan, sementara yang satu kelompok lagi (menyesal, kecewa, mengetahui) sepertinya berhubungan dengan kemahatahuan (kekuasaan terhadap waktu). Ok, saya ikuti apa yang Bro maksudkan… Kita fokus kepada yang berkaitan dengan kemahatahuan saja, ya. Mungkin kelompok yang kedua (‘passion’?) tidak perlu kita bahas dulu. - bruce wrote:
-
- Quote :
- Satu hal yang tidak akan pernah dapat (mampu) saya jawab adalah: “Bagaimana interaksi diantara kedua dikotomi di atas?”. Atau: “Bagaimana Allah, yang pada satu saat memutuskan ‘tidak mengetahui tentang sesuatu’, namun pada saat yang sama Dia tetap Allah yang Mahatahu”?
Mengapa saya tidak akan pernah bisa menjawab? Ya, karena kalau saya bisa menjawabnya, pastilah saya sudah menjadi Mahatahu. Tapi seperti yang Bro katakan, “Apakah Allah BISA melakukan hal itu?”, maka jawab Bro, ”Kalau soal ‘BISA’, pastilah Allah BISA” Betul bro, dan seperti yang pernah juga saya ungkapkan bahwa kita, sebagai mahluk yang terikat pada waktu dan ruang, sungguh sulit menggambarkan bagaimana melihat dan memahami ROH yang tidak terikat ruang dan waktu. Kita hanya mampu menduga-duga, tetapi seperti apa sebenarnya, tidak bisa kita lukiskan.
Boleh memberi ilustrasi lagi?
Kita selalu beranggapan bahwa neraka itu seperti kawah gunung berapi, penuh api yang berkobar. Suasana sangat mengerikan, dan sebagainya.
Betulkah seperti itu?
Betul, memang tertulis seperti itu di Alkitab, karena memang kita tidak bisa menggambarkan bagaimana penderitaan maksimal yang mungkin terjadi. Dan 'pengetahuan' kita hanya memungkinkan penderitaan fisik secara maksimal adalah seperti dibakar hidup-hidup tanpa pernah berhenti.
Begitu juga sebaliknya, bagaimana kita menggambarkan keindahan dan kebahagiaan Surga dengan kondisi dunia (yang bisa kita menbgerti) dengan bahasa kita, sangat sulit. Maka tampilah gambaran taman yang indah, suasana yang nyaman, lagu lagu yang indah dan sebagainya. Betulkah seperti itu?
Jika saya katakan bahwa Tuhan adalah sumber segala kebahagiaan. Sehingga di surga, dimana kita berada bersama sama Sang Sumber Kebahagiaan itu sudah segala galanya, tidak ada kebahagiaan yang bisa melebihi keberadaan kita bersama Sang Sumber Kebahagiaan itu sendiri. Sedangkan neraka, adalah ketiadaan Sang Sumber Kebahagiaan, dimana kita berada pada tempat atau situasi dimna tidak terhadap kebahagiaan sedikitpun. Dan tidak ada kebahagiaan berarti penderitaan. Dan ternyata sangat sulit menyampaikan pengertian seperti itu kepada kebanyakan orang, he he he. Ha…. Ha….. ha…. Memberi penjelasan tentang sesuatu yang sulit untuk dibayangkan? Ya, pastilah akan sulit dimengerti… Tapi teruslah berjuang, Bro… mungkin harus lebih banyak ilustrasi lagi… Tapi hati-hati jangan sampai masuk seperti gambaran sensual ‘sorga’-nya agama sebelah, ya… Jangankan Bro, Tuhan Yesus saja mengalami kesulitan karena keterbatasan pemahaman Yohanes saat menceritakan tentang sorga. Terlebih lagi saat Yohanes harus mengkomunikasikannya kepada kita. Dia bilang, saat peperangan nanti ada belalang yang ekornya berapi. Siapa tahu yang dimaksud Yohanes adalah rudal, ya, ga? OK, kita kembali ke fokus ini: “Kalau Allah ‘BISA’ membatasi operasional Kemahakuasaan-Nya di dalam ‘waktu’…” lalu apa contohnya? Saya sudah berikan penjelasannya di postingan sebelum ini. Silahkan ditanggapi, ya. - bruce wrote:
-
- Quote :
- Tapi apakah Bro setuju bahwa non-OSAS berindikasi kepada “Allah membatasi Kemahatahuan-Nya”? Kalau Bro memang setuju pada poin ini, maka sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa memang ada ayat Alkitab yang menyatakan Allah membatasi Kemahatahuan-Nya SAAT Dia beroperasi didalam ‘waktu’.
Nah, sepertinya saya setuju pada non-OSAS, tetapi bukan karena Allah membatasi Kemahatahuan Nya, tetapi karena Allah memberi Freewill (bukan pre-destinasi) kepada manusia.
- Quote :
- Saya percaya tentang Kemahahadiran Allah seperti yang Bro ungkapkan. Saya tadinya ingin mengatakan bahwa saya kurang setuju dengan istilah Bro, “Allah turun gunung”, karena kalau Dia turun gunung, maka gunung itu jadi kosong, alias DIA tidak ada lagi disana. Saya percaya, bahwa saat Allah menjelma menjadi manusia Yesus, masuk dalam ‘ruang dan waktu’, maka surga tidak kosong.
Jadi, sekalipun Allah yang ‘diatas waktu’, kemudian beraktifitas didalam ‘waktu’, sebenarnya DIA juga PADA SAAT YANG SAMA tetap berada ‘diatas ruang dan waktu’.
Karena itulah saya tetap berpendirian bahwa SIFAT-SIFAT Allah yang kekal dan sempurna yang ‘diatas waktu’ TIDAK PERNAH berubah, sekalipun DIA sedang beraktifitas didalam ‘waktu’.
Dan karena itu pulalah saya berkata bahwa saya tidak akan pernah bisa menjelaskan tentang interaksi antara Kemahatahuan Allah dengan saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, yaitu saat membatasi Kemahatahuan-Nya.
Setelah saya jelaskan seperti di atas, apakah Bro masih tidak sependapat dengan saya, bahwa Allah memang Mahaada?
Jadi, kembali ke laptop… Apakah poin ketiga dan keempat di atas memang sudah cukup membuktikan bahwa ada ayat Alkitab yang menyatakan Allah memang membatasi Kemahatahuan-Nya di dalam ‘waktu’, TANPA mengubah SIFAT Kemahatahuan-Nya yang kekal dan sempurna itu?
Atau memang semua poin di atas sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah membatasi Kemahatahuan-Nya saat DIA beraktifitas didalam ‘waktu’? Kalau semua poin di atas memang belum bisa membuktikan sama sekali, maka saya belum bisa ‘maju’ dalam diskusi ini.
Nah betul, memang Allah adalah Maha Tahu dan Maha Ada. Itu kita sepakat bro. Bahwa Allah berinteraksi dengan manusia itu kita sepakat juga Tetapi mengapa Allah harus mengurangi KemahatahuanNya ketika berinteraksi dengan manusia? Ini yang masih tidak saya mengerti. Bukankah lebih tepat jika kita 'anggap' bahwa Allah yang Mahatahu memberi wahyu kepada manusia penulis kitab dengan pengertian yang dapat dipahami oleh penulis (dan pembaca)? Trim’s, untuk infonya tentang Armenian, Calvinis, dll, ya… Saya inventarisir dulu, deh… “Tetapi mengapa Allah harus mengurangi KemahatahuanNya ketika berinteraksi dengan manusia? Ini yang masih tidak saya mengerti.” Jawab: “Karena Dia tidak mau memperlakukan manusia sebagai (atau mendekati) robot”. “Bukankah lebih tepat jika kita 'anggap' bahwa Allah yang Mahatahu memberi wahyu kepada manusia penulis kitab dengan pengertian yang dapat dipahami oleh penulis (dan pembaca)?” Jawab: “Wah… ini melebar lagi, nih, Bro… kalau bisa jangan meluas dulu. Dan lagi, Bro ‘kan tahu pendirian kalangan Sola Scriptura tentang pewahyuan Alkitab, ‘kan? Jadi kita tunda saja dulu topik ini. Kalau bisa kita upayakan agar pembahasan tentang ‘bukti pembatasan kemahatahuan Allah’ ini semakin mengerucut, Bro… Baru setelah itu kita lihat implikasinya terhadap topik-topik lainnya, seperti pewahyuan Alkitab, dinamika ‘passion’-nya Allah, dll. - bruce wrote:
-
- Quote :
- 1. Coba Bro tempatkan diri sebagai Habil. Lalu Allah bertanya seperti itu kepada Bro. Pertanyaan saya tetap sama: (a) Apakah SAAT ITU Allah benar-benar bertanya kepada Bro? (b) Kalau Bro ditanya seperti itu oleh Allah, apakah Bro diharapkan oleh Allah untuk sungguh-sungguh dan benar-benar menjawab DIA saat itu juga?
2. Coba Bro tempatkan diri sebagai Adam. Lalu Allah bertanya kepada Bro, “Dimanakah engkau?” Apakah Allah SAAT ITU benar-benar bertanya kepada Bro? Apakah Allah memang MENGHARAPKAN Bro untuk menjawab secara spontan saat itu juga? Apakah Bro merasa WAJIB menjawab pertanyaan Allah itu?
3. Coba Bro tempatkan diri sebagai Raja Salomo. Kemudian, setelah MELIHAT persembahan yang luar biasa yang Bro ‘berikan’ kepada Allah, maka DIA pun bertanya, “Apa yang engkau ingin AKU perbuat bagimu?” Apakah pertanyaan itu memang aktual? Apakah Allah SAAT ITU benar-benar bertanya kepada Bro? Apakah Allah memang MENGHARAPKAN Bro untuk menjawab secara spontan saat itu juga? Apakah Bro merasa WAJIB menjawab pertanyaan Allah itu? Bro, sedikit ralat untuk pertanyaan anda, yang seharusnya Allah bertanya kepada Kain, bukan Habil, karena Habil yang terbunuh.
Pertanyaan yang diajukan Allah kepada Kain dan Adam lebih kepada teguran bro. Sementara kepada Salomo lebih kepada pengabulan doa. Sepertinya ada juga thread yang saya post mengenai 'perlukah kita berdoa?' karena Allah toh sudah tahu apa yang kita butuhkan. Mirip juga dengan thread lain yang saya juga post yang saya pertanyakan mengapa Allah berkata 'Sekarang telah kuketahui' saat Abraham mematuhi perintah Allah untuk mengurbankan Ishak.
-bersambung- Bro, menurut saya, pernyataan yang saya bold diatas masih pada ARAS KEDUA (“What you think the Bible says”). Itu sama saja dengan mengulang tentang ‘makna’, atau ‘arti’ atau ‘tujuan’. Padahal yang saya tanyakan adalah “What the Bible Says” (ARAS PERTAMA). Kalau Bro terus beredar di aras itu dan tidak segera bergeser ke ARAS PERTAMA, kita tidak akan maju-maju dalam diskusi ini, Bro. Sekalipun Allah tidak berubah SIFAT Kemahatahuan-Nya, tetapi toh DIA tetap menguji Abraham dan mengeluarkan statemen demikian, bukan? Apakah ujian berat yang dijalani Abraham itu ditanggapi dengan mengatakan, “Ahh, Allah toh sudah tahu hasil akhirnya… Gitu aja koq repot?” Saya pikir, Abraham memang benar-benar repot waktu itu. Dia benar-benar bergumul luar biasa karena harus mengorbankan anak perjanjian itu. Apakah pergumulan yang sangat luar biasa itu (cobalah tempatkan diri Bro di posisinya) sama sekali tidak memberikan ‘sumbangsih’ APAPUN kepada Allah (saat itu sedang ‘didalam waktu’) sehingga DIA bisa dengan bangga mengatakan statemen-Nya itu? Atau Dia hanya ‘main-main’ dengan pengujian terhadap Abraham dan juga tentang statemen-Nya itu? Jika Allah ‘serius’, apa konsekuensinya bagi pembaca Alkitab? Tetap pada ARAS KEDUA, atau berupaya konsisten dengan ARAS PERTAMA? Cobalah tambahkan lagi keseriusan setan saat menanggapi tantangan Allah untuk menguji Ayub. Apakah setan tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan yang Allah berikan kepadanya itu dengan sebaik-baiknya, hanya karena dia tahu bahwa Allah SEDANG menerapkan Kemahatahuan-Nya (atau justru sebaliknya: setan tahu bahwa Allah sedang membatasi Kemahatahuan-Nya)? Tambahkan lagi dengan peristiwa dimana Allah ingin membunuh Musa karena ‘menolak’ perintah Allah. Apakah dalam peristiwa itu Musa tidak menganggap bahwa Allah sedang membatasi Kemahatahuan-Nya?Atau, apakah Allah tidak sedang ‘menunggu’ ada orang yang bisa membatalkan DIA membunuh Musa? Bukankah orang yang menyelamatkan Musa SAAT ITU benar-benar berpikir bahwa Allah serius ingin membunuh Musa? Kalau benar memang demikian, lalu mengapa kita harus menafsirkannya dengan ARAS KEDUA? Cobalah tempatkan diri kita pada para tokoh Alkitab yang saat itu benar-benar harus memutuskan apakah SAAT ITU Allah sedang membatasi Kemahatauan-Nya atau tidak. Ada banyak peristiwa lagi sebenarnya yang jika dibahas pada ARAS PERTAMA, menjadi lebih serius berbicara tentang ‘passion’ dan indikasi ‘pembatasan Kemahatahuan-Nya’ dibandingkan hanya dengan menyatakan ‘itu hanya sekadar gambaran/simbolik’ (ARAS KEDUA). Jadi, jika Bro setuju bahwa ARAS PERTAMA lebih diprioritaskan (lebih berotoritas) dibandingkan dengan ARAS KEDUA, cobalah untuk menyajikan tafsiran Bro yang selalu ‘lebih dekat’ ke Alkitab (yaitu ARAS PERTAMA), dibandingkan yang lebih jauh dari Alkitab (yaitu ARAS KEDUA). - bruce wrote:
-
- Quote :
- Untuk menafsirkan ayat-ayat Alkitab yang relevan dengan lebih ketat, perlu diajukan usulan tentang ‘tingkat‘kedekatan’ hasil penafsiran dengan teksnya itu sendiri di dalam Alkitab.
1. What the bible says. => (Aras pertama) 2. What you think the Bible says. => (Aras Kedua) 3. What you preceps about what you think the Bible says. => (Aras Ketiga) Ehm, kalau Bible adalah teori matematik yang eksak, maka aras no satu adalah jawabannya bro. Tetapi, karena Bible adalah karya tulis terinspirasi, maka banyak tafsiran yang akan dan bisa berbeda dalam maknanya.
Karena jangankan Bible, sedangkan kitab undang undang pun seperti KUHP bisa ditafsirkan dan diperdebatkan di dalam persidangan.
Dan setiap orang yang membaca Bible, termasuk kalimat yang sangat jelas sekalipun, bisa memiliki persepsi yang berbeda. Jadi, bagaimana kita mengatakan bahwa persepsi yang ini yang paling benar?
Contoh, Allah Tri Tunggal tidak pernah tertulis di Alkitab, tetapi sebagai Kristen kita bisa 'mencari' dan membaca apa yang tidak tertulis jelas di Alkitab. Bro, kalau bisa kita jangan melebar dan meluas ke topik lain… “Ehm, kalau Bible adalah teori matematik yang eksak, maka aras no satu adalah jawabannya bro. Tetapi, karena Bible adalah karya tulis terinspirasi, maka banyak tafsiran yang akan dan bisa berbeda dalam maknanya”. Makin banyak tafsiran, bukan selalu berarti baik. Mungkin saja semakin banyak tafsiran, justru semakin banyak kemungkinan terjadi kekeliruan, hingga muncullah sekte-sekte dan perpecahan serta klaim-klaim diri sebagai ‘yang paling benar’. Kalau Bro lihat “KO”-nya doktrin “Predestination” di forum sebelah, ternyata itu disebabkan oleh seorang netter yang menggunakan ‘pagar’ (batasan-batasan) dalam penafsiran Alkitab, Bro (coba, deh, cari satu postingan terakhir saja dari netter yang namanya ‘nuansa’). Saya mohon jangan terlalu melebar, Bro… Kita tahu perbedaan antara matematik dan literatur. Ilmu sosial saja memiliki hermeneutika (lihat produk LP3ES, dll). “Dan setiap orang yang membaca Bible, termasuk kalimat yang sangat jelas sekalipun, bisa memiliki persepsi yang berbeda. Jadi, bagaimana kita mengatakan bahwa persepsi yang ini yang paling benar?” Itulah sebabnya, agar suatu diskusi tidak melebar (melainkan mengerucut) dan suatu kegerakan tidak mengalami perpecahan, serta demi mencegah lahirnya sekte-sekte baru yang mengklaim diri sebagai ‘yang paling benar’, maka dibutuhkan semacam rambu-rambu tentang mana yang harus diutamakan, mana yang normatif, mana yang lebih berotoritas. Pengujian atas berbagai macam tafsiran selalu dilakukan oleh orang-orang yang duduk di dalam struktur kegerejaan, termasuk Katolik. Dan untuk menguji benar-tidaknya satu pengajaran atau satu tafsiran, pastilah ada alat ukur yang digunakan bersama (berdasarkan persetujuan/konsensus sebelumnya). Berdasarkan ukuran yang telah diterima bersama itulah maka bisa ditentukan mana tafsiran atau pengajaran yang benar (yang lebih dekat ke Alkitab), dan mana yang bertentangan dengannya. Mengapa dalam hukum positif harus ditulis rinci dan tepat? Karena untuk menghindari multiinterpretasi atas setiap teks yang terdapat didalamnya. Ini berbeda dengan Alkitab, karena Alkitab tidak dapat diperbaharui atau diubah lagi. Sedangkan hukum positif masih bisa diubah dan dibaharui setiap saat. Karena itulah maka untuk hukum positif tidak dibutuhkan semacam guideline atau ‘pagar’ untuk menafsirkan teks-teksnya. Tapi karena Alkitab tidak boleh diubah, dan ternyata sudah menghasilkan banyak denom dan sekte, maka diperlukan semacam perangkat untuk menentukan apakah satu tafsiran harus diutamakan dari yang lainnya sementara tafsiran lainnya boleh dikategorikan sebagai bidat, atau tidak, dan lain sebagainya. Seseorang kedapatan mencuri. Tetapi dia baru bisa divonis setelah ada ‘aturan’ hukum yang digunakan untuk mendakwa sang pencuri. Kalau saya tidak menyajikan semacam guideline di atas, tentu kita tidak akan bisa memutuskan apakah judul dan tujuan thread ini memang bisa dituntaskan atau tidak. Begitu, Bro... GBU
Terakhir diubah oleh epafras tanggal 29th September 2011, 23:45, total 1 kali diubah | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 15:56 | |
| - Quote :
- Manusia adalah makhluk yang tidak mahatahu. Gejala yang ada pada manusia bisa digunakan untuk mengindikasikan ketidakmahatahuan. Gejala ketidakmahatahuan itu antara lain:
1. Saat membutuhkan proses berpikir (termasuk untuk menganalisis). 2. Saat melibatkan intelektualitas dalam dinamika berpikir. 3. Saat membutuhkan waktu untuk berpikir dan menganalisis. Jika salah satu ada pada Allah saat beroperasi di dalam ‘waktu’, maka saat itulah DIA sedang membatasi Kemahatahuan-Nya.
4. Jika dibutuhkan data awal untuk mengetahui hasil akhir, maka gejala itu bukan hanya menunjukkan kebergantungan terhadap data awal, melainkan juga ketidak-pastian tentang hasil akhir.
Setuju dengan kesimpulan 1,2 dan 4 yang anda buat. Point 3 akan mnimbulkan pertanyaan ulang : 'Apakah untuk berinteraksi dengan manusia, Allah harus membatasi KemahatauanNya?' - Quote :
- "Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya."
Kalau penawaran itu diberikan kepada seseorang pada pk. 13.00 dan keputusan dibuat oleh orang itu pada pk. 17.00, maka Allah membutuhkan data awal (pk. 13.00 itu) tentang segala kondisi ybs untuk dapat ‘mengetahui hasil akhir (keputusan) yang akan dibuat orang itu (pk. 17.00). Bukankah ini membuktikan Allah sedang membatasi kemahatahuan-Nya dan sekaligus kemahakuasaan-Nya?
Mengapa untuk menawarkan harus 'tidak mahatahu' bro? Rasanya untuk mengetahui secara pasti bahwa saat saya menawarkan minum kepada orang yang haus akan diterima dengan senang hati. Bahkan sebelum tawaran inum saya ditawarkan kepada seorangpun (kecuali di bulan puasa, dan bukan di kendaraan umum ya). - Quote :
- "Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya."
Sama dengan di atas, apa yang Allah hendak ketahui 10 tahun menjelang ajal seseorang, sangat bergantung pada data saat ybs berusia 25, 30 maupun 35 tahun, dan seterusnya. Jika benar demikian, bukankah ini membuktikan Allah sedang membatasi kemahatahuan dan kemahakuasaan-Nya sekaligus?
10 tahun menjelang ajal, apakah Allah tahu atau tidak tahu akan ajal seseorang bro? Ataukah anda beranggapan bahwa Allah 'hanya' mengetahui hal-hal pokok (yang penting saja) dari seorang manusia, sementara hal yang kurang penting diserahkan sepenuhnya pada 'waktu' ? Sorry, ini mungkin bisa lompat langsung ke kesimpulan diskusi kita nih, he he he. Mat 10:30 Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya. Luk 12:7 bahkan rambut kepalamupun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit. Bagaimana dengan ucapan langsung dari Jesus ini akan kita artikan, bro? Ok, kita lanjutkan dulu : - Quote :
- Terakhir, tentang contoh pembuat novel. Ini berbeda dengan yang sedang kita bahas, karena penulisnya ‘menentukan’ segala sesuatu sejak awal (sebelum dunia dijadikan). Dia menjadi pembuat skenario, dan para pelaku di dalam novelnya lebih mendekati ‘robot’. Segala hasil akhir memang diketahui lebih dahulu oleh sang penulis, tetapi bukan berdasarkan data awal, melainkan berdasarkan penentuan kedaulatannya sendiri. Dengan demikian, dia memang ‘mahatahu’, karena KEPASTIAN tentang segala hal yang dia ketahui didasarkan pada ‘penentuan sebelumnya’, bukan karena analisis terhadap data awal. Semua ‘ending’ dari tiap-tiap tokoh dan peristiwa, sudah ditentukan sebelumnya oleh sang penulis. Ini sama sekali tidak sesuai dengan ilustrasi pembuat kue bolu.
Betul, novel memang ditulis, karenanya saya katakan dipost saya bahwa seandainya bukan saya yang menulis kisah novel itu. Untuk film, bagaimana jika seluruh kehidupan anda sejak lahir difilmkan hingga kelak anda meninggal. Dan siapapun yang menyaksikan film itu mengetahui secara detail apa yang terjadi dalam hidup anda. Bedanya dengan Allah yang maha tahu, Ia bisa melihat akhir film langsung dari akhir kisah anda. Bukankah dalam hal ini Ia mengetahui dengan detail tanpa menentukan arah hidup anda hingga akhir? - Quote :
- Betul, Bro, memang itulah yang saya maksudkan. Mudah-mudahan Bro bisa terus menggunakan dikotomi saya itu (‘sifat’ dan ‘sikap’).
Ok, saya coba mengikuti alur pikir anda bro, walau yang masih mengganggu adalah mengapa harus dibuat dikotomi itu? :) - Quote :
- “Tetapi mengapa Allah harus mengurangi KemahatahuanNya ketika berinteraksi dengan manusia? Ini yang masih tidak saya mengerti.”
Jawab: “Karena Dia tidak mau memperlakukan manusia sebagai (atau mendekati) robot”.
“Bukankah lebih tepat jika kita 'anggap' bahwa Allah yang Mahatahu memberi wahyu kepada manusia penulis kitab dengan pengertian yang dapat dipahami oleh penulis (dan pembaca)?”
Jawab: “Wah… ini melebar lagi, nih, Bro… kalau bisa jangan meluas dulu. Dan lagi, Bro ‘kan tahu pendirian kalangan Sola Scriptura tentang pewahyuan Alkitab, ‘kan? Jadi kita tunda saja dulu topik ini. Kalau bisa kita upayakan agar pembahasan tentang ‘bukti pembatasan kemahatahuan Allah’ ini semakin mengerucut, Bro… Baru setelah itu kita lihat implikasinya terhadap topik-topik lainnya, seperti pewahyuan Alkitab, dinamika ‘passion’-nya Allah, dll. Sepertinya tidak melebar bro. Karena yang saya maksudkan adalah, untuk mempermudah pengertian kepada penulis, Allah mewahyukan sesuai keterbatasan manusia. Allah TIDAK mewahyukan SELURUH pengetahuanNya kepada penulis, tetapi hanya SEBAGIAN. Dan itu yang anda atau kebanyakan dari kita menganggap bahwa Allah membatasi Kemahatahuan-Nya. - Quote :
- Bro, menurut saya, pernyataan yang saya bold diatas masih pada ARAS KEDUA (“What you think the Bible says”). Itu sama saja dengan mengulang tentang ‘makna’, atau ‘arti’ atau ‘tujuan’. Padahal yang saya tanyakan adalah “What the Bible Says” (ARAS PERTAMA). Kalau Bro terus beredar di aras itu dan tidak segera bergeser ke ARAS PERTAMA, kita tidak akan maju-maju dalam diskusi ini, Bro.
Jadi saya mohon kesediaan Bro untuk mencoba menjawab pertanyaan ini untuk sekadar membantu Bro masuk pada ARAS PERTAMA. Waduh kok maksa, he he he. Sulit bro, untuk ayat yang menyebutkan siapa saja rasul Jesus, semua tertulis JELAS dan PASTI. Sedangkan untuk ayat yang menyebutkan bahwa Yakobus adalah saudara Jesus saja bisa berbeda arti, dan masing masing berpegang pada pendapat berbeda, apakah Yakobus itu saudara kandung atau saudara sepupu. - Quote :
- Jadi, saya mohon sekali, nih, Bro, kalau tidak keberatan, Bro dapat menjawab tiap poin ayat di atas, dengan cara menempatkan posisi Bro pada para tokohnya sesuai dengan konteks peristiwanya masing-masing
Kain. Saya akan ketakutan, karena saya sadar bahwa perbuatan saya telah diketahuiNya. Adam. Saya tahu bahwa murka Allah akan segera menimpa saya, karena saya sadar telah melanggar laranganNya Salomo. Saya akan menjawab 'tawaran' Allah itu, karena saya sadar bahwa Allah ingin penegasan saya. Abraham. Saya sadar bahwa saya telah lulus ujian terhadap kepatuhan :) - Quote :
- Cobalah tambahkan lagi keseriusan setan saat menanggapi tantangan Allah untuk menguji Ayub. Apakah setan tidak sungguh-sungguh memanfaatkan kesempatan yang Allah berikan kepadanya itu dengan sebaik-baiknya, hanya karena dia tahu bahwa Allah SEDANG menerapkan Kemahatahuan-Nya (atau justru sebaliknya: setan tahu bahwa Allah sedang membatasi Kemahatahuan-Nya)?
Oh, setan sungguh serius menghajar Ayub bro. Karenanya Tuhan sudah mewanti wanti agar setan tidak menyentuh jiwa Ayub. - Quote :
- Tambahkan lagi dengan peristiwa dimana Allah ingin membunuh Musa karena ‘menolak’ perintah Allah. Apakah dalam peristiwa itu Musa tidak menganggap bahwa Allah sedang membatasi Kemahatahuan-Nya?Atau, apakah Allah tidak sedang ‘menunggu’ ada orang yang bisa membatalkan DIA membunuh Musa? Bukankah orang yang menyelamatkan Musa SAAT ITU benar-benar berpikir bahwa Allah serius ingin membunuh Musa? Kalau benar memang demikian, lalu mengapa kita harus menafsirkannya dengan ARAS KEDUA? Cobalah tempatkan diri kita pada para tokoh Alkitab yang saat itu benar-benar harus memutuskan apakah SAAT ITU Allah sedang membatasi Kemahatauan-Nya atau tidak
Tuhan memilih Musa secara khusus untuk memimpin bangsa Israel keluar dari tanah Mesir. Dan kemudian Musa beserta dengan istrinya, Zipora dan anaknya pergi ke Mesir. Namun, di tengah jalan, dikatakan bahwa Tuhan ingin membunuhnya. Dalam hal ini, kita harus melihat bahwa “membunuhnya” dapat diartikan bahwa mungkin Musa terkena satu penyakit, satu kejadian yang buruk, yang dapat saja mencabut nyawanya. Kalau di ayat-ayat sebelumnya, Tuhan meminta Musa untuk memimpin bangsa Israel, sekarang Musa harus membuktikan bahwa diri-Nya dapat memimpin keluarganya terlebih dahulu, membuktikan bahwa dia sendiri juga menjalankan apa yang diperintahkan oleh Tuhan. Musa telah lalai untuk menyunat anaknya, di mana sunat merupakan tanda perjanjian dengan Tuhan dan hal ini dikatakan di kitab Kejadian sebagai berikut “Inilah perjanjian-Ku, yang harus kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap laki-laki di antara kamu harus disunat” (Gen 17:10) Dan hukuman bagi yang tidak menjalankan perjanjian ini adalah: “Dan orang yang tidak disunat, yakni laki-laki yang tidak dikerat kulit khatannya, maka orang itu harus dilenyapkan dari antara orang-orang /ebangsanya: ia telah mengingkari perjanjian-Ku.” (Kej 17:14) Dalam konteks inilah, maka Musa yang bertanggung jawab agar anaknya mengikuti perjanjian Tuhan, namun ternyata tidak menjalankannya, akhirnya menerima akibatnya. Menyadari akan hal ini, maka istri Musa menyunat anaknya dan menyentuhkan kulit khatan anaknya kepada kaki Musa, sebagai tanda bahwa sunat sebagai tanda perjanjian dengan Tuhan telah dilaksanakan, sehingga dia berharap bahwa Musa dapat dilepaskan dari hukuman Tuhan. Dan Zipora mengatakan bahwa Musa adalah pengantin darah baginya , yaitu karena dia telah menyelamatkan Musa sehingga Musa tetap hidup menjadi suaminya dengan cara meneteskan darah dari anaknya yang disunat. -bersambung- | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 16:32 | |
| @epafras
Kita rehat sejenak, bro. Kita coba brainstorming dulu.
Bro, sesungguhnya, apa yang anda sampaikan mengenai 'pengurangan' Kemahatahuan Allah, juga sebagian saya setujui. Tetapi dengan semakin mengetahui dan semakin mendalami, semakin kompleks masalahnya. Tidak sesederhana dikotomi yang anda buat itu.
Kita sependapat bahwa :
1. Allah itu Tri-Tunggal 2. Allah itu Sang Pencipta (segala sesuatu kelihatan/tidak kelihatan diciptakan olehNya) 3. Allah itu Maha Kuasa (tidak ada kuasa apapun yang menyaingi kuasa Allah) 4. Allah itu Maha Ada (tidak ada tempat di mana Allah tidak hadir) 5. Allah itu Maha Tahu(tidak ada rahasia apapun yang tidak diketahui Allah, temasuk masa depan / waktu)
Tetapi kita juga membaca di Alkitab, bahwa banyak kejadian yang seolah olah Tuhan itu tidak maha tahu. Tuhan masih bertanya, Tuhan kecewa (kecewa karena harapan tidak terwujud), dll.
Sehingga kita (anda?) mereduksi Kemahakuasaan Tuhan, mengurangi Kemahatahuan Tuhan saat berhadapan dengan manusia. Mengapa? Anda berkata bahwa Allah tidak mau manusia menjadi robot. Yang menjadi pertanyaan adalah, KAPAN saat Tuhan menggunakan SELURUH KemahakuasaanNya dan kapan Ia menggunakan hanyaSEBAGIAN?
Sementara, saya lebih melihat bahwa Tuhan MUNGKIN 'membatasi' kemahatahuanNya saat berhadapan dengan manusia. Ibaratnya, Tuhan tidak melihat halaman akhir dari kisah novel, WALAUPUN Dia bisa melihatnya. Tujuannya apa? Apakah seperti kita manusia yang sedang membaca novel seru, sehingga kita tidak mau MERUSAK kenikmatan membaca dengan mengetahui akhir kisah? Apakah sesederhana itu?
Jika, Tuhan menggunakan dikotomi seperti yang anda sebutkan di awal thread. Maka, apakah saat penciptaan Tuhan juga membatasi kemahatahuaanNya? Apakah saat menciptakan malaikat, Tuhan juga tidak tahu bahwa sebagian malaikat akan memberontak? Mengapa setelah terjadi pemberontakan, Tuhan tidak memusnahkan iblis, apakah Tuhan tidak tahu bahwa sang iblis akan menjatuhkan manusia dalam dosa? Apakah saat menciptakan manusia, Tuhan tidak tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa akibat si iblis? Apakah meletakkan pohon pengetahuan di tengah Firdaus juga karena Tuhan tidak tahu apa akibat yang mungkin terjadi?
Jika, Tuhan membatasi kemahatahuanNya, bagaimana dengan yang tercantum dalam Kitab Wahyu mengenai akhir jaman? Apakah masih dalam perencanaan yang MUNGKIN terjadi seperti tertulis tetapi juga MUNGKIN gagal terlaksana?
Jujur saja, memang sangat aneh jika kita berkata bahwa semua memang dalam rencana Tuhan. Dengan konsekuensi bahwa iblis dan kejahatan juga merupakan rancangan Tuhan. Sesuatu yang sulit diterima.
Begitu juga jika kita katakan bahwa semua itu terjadi bukan karena Tuhan, Tuhan hanya menciptakan hukum-hukum alam, dan selanjutnya diserahkan pada kehendak 'pasar', dimana baik atau buruk, Tuhan tidak ikut campur. Dan hanya 'membantu' jika dirasa sudah gawat. Di sini terkesan Tuhan hanya memelihara binatang peliharaan tetapi tidak memelihara setiap hari.
Nah, itu yng terlintas dalam benak saya bro. Silahkan ditanggapi jika anda berminat.
:) | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 29th September 2011, 17:39 | |
| -lanjutan- - Quote :
- Baiklah, kalau memang Bro masih merasa keberatan untuk menerima bahwa ARAS PERTAMA lebih dapat diandalkan untuk mencapai hasil signifikan dari diskusi ini, maka ada alternatif sbb:
1. Bro menyajikan usulan alternatif untuk ‘pagar’ atau ‘ukuran’ yang dapat digunakan menguji tafsiran kita berdua atas ayat-ayat yang nanti akan kita munculkan demi menguji tesis yang sudah saya ajukan sebelumnya. Saya bukan tidak setuju dengan aras pertama, tetapi keberatan jika harus menerima bahwa apa yang tertulis dalam ayat harus diartikan secara literal SAJA atau figuratif SAJA. Karena beberapa pertimbangan seperti tertulis di bawah ini : Untuk mempelajari Kitab Suci, kita perlu melihat kaitan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, antara ayat yang satu dengan ayat yang lainnya, untuk mendapat pengertian yang menyeluruh dan pemahaman yang benar akan Sabda Allah itu. Perjanjian Lama yang merupakan latar belakang Perjanjian baru, merupakan kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”[1] Alkitab merupakan Sabda Allah yang disampaikan melalui tulisan penulis kitab yang ditunjuk oleh Allah untuk menuliskan hanya yang diinginkan oleh Tuhan.[2] Maka jika kita ingin memahami Alkitab, kita perlu mengetahui makna yang disampaikan oleh para pengarang kitab dan apakah yang ingin disampaikan oleh Allah melalui tulisannya. Dan karena Alkitab bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Alkitab sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan Kitab Suci. Ke-4 Prinsip Mengartikan AlkitabSecara umum, Alkitab mempunyai dua macam arti. Yang pertama disebut ‘literal/ harafiah’ sedangkan yang kedua disebut sebagai ‘spiritual/ rohaniah’. Kemudian arti rohaniah ini terbagi menjadi 3 macam, yaitu: alegoris, moral dan anagogis.[3] Ke-empat macam arti ini secara jelas menghubungkan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. 1. Arti literal/ harafiah. Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah”.[4] Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah. 2. Arti alegoris Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus. Contohnya: a) Penyeberangan bangsa Israel melintasi Laut Merah adalah tanda kemenangan yang diperoleh umat beriman melalui Pembaptisan (lih.Kel14:13-31; 1Kor 10:2). b) Kurban anak domba Paska di Perjanjian Lama merupakan tanda kurban Yesus Sang Anak Domba Allah pada Perjanjian Baru (Kel 12: 21-28; 1 Kor 5:7)). c) Abraham yang rela mengurbankan anaknya Ishak adalah gambaran dari Allah Bapa yang rela mengurbankan Yesus Kristus Putera-Nya (Kej 22: 16; Rom 8:32). d) Tabut Perjanjian Lama adalah gambaran dari Bunda Maria, Sang Tabut Perjanjian Baru. Karena pada tabut Perjanjian Lama tersimpan dua loh batu kesepuluh perintah Allah (Kel 25:16) dan roti manna (Kel 25:30); sedangkan pada rahim Maria Sang Tabut Perjanjian Baru tersimpan Sang Sabda yang menjadi manusia (Yoh 1:14), Sang Roti Hidup (Yoh 6:35).3. Arti moral Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam Alkitab. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11). a) Ajaran Yesus agar kita duduk di tempat yang paling rendah jika diundang ke pesta (Luk 14:10), maksudnya adalah agar kita berusaha menjadi rendah hati. b) Peringatan Yesus yang mengatakan bahwa ukuran yang kita pakai akan diukurkan kepada kita (Mrk 4: 24) maksudnya agar kita tidak lekas menghakimi orang lain. c) Melalui mukjizat Yesus menyembuhkan dua orang buta, yang berteriak-teriak, “Yesus, Anak Daud, kasihanilah kami!” (Mat 20: 29-34) Yesus mengajarkan agar kita tidak lekas menyerah dalam doa permohonan kita. 4. Arti anagogis Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya adalah: a) Gereja di dunia ini melambangkan Yerusalem surgawi (lih. Why 21:1-22:5). b) Surga adalah tempat di mana Allah akan menghapuskan setiap titik air mata (Why 7:17).Pepatah mengenai ke-4 arti Alkitab Berikut ini adalah pepatah yang berasal dari Abad Pertengahan: “ Huruf [dari kata letter/ literal] mengajarkan kejadian; apa yang harus kau percaya, alegori; moral, apa yang harus kau lakukan; ke mana kau harus berjalan, anagogi.”[5] Contoh interpretasi Alkitab menggunakan ke-4 prinsipMaka semua kejadian di dalam Alkitab memiliki makna harafiah, walaupun dapat mengandung arti rohaniah juga. Contohnya adalah kisah Allah menurunkan roti manna di padang gurun (Kel 16).[6] -Secara harafiah, memang Allah memberi makan bangsa Israel dengan manna yang turun dari langit selama 40 tahun saat mereka mengembara di padang gurun. -Secara alegoris, roti manna menjadi gambaran Ekaristi, di mana Yesus sebagai Roti Hidup adalah Roti yang turun dari surga (Yoh 6:51), menjadi santapan rohani kita umat beriman yang masih berziarah di dunia ini. -Secara moral, kisah ini mengajarkan kita untuk tidak cepat mengeluh dan bersungut-sungut (Kel 16:2-3) kepada Allah. Umat Israel yang bersungut-sungut akhirnya dihukum Allah sehingga tak ada dari generasi mereka yang dapat masuk ke tanah terjanji (selain Yoshua dan Kaleb). -Secara anagogis, kita diingatkan bahwa seperti roti manna yang berhenti diturunkan setelah bangsa Israel masuk ke Tanah Kanaan, maka Ekaristi juga akan berakhir pada saat kita masuk ke Surga, yaitu saat kita melihat Tuhan muka dengan muka. Peran Gaya Bahasa dalam Alkitab (pernah saya tuliskan, saya ulang agar menyambung) Seperti halnya pada sebuah karya tulis pada umumnya, peran gaya bahasa adalah sangat penting. Demikian juga pada Alkitab, sebab Allah berbicara pada kita dengan menggunakan bahasa manusia. Maka kita perlu memahami gaya bahasa yang digunakan, agar dapat lebih memahami isinya. Secara umum, gaya bahasa yang digunakan dalam Alkitab sebenarnya tidaklah rumit, sehingga orang kebanyakan dapat menangkap maksudnya. Dalam hampir semua perikop Alkitab, sebenarnya cukup jelas, apakah pengarang Injil sedang membicarakan hal yang harafiah atau yang rohaniah. Memang ada kekecualian pada perikop-perikop tertentu, sehingga kita perlu mengetahui beberapa prinsipnya:[7] 1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab Dan 2:40, digambarkan kerajaan yang ke-empat ‘yang keras seperti besi’, maksudnya adalah kekuatan kerajaan tersebut, yang dapat menghancurkan kerajaan lainnya. 2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. Contohnya, “Jiwaku haus kepada Allah Yang hidup” (Mzm 42:3). Sesungguhnya, jiwa yang adalah rohani tidak mungkin bisa haus, seperti tubuh haus ingin minum. Jadi ungkapan ini merupakan metafor untuk menjelaskan kerinduan jiwa kepada Allah. 3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. Misalnya,“Yesus memberi makan kepada lima ribu orang laki-laki” (Mat 14: 21; Mrk 6:44; Luk 9:14; Yoh 6:10) dapat berarti kurang lebih 5000 orang, dapat kurang atau lebih beberapa puluh. 4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. Kita mengatakan ‘matahari terbit’ dan ‘matahari terbenam’, meskipun kita mengetahui bahwa kedua hal tersebut merupakan akibat dari perputaran bumi. Demikian juga dengan ucapan bahwa ‘matahari tidak bergerak’ (Yos 10: 13-14). 5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. Contohnya adalah ungkapan ‘wajah Tuhan’ atau ‘tangan Tuhan’ (Kel 33: 20-23), meskipun kita mengetahui bahwa Tuhan adalah Allah adalah Roh (Yoh 4:24) sehingga tidak terdiri dari bagian-bagian tertentu. 6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Contohnya adalah ucapan rasul Paulus, “Semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah” (Rom 3:23); di sini tidak termasuk Yesus, yang walaupun Tuhan juga sungguh-sungguh manusia dan juga tidak termasuk Bunda Maria yang walaupun manusia tetapi sudah dikuduskan Allah sejak dalam kandungan (tanpa dosa asal). Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi pada kondisi berikut: 1. Jika Alkitab jelas mengatakan bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan. Contoh Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata. 2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes. 3. Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 10). Maka ayat Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi. Tips utama dan contohnyaJadi di sini kita perlu mengingat bahwa jika bahasa yang dipakai tidak menunjuk kepada arti figuratif, dan jika tidak ada kondisi kekecualian seperti yang disebutkan di atas, maka kita harus menginterpretasikan perikop secara harafiah, kecuali adanya argumentasi yang sangat meyakinkan untuk mengartikan sebaliknya. Kita tidak boleh memilih-milih ayat mana yang kelihatannya baik dan mudah untuk dicerna, dan mana yang tidak, untuk menentukan apakah dapat diartikan secara harafiah atau tidak. Misalnya, ada banyak orang tidak menyukai adanya neraka, maka mereka menganggap perkataan Yesus tentang neraka hanya sebagai ucapan simbolis. Ini tentu saja keliru! Atau misalnya, banyak orang salah mengartikan perikop tentang Roti Hidup pada Injil Yohanes 6. Mereka tidak dapat menerima ucapan Yesus secara harafiah,“Jikalau kamu tidak makan daging-Ku dan minum darah-Ku, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu; dan barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal …” (Yoh 6:53-54). Mereka mengartikannya bahwa Yesus hanya berbicara secara simbolik saja. Hal ini tentu adalah sikap yang keliru, yaitu mengartikan suatu perikop secara harafiah atau simbolik hanya berdasarkan ‘selera’ saja atau terbatas pada pemikiran yang sempit.Jika seseorang menganggap perikop Roti Hidup sebagai ‘ayat yang sulit sehingga lebih baik tidak diartikan secara literal tetapi figuratif saja’, maka orang itu memasukkan dirinya dalam golongan orang-orang yang pada jaman Yesus juga menganggap ayat itu terlalu sulit, dan memilih untuk meninggalkan Yesus. “Perkataan ini keras, siapakah yang sanggup mendengarkannya?” (Yoh 6:60). Dan sungguh banyak murid-murid-Nya yang pergi mengundurkan diri dan tidak lagi mengikuti Dia, setelah Yesus mengajarkan demikian. (Yoh 6:66). Jika pengajaran ini hanya bermaksud simbolis, tentu Yesus akan mencegah mereka pergi. Namun Alkitab mengatakan yang sebaliknya. Menanggapi hal ini, Yesus malah bertanya kepada para rasulnya, apakah mereka mau pergi juga. Dan Petrus, mewakili para rasul menjawabNya, “Tuhan, kepada siapakah kami akan pergi? PerkataanMu adalah perkataan hidup yang kekal” (Yoh 6: 68). Maka kita ketahui bahwa hanya para Rasul dan mereka yang setia memegang ajaran ini, adalah mereka yang kepadanya Yesus telah berjanji, “Barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku… ia akan hidup selama-lamanya.” (Yoh 6: 57-58). Sekarang memang kita perlu menilik ke dalam diri kita, termasuk golongan manakah kita ini: yang menerima ayat tersebut secara harafiah ataukah yang figuratif? Jika kita menerima ayat itu secara harafiah sesuai kehendak Yesus, dan kita sudah percaya kepada kehadiran Yesus yang nyata dalam Ekaristi, selanjutnya, apakah sikap kita dalam menyambut Ekaristi sudah mencerminkan iman kita itu? Contoh yang lain adalah cerita Nabi Yunus yang ditelan oleh ikan besar selama 3 hari (Yun 1:17), sebelum dimuntahkan ke laut. Banyak orang menganggap kisah ini tidak masuk akal, sehingga lebih baik dianggap figuratif saja. Namun bagi kita yang percaya pada Sabda Allah, maka sesungguhnya tidaklah sulit bagi kita untuk percaya bahwa hal ini harafiah terjadi, apalagi kisah inilah yang dipakai oleh Yesus untuk menggambarkan kematian-Nya sebelum Ia bangkit pada hari ketiga (Mat 12:39-41; Luk 11:29-32). Melihat pentingnya misteri wafat dan kebangkitan-Nya, tentulah Yesus tidak sekedar hanya mengambil kisah simbolis, namun kisah yang sungguh terjadi. Di sini kita melihat, jika kita mulai mempertanyakan terus dan hanya mau menerima apa yang dapat dibuktikan dengan akal, maka kita dapat terjebak pada memilih-milih ayat sesuai dengan keinginan kita, dan akhirnya dapat mempertanyakan segala mukjizat yang ada dalam Kitab Suci. Hal inilah yang dimiliki oleh banyak ahli Kitab suci jaman modern, yang berusaha merasionalisasikan Alkitab, dan sedapat mungkin mencoret unsur mukjizat dan intervensi ilahi. Sikap yang demikian bukanlah sikap yang rendah hati yang disyaratkan untuk membaca Sabda Tuhan, dan kita sungguh perlu berdoa agar kita tidak mempunyai sikap yang demikian. KesimpulanKeempat prinsip untuk menginterpretasikan Alkitab adalah pedoman bagi kita untuk mendapatkan pengertian yang lebih mendalam akan ayat-ayat Kitab Suci. Prinsip-prinsip tersebut membantu kita untuk dapat “membaca dan menginterpretasikan Kitab Suci dengan semangat roh yang sama dengan bagaimana kitab tersebut dituliskan”,[8] dan dengan demikian kita dapat mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang makna ayat-ayat dalam Kitab suci, karena kita melihat juga kaitan satu ayat dengan ayat-ayat yang lain. Sudah menjadi Tradisi Gereja bahwa ayat-ayat Alkitab tidak untuk dipertentangkan satu dengan yang lain, tetapi selalu dilihat dalam satu kesatuan yang utuh dan saling melengkapi. Mari kita belajar dari teladan kebaikan Tuhan, yang walaupun tetap mempertahankan kebenaran dan kekudusan-Nya, telah sedemikian menyesuaikan Diri-Nya untuk menjangkau kita semua dengan menggunakan bahasa manusia. Mari kita melakukan bagian kita, dengan berusaha untuk memahami apa yang hendak disampaikan-Nya kepada kita. [1] KGK 129 [2] lihat KGK 106 [3] lihat KGK 115-117 [4] St. Thomas Aquinas, Summa Theologiae, I, I, 10 ad 1 [5] KGK 118 [6] Untuk kebih lanjut mengenai ke-4 arti dalam Alkitab ini, silakan membaca buku karangan Mark P. Shea, “Making Sense Out of Scripture: Reading the Bible as the First Christians did (Rancho Santa Fe, CA: Basilica Press, 1999). [7] Father Frank Chacon & Jim Burnham, Beginning Apologetics 7, How to Read the Bible, (San Juan Catholic Seminars, Farmington, NM, 2003) p. 24-25. [8] Konstitusi tentang Wahyu Ilahi, Dei Verbum, 12, Vatikan II.Salam kasih | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 30th September 2011, 00:50 | |
| - bruce wrote:
- @epafras
Kita rehat sejenak, bro. Kita coba brainstorming dulu. :) Ok, Bro… setuju… Tapi saya perlu minta maaf dulu untuk postingan saya di atas, karena saya lupa posisi saya. Jadi akan saya edit dulu. Mohon jangan di reply dulu sebelum selesai di edit, ya, Bro… - bruce wrote:
- @epafras
Bro, sesungguhnya, apa yang anda sampaikan mengenai 'pengurangan' Kemahatahuan Allah, juga sebagian saya setujui. Tetapi dengan semakin mengetahui dan semakin mendalami, semakin kompleks masalahnya. Tidak sesederhana dikotomi yang anda buat itu. :) Boleh saya catat, Bro, keputusan Bro tentang (sebagian) adanya ‘pengurangan’ Kemahatahuan Allah? Benar, Bro, semakin dalam, pasti semakin rumit. Terlebih lagi saat saya sadar kapasitas saya. Jadi sekalipun faktanya seperti itu, saya ingin tetap bisa mencoba untuk menyederhanakannya agar bisa di-sharing-kan dan didiskusikan dengan orang lain. Mungkin sudah kewajiban kita untuk menyederhanakan yang rumit. - bruce wrote:
- @epafras
Kita sependapat bahwa :
1. Allah itu Tri-Tunggal 2. Allah itu Sang Pencipta (segala sesuatu kelihatan/tidak kelihatan diciptakan olehNya) 3. Allah itu Maha Kuasa (tidak ada kuasa apapun yang menyaingi kuasa Allah) 4. Allah itu Maha Ada (tidak ada tempat di mana Allah tidak hadir) 5. Allah itu Maha Tahu(tidak ada rahasia apapun yang tidak diketahui Allah, temasuk masa depan / waktu)
Tetapi kita juga membaca di Alkitab, bahwa banyak kejadian yang seolah olah Tuhan itu tidak maha tahu. Tuhan masih bertanya, Tuhan kecewa (kecewa karena harapan tidak terwujud), dll.
Sehingga kita (anda?) mereduksi Kemahakuasaan Tuhan, mengurangi Kemahatahuan Tuhan saat berhadapan dengan manusia. Mengapa? :) Mungkin Anda kepleset lagi, Bro. Saya tidak mereduksi SIFAT-Nya yang kekal, seperti Kemahakuasaan, Kemahatahuan, Kemahahadiran, Kemahakudusan Allah. Tapi memang nampaknya ada indikasi di dalam Alkitab bahwa ketika Allah beroperasi didalam ‘waktu, maka ‘perilaku’-Nya (istilah Anda) atau SIKAP-Nya (istilah saya) ternyata tidak menampakkan ‘keseluruhan’ masing-masing SIFAT Allah yang kekal dan sempurnya itu. Perilaku/SIKAP-Nya di dalam ‘waktu’ ternyata sangat dinamis, TANPA mengurangi (mereduksi) masing-masing SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal itu. (Nah, disini Anda keplesetnya, Bro). - bruce wrote:
- @epafras
Anda berkata bahwa Allah tidak mau manusia menjadi robot. Yang menjadi pertanyaan adalah, KAPAN saat Tuhan menggunakan SELURUH KemahakuasaanNya dan kapan Ia menggunakan hanyaSEBAGIAN? :) Waduh, Bro, Anda memberikan penekanan pada kata SELURUH. Dan itu tidak terkait dengan Kemahatahuan-Nya, melainkan dengan Kemahakuasaan-Nya. Kalau tidak salah saya menghindari untuk membicarakan terlebih dahulu tentang Kemahakuasaan-Nya. Kalau Anda memang bertanya tentang hal itu, yaitu “KAPAN saat Tuhan menggunakan SELURUH KemahakuasaanNya dan kapan Ia menggunakan hanyaSEBAGIAN?”, maka saya menyerah. Saya tidak mungkin (kalau tidak dapat dikatakan bahwa tidak mungkin ada satu makhluk ciptaan-Nya) yang mengetahui KAPAN Allah menggunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. Ngeri membayangkan jika Dia memang (pernah, atau akan) melakukan hal itu. Bahkan dalam peperangan terakhir dengan si Iblis di penutupan jaman nanti itu pun DIA belum (tidak) menggunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. Saya berpendapat bahwa DIA tidak pernah dan tidak akan pernah sekalipun menerapkannya. Tidak ada sesuatu di luar diri-Nya yang bisa membuat (terlebih lagi ‘memaksa’) DIA melakukan-Nya, karena memang tidak ada yang setara dengan DIA. “Kapan DIA menggunakan hanya sebagian?” Ya, selamanya, Bro… - bruce wrote:
- @epafras
Sementara, saya lebih melihat bahwa Tuhan MUNGKIN 'membatasi' kemahatahuanNya saat berhadapan dengan manusia. Ibaratnya, Tuhan tidak melihat halaman akhir dari kisah novel, WALAUPUN Dia bisa melihatnya. Tujuannya apa? Apakah seperti kita manusia yang sedang membaca novel seru, sehingga kita tidak mau MERUSAK kenikmatan membaca dengan mengetahui akhir kisah? Apakah sesederhana itu? :) Wah, apa yang sudah saya catat tadi, ternyata harus saya hapus lagi, nih, karena Anda menggunakan kata ‘MUNGKIN’. “Apa tujuan-Nya?” Wah… ini benar-benar rumit, Bro. Bagaimana Anda bisa menyimpulkan bahwa, “Ibaratnya, Tuhan tidak melihat halaman akhir dari kisah novel, WALAUPUN Dia bisa melihatnya.” Begini, Bro… (ini masih bisa keliru) Sesaat, hanya untuk pertanyaan ini saja, kita lepas dari topik diskusi kita, ya… (rasanya kita memang perlu bincang-bincang yang berat-berat, ya). Saya mempercayai baik ‘pemberian’ maupun ‘penawaran’ (dalam hal keselamatan). Saya mempercayai bahwa Alkitab mengajarkan baik tentang predestinasi maupun freewill. Tapi, yang dipredestinasi adalah Gereja (“kamu” yang bersifat jamak). Tapi memang ada individu tertentu yang juga dipredestinasi, namun hal ini merupakan kekhususan, kekecualian, yang tidak boleh dijeneralisasi. Nah, karena adanya faktor Gereja yang dipredestinasi itu, maka harus ada penyesuaian tentang ‘novel’ itu, Bro. Bagi saya, untuk bagian-bagian yang dipredestinasi, DIA menuliskan skenarionya, dan tetap mengontrol ending novelnya (‘pernikahan Sang Mampelai Pria dengan Gereja-Nya’, dan lain sebagainya). Dalam satu hal itu, Allah bukan saja ‘melihat’, melainkan juga mengontrolnya. Tetapi untuk setan dan individu (yang tidak dipredestinasi) memang benar Allah membiarkan novel-Nya menanjak sendiri ke arah ‘klimaks’-nya, yaitu ke arah drama yang sudah dipredestinasi itu. Kembali ke pertanyaan Anda, “Apa tujuannya Allah membatasi Kemahatahuan-Nya saat berhadapan dengan manusia?” Pertama, Allah ingin meneguhkan bahwa manusia memang diciptakan segambar dan serupa dengan Dia, yaitu memiliki pribadi dan freewill. Kedua, Allah ingin agar manusia dapat menjadi pribadi yang terhormat dan menghargai kehormatan diri sendiri dan Allah dalam relasi mereka dengan cara belajar dari Allah itu sendiri. Ketiga, Allah ingin agar Dia dapat bersekutu dengan umat-Nya yang terhormat, bukan umat yang kacangan. Keempat, Allah ingin agar manusia dapat menjalin relasi dengan DIA dalam kasih yang murni dan berkualitas. Dan terakhir, Allah ingin menjadikan manusia sebagai rekan sekerja. Dia tidak mau memiliki rekan sekerja yang ‘kerikil’, melainkan ‘berlian’, yang boleh dikatakan ‘miniatur’ Diri-Nya, yang tahu nilai-nilai pengorbanan, pertaruhan harga diri, disalahmengerti, tapi tetap mulia dan terhormat. Semuanya itu merupakan tujuan Allah dalam membatasi Kemahatahuan-Nya saat berinteraksi dengan manusia. Bro PASTI bisa menambahkan sendiri poin-poin di atas dengan melihat dalam kehidupan sehari-hari Bro. Misalnya seperti ilustrasi yang Bro beri tentang seorang ayah yang sedang mengajari anaknya yang duduk di bangku SMP. Mengapa seorang ayah mau menyemirkan dan mengikat tali sepatu anaknya, padahal dia berkuasa untuk memerintahkan pembantunya melakukan itu? Ada ‘berlian’ yang sedang dia tebar dan dia harapkan dari tindakannya itu. Mengajari anaknya yang masih di SMP? Padahal dia mampu membayar guru les privat. Mengantar anak ke sekolah? Padahal di punya sopir pribadi. Memasak untuk istri? Padahal istri dan pembantunya bisa melakukan itu. Bro sendiri menabur berlian di forum ini. Bersikap sabar terhadap pendatang baru, dan memulai tiap postingan dari hal-hal yang ringan yang mungkin sudah bisa membosankan orang lain. Bukankah terkadang Bro menanyakan sesuatu yang Bro sudah tahu kepada rekan diskusi Bro? Lihat, pertanyaan saya yang keras di atas. Tapi Bro masih mau melanjutkan diskusi ini dengan saya. Intinya: saat Allah berinteraksi dengan manusia dengan membatasi kemahakuasaan-Nya TUJUANNYA adalah memperoleh 'kualitas' (berlian, mulia, terhormat) yang hanya bisa dicapai melalui PROSES.... PROSES... PROSES.... Dan itu hanya bisa dilakukan dengan cara seperti "ayah/suami yang sedang menebar dan mengharapkan 'berlian' terhadap anak dan istrinya". Allah tahu bahwa produk yang berkualitas hanya didapat melalui fokus pada PROSES... PROSES... dan hanya PROSES SAJA.... Dan itu bersifat .... INDIVIDUAL.... HANDMADE.... PERSONAL... INTIMACY... - bruce wrote:
- @epafras
Jika, Tuhan menggunakan dikotomi seperti yang anda sebutkan di awal thread. Maka, apakah saat penciptaan Tuhan juga membatasi kemahatahuaanNya? Apakah saat menciptakan malaikat, Tuhan juga tidak tahu bahwa sebagian malaikat akan memberontak? Mengapa setelah terjadi pemberontakan, Tuhan tidak memusnahkan iblis, apakah Tuhan tidak tahu bahwa sang iblis akan menjatuhkan manusia dalam dosa? Apakah saat menciptakan manusia, Tuhan tidak tahu bahwa manusia akan jatuh dalam dosa akibat si iblis? Apakah meletakkan pohon pengetahuan di tengah Firdaus juga karena Tuhan tidak tahu apa akibat yang mungkin terjadi?
:) Saya pernah mengatakan begini: “Jadi, sekalipun Allah yang ‘diatas waktu’, kemudian beraktifitas didalam ‘waktu’, sebenarnya DIA juga PADA SAAT YANG SAMA tetap berada ‘diatas ruang dan waktu’. Karena itulah saya tetap berpendirian bahwa SIFAT-SIFAT Allah yang kekal dan sempurna yang ‘diatas waktu’ TIDAK PERNAH berubah, sekalipun DIA sedang beraktifitas didalam ‘waktu’. Dan karena itu pulalah saya berkata bahwa saya tidak akan pernah bisa menjelaskan tentang interaksi antara Kemahatahuan Allah dengan saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, yaitu saat membatasi Kemahatahuan-Nya.” Ingat juga satu hal, sekalipun Allah sedang membatasi kemahatahuan-Nya saat beroperasi di dalam ‘waktu’, Dia tetap bisa memperkirakan apa yang akan terjadi nantinya, dan karena itu Dia bisa menyiapkan segala kemungkinan untuk menyandingkannya dengan apa yang DIA perkirakan akan terjadi itu. Allah kita bukanlah Allah yang bisa panik. Bukan pula Allah yang bisa kerepotan. Juga bukan Allah yang bisa terkejut. Roh yang ada di dalam kita jauh lebih besar dari segala roh yang ada di dunia ini. Dan, seperti yang Bro katakan, tidak ada satu tempat pun dimana Dia tidak hadir. - bruce wrote:
- @epafras
Jika, Tuhan membatasi kemahatahuanNya, bagaimana dengan yang tercantum dalam Kitab Wahyu mengenai akhir jaman? Apakah masih dalam perencanaan yang MUNGKIN terjadi seperti tertulis tetapi juga MUNGKIN gagal terlaksana?
:) Seperti yang sudah saya katakan di atas. Ada bagian-bagian yang sudah dipredestinasi. Bahkan turunnya Yesus ke dunia sudah dipredestinasikan. Bagian yang sudah dipredestinasikan itu, sudah ditetapkan sejak kekekalan, dan karena itu sudah diketahui hasil akhirnya sejak kekekalan. Akibatnya apa yang dipredestinasikan Allah itu PASTI tidak pernah gagal. Mungkin sebagian dari nubuat Kitab Wahyu tentang akhir zaman ada yang dinubuatkan ‘di dalam waktu’, misalnya di zaman PL, dan bukan sejak kekekalan (tidak dipredestinasi). Tapi, satu hal yang pasti, Allah tidak pernah gagal karena tidak ada sesuatu yang sama besar kuasa dan pengetahuannya dengan DIA walaupun dalam mengawal nubuat-nubuat-Nya itu Dia tetap tidak mengerahkan seluruh Kemahakuasaan dan Kemahatahuan-Nya. Walaupun hanya ‘sebagian’, namun itu tetap bisa diandalkan. Dia tahu seberapa besar kuantitas yang perlu DIA kerahkan setiap saat. - bruce wrote:
- @epafras
Jujur saja, memang sangat aneh jika kita berkata bahwa semua memang dalam rencana Tuhan. Dengan konsekuensi bahwa iblis dan kejahatan juga merupakan rancangan Tuhan. Sesuatu yang sulit diterima.
:) Saya merencanakan mau berangkat dari Jakarta ke Bandung. Dari rumah, saya sudah tahu bahwa di tengah perjalanan akan turun hujan. Dan karena itu saya menyediakan perlengkapan yang berkaitan dengan akan turunnya hujan nanti. Karena itulah sekarang ‘hujan’-pun menjadi masuk dalam realisasi perencanaan saya itu. (Ingat satu hal, fakta tentang akan turunnya hujan ‘saya ketahui’ setelah saya membuat perencanaan tapi sebelum saya merealisasinya. Dan... sebelum saya merealisasinya, saya sudah mempersiapkan perlengkapan untuk keperluan ‘hujan’ itu). - bruce wrote:
- @epafras
Begitu juga jika kita katakan bahwa semua itu terjadi bukan karena Tuhan, Tuhan hanya menciptakan hukum-hukum alam, dan selanjutnya diserahkan pada kehendak 'pasar', dimana baik atau buruk, Tuhan tidak ikut campur. Dan hanya 'membantu' jika dirasa sudah gawat. Di sini terkesan Tuhan hanya memelihara binatang peliharaan tetapi tidak memelihara setiap hari.
Nah, itu yng terlintas dalam benak saya bro. Silahkan ditanggapi jika anda berminat.
:) Tuhan tidak pernah panik. Tuhan, walaupun sedang beraktifitas didalam ‘waktu’, tetap lebih berkuasa daripada hukum alam. Tuhan juga maha hadir. “Hati raja seperti batang air ditangan-Nya. Dialirkan-Nya kemana Dia kehendaki”. Karenanya, Dia tetap penguasa ‘pasar’. Manusia saja bisa dilatih untuk mengubah orang lain yang tadinya berkata ‘tidak’, sekarang menjadi ‘ya’. Terlebih lagi, sekalipun sedang beraktifitas di dalam ‘waktu’, Allah bisa bekerja dari luar dan dari dalam diri manusia, serta diatas dan melalui kekuatan alam, bahkan makin hari makin sering melanggar hukum alam demi pemeliharaan-Nya SETIAP SAAT atas umat-Kudus-Nya yang telah dibeli dengan harga yang mahal. Kalau sudah ‘kadung tresno’, Allah mampu mengubah skeptisisme, bahkan apatisme, dalam diri seseorang. Kita mungkin akan terkejut saat mengetahui pada bagian mana dan kapan DIA ikut campur, karena Dia hadir dimana-mana dan kasih-Nya telah teruji di kayu salib. Bekerja secara rahasia, bukan berarti tidak bekerja dan tidak ikut campur. “Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi DIA”. Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana belajar menyikapi DIA yang sedang bekerja di dalam ‘waktu’. Hal yang paling mudah adalah dengan menempatkan diri kita pada posisi para tokoh Alkitab yang pernah berhadapan (berinteraksi) langsung dengan Allah. Dan dengan keyakinan bahwa Dia adalah Allah yang sama, maka kita menyikapi DIA seperti para tokoh itu DI MASA KINI. Bro Bruce, Saya minta maaf tidak dapat segera menanggapi postingan Bro yang dua lagi karena saya harus ke luar kota hingga Minggu malam. Sekembalinya nanti pasti saya tanggapi. Semoga menjadi berkat. Salam kasih, Epafras | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 30th September 2011, 08:17 | |
| - Quote :
- Tapi memang nampaknya ada indikasi di dalam Alkitab bahwa ketika Allah beroperasi didalam ‘waktu, maka ‘perilaku’-Nya (istilah Anda) atau SIKAP-Nya (istilah saya) ternyata tidak menampakkan ‘keseluruhan’ masing-masing SIFAT Allah yang kekal dan sempurnya itu.
Perilaku/SIKAP-Nya di dalam ‘waktu’ ternyata sangat dinamis, TANPA mengurangi (mereduksi) masing-masing SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal itu. (Nah, disini Anda keplesetnya, Bro).
Ok bro, jika kita mudahkan, mungkin pakai tokoh kartun saja ya (Maafkan saya Tuhan), anda menganggap Tuhn itu seperti Superman yang kuat dan sakti mandraguna, dan ketika menghadapi dunia, Ia menampilkan diri sebagai Clark Kent, tokoh biasa saja yang hanya seorang wartawan Daily Planet. He he he, begitukah? Saya lebih melihat bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa (Maha Kuasa tetap saya pergunakan bro, karena Maha Kuasa mengatasi berkuasa terhadap waktu) tidak pernah berubah. Tetapi manusialah yang secara dinamis melihat Tuhan secara berbeda. Manusia tertentu melihat Tuhan sebagai 'Sang Maha Dewa' yang begitu menakutkan, kejam dan galak, serta sulit dipahami. Sementara manusia yang lain melihat Tuhan sebagai Orang Tua kandung yang akrab, enak diajak berbicara, begitu penuh kasih dan sangat perhatian. Sementara, semuanya merefer pada Tuhan yang sama. Tetapi menilai, memandang, dan menyikapi secara berbeda. Dan secara luar biasa pula DIA mewahyukan Alkitab yang juga bersikap sangat dinamis, yang terus mengikuti perkembangan pemahaman manusia terhadapNya. Alkitab yang sama, dengan tulisan yang sama, memiliki makna yang terus berkembang. Ketika pemahaman manusia bertambah, semakin bertambah pula makna yang bisa dilihat dari Alkitab yang sama. Bukankah ini membuktikan bahwa manusialah yang secara dinamis berkembang dalam mengartikan apa yang diwahyukanNya? - Quote :
- Kalau Anda memang bertanya tentang hal itu, yaitu “KAPAN saat Tuhan menggunakan SELURUH KemahakuasaanNya dan kapan Ia menggunakan hanyaSEBAGIAN?”, maka saya menyerah.
Saya tidak mungkin (kalau tidak dapat dikatakan bahwa tidak mungkin ada satu makhluk ciptaan-Nya) yang mengetahui KAPAN Allah menggunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. Ngeri membayangkan jika Dia memang (pernah, atau akan) melakukan hal itu. Bahkan dalam peperangan terakhir dengan si Iblis di penutupan jaman nanti itu pun DIA belum (tidak) menggunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya.
Saya berpendapat bahwa DIA tidak pernah dan tidak akan pernah sekalipun menerapkannya. Tidak ada sesuatu di luar diri-Nya yang bisa membuat (terlebih lagi ‘memaksa’) DIA melakukan-Nya, karena memang tidak ada yang setara dengan DIA.
“Kapan DIA menggunakan hanya sebagian?” Ya, selamanya, Bro…
Betul bro, kita memang TIDAK PERNAH TAHU, KAPAN Tuhan mengenakan SELURUH ataupun SEBAGIAN kemahakuasaanNya itu. Karenanya bukankah jadi 'sedikit aneh' jika anda menetapkan dikotomi itu? :) Karenanya, entah benar entah tidak, sepertinya walaupun secara logis 'pembatasan' Kemahakuasaan Tuhan (terhadap waktu termasuk) sangat masuk akal. Tetapi ternyata menjadi sulit untuk dijelaskan secara mudah. Bukankah lebih mudah menjelaskan bahwa justru manusialah yang dinamis, justru manusialah yang bersikap berbeda beda, sehingga seolah 'melihat' Tuhan (dan sikap Tuhan) secara berbeda pula? Ibarat ada api unggun yang sangat panas, apinya sama, tetapi dirasakan secara berbeda oleh orang yang duduk semeter dari api, dan oleh orang yang duduk 10 meter dari api. Tentu saja ini juga membuka peluang untuk kita diskusikan bro. - Quote :
- Kembali ke pertanyaan Anda, “Apa tujuannya Allah membatasi Kemahatahuan-Nya saat berhadapan dengan manusia?”
Pertama, Allah ingin meneguhkan bahwa manusia memang diciptakan segambar dan serupa dengan Dia, yaitu memiliki pribadi dan freewill.
Kedua, Allah ingin agar manusia dapat menjadi pribadi yang terhormat dan menghargai kehormatan diri sendiri dan Allah dalam relasi mereka dengan cara belajar dari Allah itu sendiri.
Ketiga, Allah ingin agar Dia dapat bersekutu dengan umat-Nya yang terhormat, bukan umat yang kacangan.
Keempat, Allah ingin agar manusia dapat menjalin relasi dengan DIA dalam kasih yang murni dan berkualitas.
Dan terakhir, Allah ingin menjadikan manusia sebagai rekan sekerja. Dia tidak mau memiliki rekan sekerja yang ‘kerikil’, melainkan ‘berlian’, yang boleh dikatakan ‘miniatur’ Diri-Nya, yang tahu nilai-nilai pengorbanan, pertaruhan harga diri, disalahmengerti, tapi tetap mulia dan terhormat.
Semuanya itu merupakan tujuan Allah dalam membatasi Kemahatahuan-Nya saat berinteraksi dengan manusia. Mengapa untuk berinteraksi dengan manusia, Tuhan 'harus' mengurangi Kemahakuasaan (termasuk waktu) Nya? Apakah dengan tetap mengenakan Kemahakuasaan secara penuh, Ia tetap dapat menghargai manusia seperti apa adanya? Memang, sempat terlintas kisah pengorbanan Jesus, dimana Ia harus menderita dan mengalami apa yang dialami manusia (kecuali dosa). Tetapi kemudian terlintas hal yang berbeda. Bukankah dengan hadir sebagai Manusia Jesus, Tuhan sendiri sudah mengalami apa yang dialami manusia, segala penderitaan dan pengalaman manusia, bahkan keterbatasan dan ketidak berdayaan (termasuk terhadap waktu) manusia. Lantas, untuk apa lagi Tuhan perlu 'bersikap' dalam waktu untuk berineraksi dengan manusia? - Quote :
- Karena itulah saya tetap berpendirian bahwa SIFAT-SIFAT Allah yang kekal dan sempurna yang ‘diatas waktu’ TIDAK PERNAH berubah, sekalipun DIA sedang beraktifitas didalam ‘waktu’.
Dan karena itu pulalah saya berkata bahwa saya tidak akan pernah bisa menjelaskan tentang interaksi antara Kemahatahuan Allah dengan saat DIA beroperasi didalam ‘waktu’, yaitu saat membatasi Kemahatahuan-Nya.”
Ingat juga satu hal, sekalipun Allah sedang membatasi kemahatahuan-Nya saat beroperasi di dalam ‘waktu’, Dia tetap bisa memperkirakan apa yang akan terjadi nantinya, dan karena itu Dia bisa menyiapkan segala kemungkinan untuk menyandingkannya dengan apa yang DIA perkirakan akan terjadi itu.
Allah kita bukanlah Allah yang bisa panik. Bukan pula Allah yang bisa kerepotan. Juga bukan Allah yang bisa terkejut. Roh yang ada di dalam kita jauh lebih besar dari segala roh yang ada di dunia ini. Dan, seperti yang Bro katakan, tidak ada satu tempat pun dimana Dia tidak hadir Sepertinya memang sulit dijelaskan bro. Bagaimana sebagai Sang Mahatahu juga adalah Sang Sebagiantahu. Apalagi terjadi saat bersamaan dan jangan lupa juga di ruang yang sama (Karena kita sepakat bahwa Tuhan itu Maha Ada). Entah pikiran saya yang tidak mampu mencerna atau anda yang harus memberi penerangan lagi kepada saya. - Quote :
- Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana belajar menyikapi DIA yang sedang bekerja di dalam ‘waktu’. Hal yang paling mudah adalah dengan menempatkan diri kita pada posisi para tokoh Alkitab yang pernah berhadapan (berinteraksi) langsung dengan Allah. Dan dengan keyakinan bahwa Dia adalah Allah yang sama, maka kita menyikapi DIA seperti para tokoh itu DI MASA KINI.
Nah, di sini saya setuju dalam belajar menyikapi. Karena sepertinya sikap kitalah dan sikap kita dalam memandang dan mempelajari Firman Nya yang memang harus selalu dan terus menerus berkembang. Sikap kita dalam beinteraksi dengan DIA juga saya sangat setuju, memang kita harus meneladani sikap para tokoh Alkitab. - Quote :
- Saya minta maaf tidak dapat segera menanggapi postingan Bro yang dua lagi karena saya harus ke luar kota hingga Minggu malam. Sekembalinya nanti pasti saya tanggapi.
Semoga menjadi berkat.
No problem bro, hati hati di jalan. Saya tunggu reply anda, senang diskusi dengan anda bro. GBU | |
| | | siip Perwira Pertama
Jumlah posting : 630 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 30th September 2011, 16:36 | |
| - epafras wrote:
- Allah menciptakan 'ruang' dan 'waktu'. Jadi ada dua dimensi, yaitu 'kekal' dan 'waktu'.
Sifat-sifat-Nya kekal, sempurna dan tidak berubah. Tetapi ketika Allah beraktifitas di dalam 'waktu', ternyata DIA ber-SIKAP DINAMIS. Akibatnya terdapat dua dikotomi: SIFAT dan SIKAP Allah. Yang satu kekal dan tidak berubah. Sedangkan satunya lagi bersifat dinamis dan berubah-ubah. Tidak stuju. Sifat yg kekal dan tidak brubah bukanlah brarti tindakan akan selalu sama, kaku dan monoton. Allah boleh btindak dg dinamis tanpa mngubah sifatNya. Misalnya, Perubahan tindakan dari 1 tindakan kasih ke tindakan kasih yg lain tidaklah mngubah sifatNya yg kasih. - Quote :
- SIKAP-Nya yang dinamis yang dilakukan-Nya DIDALAM 'WAKTU' antara lain adalah: Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), dan sebagainya.
Ya. Tp smua itu brada dalam krangka konsistensi sifatNya. - Quote :
- Pertanyaan:
1. Apakah Allah BENAR-BENAR dan SUNGGUH-SUNGGUH bertindak demikian DIDALAM 'WAKTU'? Ya. - Quote :
- 2. Kini kita masih ada di dalam 'waktu'. Apakah DIA MASIH AKAN TERUS demikian di dalam 'waktu' ini?
Ya. - Quote :
- 3. Apakah Allah yang bertindak demikian di dalam 'waktu' benar-benar Allah yang sama dengan Allah yang 'kekal' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna (tidak berubah) itu?
Ya. - Quote :
- 4. Bolehkah seseorang mempertentangkan ayat-ayat tentang SIKAP (aktifitas) Allah didalam 'waku' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang 'kekal' itu dengan tujuan mereduksi atau menghilangkan salah satu dari dua dikotomi (SIKAP-SIFAT) itu? Mengapa?
Mau mpertentangkan ya silakan saja, tp pcuma juga. - Quote :
- 5. Apakah SIKAP-Nya di dalam 'waktu' mengubah 'SIFAT-Nya yang 'kekal'?
SifatNya tidak brubah. - Quote :
- 6. Bagaimana cara mensinkronkan keduanya, karena toh kita masih tetap berada didalam 'waktu'? Adakah cara lainnya? Mengapa?
Dg mmahami tujuan Dia mlakukan suatu tindakan (yg Anda maksudkan 'sikap'). | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 4th October 2011, 13:43 | |
| Syallom, Bro Bruce... - bruce wrote:
-
- Quote :
- Manusia adalah makhluk yang tidak mahatahu. Gejala yang ada pada manusia bisa digunakan untuk mengindikasikan ketidakmahatahuan. Gejala ketidakmahatahuan itu antara lain:
1. Saat membutuhkan proses berpikir (termasuk untuk menganalisis). 2. Saat melibatkan intelektualitas dalam dinamika berpikir. 3. Saat membutuhkan waktu untuk berpikir dan menganalisis. Jika salah satu ada pada Allah saat beroperasi di dalam ‘waktu’, maka saat itulah DIA sedang membatasi Kemahatahuan-Nya.
4. Jika dibutuhkan data awal untuk mengetahui hasil akhir, maka gejala itu bukan hanya menunjukkan kebergantungan terhadap data awal, melainkan juga ketidak-pastian tentang hasil akhir.
Setuju dengan kesimpulan 1,2 dan 4 yang anda buat. Point 3 akan mnimbulkan pertanyaan ulang : 'Apakah untuk berinteraksi dengan manusia, Allah harus membatasi KemahatauanNya?' Tidak harus, Bro. Tapi umumnya begitu. Kecuali untuk hal-hal yang sudah dipredestinasikan-Nya. Bahkan nubuat pun terkadang diberikan di dalam ‘waktu’, dan bukan hanya ‘ditetapkan dulu dalam kekekalan, baru kemudian disampaikan kepada nabi-nabi-Nya di dalam waktu’. - bruce wrote:
-
- Quote :
- "Pertama, adanya indikasi di dalam Alkitab bahwa keselamatan bukan hanya ‘diberikan’, tapi juga ‘ditawarkan’. Nah, adanya indikasi ‘ditawarkan’ itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya."
Kalau penawaran itu diberikan kepada seseorang pada pk. 13.00 dan keputusan dibuat oleh orang itu pada pk. 17.00, maka Allah membutuhkan data awal (pk. 13.00 itu) tentang segala kondisi ybs untuk dapat ‘mengetahui hasil akhir (keputusan) yang akan dibuat orang itu (pk. 17.00). Bukankah ini membuktikan Allah sedang membatasi kemahatahuan-Nya dan sekaligus kemahakuasaan-Nya?
Mengapa untuk menawarkan harus 'tidak mahatahu' bro? Rasanya untuk mengetahui secara pasti bahwa saat saya menawarkan minum kepada orang yang haus akan diterima dengan senang hati. Bahkan sebelum tawaran inum saya ditawarkan kepada seorangpun (kecuali di bulan puasa, dan bukan di kendaraan umum ya). Kalau kita menawarkan minum kepada tamu, maka kita bisa pastikan bahwa dia tidak akan menolak. Tapi soal ‘penawaran’ keselamatan, masih ada kemungkinan manusia menolak. Itu sebabnya Yesus menangisi Yerusalem. Dan semakin canggih kemajuan zaman (terutama adanya gejala “IT addict”), mungkin tidak terlalu keliru kalau zaman ini boleh digolongkan ‘menawarkan air minum di bulan puasa dan di kendaraan umum’. - bruce wrote:
-
- Quote :
- "Kedua, adanya indikasi OSAS dan non-OSAS di dalam Alkitab. Yang berindikasi non-OSAS itulah yang mengisyaratkan bahwa Allah tidak selalu menerapkan Kemahatahuan-Nya."
Sama dengan di atas, apa yang Allah hendak ketahui 10 tahun menjelang ajal seseorang, sangat bergantung pada data saat ybs berusia 25, 30 maupun 35 tahun, dan seterusnya. Jika benar demikian, bukankah ini membuktikan Allah sedang membatasi kemahatahuan dan kemahakuasaan-Nya sekaligus?
10 tahun menjelang ajal, apakah Allah tahu atau tidak tahu akan ajal seseorang bro? Ataukah anda beranggapan bahwa Allah 'hanya' mengetahui hal-hal pokok (yang penting saja) dari seorang manusia, sementara hal yang kurang penting diserahkan sepenuhnya pada 'waktu' ?
Sorry, ini mungkin bisa lompat langsung ke kesimpulan diskusi kita nih, he he he.
Kalau segala sesuatu sama jelasnya bagi Allah, maka tidak ada yang luput dari pengamatan-Nya. Masalah ‘penting’ dan ‘tidak penting’ tergantung persepsi kita tentang ‘kasih’-Nya. “Apakah manusia sehingga Engkau….”, masih ingat ayat itu? Kalau Yesus diberikan bagi manusia, saya tidak yakin ada yang tidak penting bagi Allah. - bruce wrote:
-
Mat 10:30 Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya.
Luk 12:7 bahkan rambut kepalamupun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit.
Bagaimana dengan ucapan langsung dari Jesus ini akan kita artikan, bro?
Ada kemungkinan dua hal yang terjadi: 1. Allah masih tetap beroperasi dengan pembatasan Kemahatahuan-Nya, karena dengan kemahahadiran-Nya Dia bisa benar-benar menghitung jumlah rambut setiap orang setiap saat. 2. Saat Dia berkata begitu memang DIA sedang mengoperasikan Kemahatahuan-Nya (ingat di atas saya mengatakan bahwa Allah tidak selalu beroperasi dalam ‘pembatasan Kemahatahuan-Nya’). Tetapi kalau Dia mengetahui jumlah rambut tiap orang setiap saat melalui Sifat Kemahatahuan-Nya, Dia tidak perlu menghitung. Kalangan Calvinis mengatakan bahwa ayat ini hanya berlaku bagi orang-orang yang dipredestinasi saja, seperti halnya mereka menganggap bahwa Roma 8:28 hanya berlaku bagi mereka yang dimaksud oleh Roma 8:29,30. - bruce wrote:
-
- Quote :
- Terakhir, tentang contoh pembuat novel. Ini berbeda dengan yang sedang kita bahas, karena penulisnya ‘menentukan’ segala sesuatu sejak awal (sebelum dunia dijadikan). Dia menjadi pembuat skenario, dan para pelaku di dalam novelnya lebih mendekati ‘robot’. Segala hasil akhir memang diketahui lebih dahulu oleh sang penulis, tetapi bukan berdasarkan data awal, melainkan berdasarkan penentuan kedaulatannya sendiri. Dengan demikian, dia memang ‘mahatahu’, karena KEPASTIAN tentang segala hal yang dia ketahui didasarkan pada ‘penentuan sebelumnya’, bukan karena analisis terhadap data awal. Semua ‘ending’ dari tiap-tiap tokoh dan peristiwa, sudah ditentukan sebelumnya oleh sang penulis. Ini sama sekali tidak sesuai dengan ilustrasi pembuat kue bolu.
Betul, novel memang ditulis, karenanya saya katakan dipost saya bahwa seandainya bukan saya yang menulis kisah novel itu.
Untuk film, bagaimana jika seluruh kehidupan anda sejak lahir difilmkan hingga kelak anda meninggal. Dan siapapun yang menyaksikan film itu mengetahui secara detail apa yang terjadi dalam hidup anda. Bedanya dengan Allah yang maha tahu, Ia bisa melihat akhir film langsung dari akhir kisah anda. Bukankah dalam hal ini Ia mengetahui dengan detail tanpa menentukan arah hidup anda hingga akhir?
Seperti yang sudah saya nyatakan sebelumnya. Allah memiliki dua cara untuk mengetahui sesuatu, yaitu melalui Kemahatahuan-Nya yang kekal dimana tidak terdapat pembagian waktu lampau, kini dan masa mendatang (semuanya adalah present time di hadirat Allah). Cara kedua adalah dengan membatasi Kemahatahuan-Nya, tetapi walaupun Dia Mahahadir, untuk mengetahui sesuatu tetap melibatkan proses berpikir dan sequensial (waktu, yaitu ada ‘akhir’ dan ‘data awal’). Tapi saya pernah menyatakan hal itu sebelumnya. - bruce wrote:
-
Betul, Bro, memang itulah yang saya maksudkan. Mudah-mudahan Bro bisa terus menggunakan dikotomi saya itu (‘sifat’ dan ‘sikap’).
Ada gejala lain yang berulang kali telah saya singgung, yang mengindikasikan adanya dua dikotomi itu. Pertama, indikasi dari SIFAT Allah. Ada dua yang berindikasi kesitu: (a) Allah Mahakuasa, tetapi Dia tidak menerapkan SELURUH Kemahakuasaan-Nya saat berurusan dengan ciptaan-Nya, terlebih lagi manusia. (b) DIA Mahakudus, tetapi saat DIA beraktifitas dengan ciptaan-Nya ternyata Dia tidak menampilkan SELURUH Kemahakudusan-Nya. Kedua, Transendensi: Allah menjaga jarak dengan ciptaan. Imanensi: Allah ‘dekat’, bahkan ‘bersama’ (berinteraksi) dengan ciptaan-Nya. Dua cara penampilan Allah tentu berbeda dalam keduanya. Kalau sama, maka tentu tidak perlu ada dua. Cukup satu saja. Jika tidak mengindikasikan adanya dikotomi SIFAT dan SIKAP Allah, maka tentu DIA tidak perlu menambahkan imanensi setelah ada transendensi. Ketiga, Allah tidak terbatas. Ciptaan (ruang dan waktu) adalah terbatas. Bagaimana ‘Yang Tidak Terbatas’ dapat berinteraksi dengan ‘yang terbatas’ jika DIA tidak melakukan ‘penyesuaian’ (yaitu penyesuaian yang sama sekali tidak mengubah “Yang Tidak Terbatas’ itu)? Misalnya keterbatasan kemampuan untuk menyerap pengetahuan dan kebenaran dari Allah sangat terbatas, sehingga Allah ‘menyesuaikan’ dengan cara memberikan pengetahuan dan wahyu secara bertahap. ‘Penyesuaian’ itulah yang menyebabkan adanya dikotomi SIFAT dan SIKAP. Keempat, di hadirat-Nya hanya ada present-time. Tetapi dalam ciptaan-Nya, ternyata ada pembedaan waktu (kemarin, hari ini, dan esok). Jika Allah ingin berinteraksi dengan ciptaan-Nya yang dikuasi waktu, maka Dia harus menyesuaikan diri TANPA harus menghilangkan SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal dan sempurna itu. ‘Penyesuaian’ itulah yang menyebabkan adanya dikotomi SIFAT dan SIKAP. Kelima, SIFAT-SIFAT Allah sempurna, dalam arti tidak mengalami penambahan dan pengurangan. Tapi ciptaan-Nya dikuasai olehnya. Jika Allah ingin berinteraksi dengan ciptaan-Nya yang dikuasi waktu, maka Dia harus menyesuaikan diri TANPA harus menghilangkan SIFAT-SIFAT-Nya yang kekal dan sempurna itu. ‘Penyesuaian’ itulah yang menyebabkan adanya dikotomi SIFAT dan SIKAP. - bruce wrote:
-
Sepertinya tidak melebar bro. Karena yang saya maksudkan adalah, untuk mempermudah pengertian kepada penulis, Allah mewahyukan sesuai keterbatasan manusia. Allah TIDAK mewahyukan SELURUH pengetahuanNya kepada penulis, tetapi hanya SEBAGIAN.
Dan itu yang anda atau kebanyakan dari kita menganggap bahwa Allah membatasi Kemahatahuan-Nya.
Ya, Allah melakukan “penyesuaian”. Itulah INTI dari apa yang seharusnya DIKENALI tentang SIKAP (perilaku) Allah saat berinteraksi dengan manusia didalam ‘waktu’. “Dan itu yang anda atau kebanyakan dari kita menganggap bahwa Allah membatasi Kemahatahuan-Nya”, memangnya di antara kita sudah banyak yang menganggap ‘begitu’? Ga nyangka. Loh…. - bruce wrote:
-
Waduh kok maksa, he he he. Sulit bro, untuk ayat yang menyebutkan siapa saja rasul Jesus, semua tertulis JELAS dan PASTI. Sedangkan untuk ayat yang menyebutkan bahwa Yakobus adalah saudara Jesus saja bisa berbeda arti, dan masing masing berpegang pada pendapat berbeda, apakah Yakobus itu saudara kandung atau saudara sepupu.
He… he… he…. ga maksa tapi ngerasa dipaksa…. Bagus jugalah…. Jadi lain kali saya pake cara begitu, ya… biar ada dialog…. Kita jangan bicara dulu soal kekurangan ‘data’. Apa yang ada di dalam Alkitab, pasti sudah cukup. - bruce wrote:
- -lanjutan-
b] Perjanjian Lama yang merupakan latar belakang Perjanjian baru, merupakan kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”[/b][1]
Dan karena Alkitab bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Alkitab sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan Kitab Suci.
Ke-4 Prinsip Mengartikan Alkitab 1. Arti literal/ harafiah. Arti harafiah adalah arti yang berdasarkan atas penuturan teks yang ada secara tepat. Mengikuti ajaran St. Thomas Aquinas, kita harus berpegang bahwa, “Tiap arti [Kitab Suci] berakar di dalam arti harafiah”.[4] Jadi dalam membaca Kitab suci, kita harus mengerti akan arti kata-kata yang dimaksud secara harafiah yang ingin disampaikan oleh pengarangnya, baru kemudian kita melihat apakah ada maksud rohani yang lain. Arti rohani ini timbul berdasarkan arti harafiah.
2. Arti alegoris Arti alegoris adalah arti yang lebih mendalam yang diperoleh dari suatu kejadian, jika kita menghubungkan peristiwa tersebut dengan Kristus.
3. Arti moral Arti moral adalah arti yang mengacu kepada hal-hal yang baik yang ingin disampaikan melalui kejadian-kejadian di dalam Alkitab. Hal-hal itu ditulis sebagai “contoh bagi kita …sebagai peringatan” (1 Kor 10:11).
4. Arti anagogis Arti anagogis adalah arti yang menunjuk kepada surga sebagai ‘tanah air abadi’. Contohnya adalah:
Pepatah mengenai ke-4 arti Alkitab
Peran Gaya Bahasa dalam Alkitab (pernah saya tuliskan, saya ulang agar menyambung) 1. Simili: adalah perbandingan langsung antara kedua hal yang tidak serupa. Misalnya, pada kitab 2. Metafor: adalah perbandingan tidak langsung dengan mengambil sumber sifat-sifat yang satu dan menerapkannya pada yang lain. 3. Bahasa perkiraan: adalah penggambaran perkiraan, seperti jika dikatakan pembulatan angka-angka perkiraan. 4. Bahasa fenomenologi: adalah penggambaran sesuatu seperti yang nampak, dan bukannya seperti mereka adanya. 5. Personifikasi/ antropomorfis : adalah pemberian sifat-sifat manusia kepada sesuatu yang bukan manusia. 6. Hyperbolisme: adalah pernyataan dengan penekanan efek yang besar, sehingga kekecualian tidak terucapkan. Selanjutnya, ada juga kekecualian juga terjadi pada kondisi berikut:
1. Jika Alkitab jelas mengatakan bahwa yang disampaikan adalah perumpamaan. Contoh Yoh 10:6 “Itulah yang dikatakan Yesus dalam perumpamaan kepada mereka…” yang kemudian dilanjutkan oleh Yesus, yang mengumpamakan Ia sebagai ‘pintu’ (Yoh 10:7). Demikian juga dengan Mat 13:33 yang mengatakan bahwa Yesus mengajar dengan perumpamaan. Di sini perumpamaan belum tentu terjadi secara nyata.
2. Interpretasi harafiah dilakukan sejalan dengan akal sehat, namun jika tidak masuk akal, maka tidak mungkin dimaksudkan secara harafiah. Jadi misalnya, pada saat Yesus mengatakan bahwa raja Herodes adalah ‘serigala’ (Luk 13:32), maka kita tidak akan mengartikan bahwa pada waktu itu pemerintah di jaman Yesus dikepalai oleh mahluk mamalia, berambut, berekor, berkuping lancip yang bernama Herodes.
3. Jika pengartian secara harafiah malah menujukkan kontradiksi pada Allah, maka gaya bahasa yang diucapkan tidak dimaksudkan untuk diartikan secara harafiah. Dalam hal ini penting sekali kita melihat ayat-ayat lain untuk melihat gambaran yang lebih jelas akan makna ayat tersebut. Contoh: Dalam Mat 23:9, Yesus berkata “Jangan memanggil seorangpun sebagai bapa di bumi ini”, padahal baru sesaat sebelumnya Yesus mengulangi perintah ke-4 dari kesepuluh perintah Allah, “Hormatilah ibu bapa-mu” (Mat 19:19) dan Ia juga menyebut Abraham sebagai “bapa” (Mat 3:9). Selanjutnya kita melihat bagaimana Rasul Paulus kemudian menyebut dirinya sendiri sebagai “bapa” bagi umat di Korintus (1 Kor 4:15) dan kepada Onesimus (Flm 10). Maka ayat Mat 23:9 tidak mungkin diartikan secara harafiah. Dalam hal ini, Yesus menggunakan gaya bahasa hyperbolisme untuk menyatakan otoritas ilahi yang mengatasi otoritas duniawi.
Tips utama dan contohnya Jadi di sini kita perlu mengingat bahwa jika bahasa yang dipakai tidak menunjuk kepada arti figuratif, dan jika tidak ada kondisi kekecualian seperti yang disebutkan di atas, maka kita harus menginterpretasikan perikop secara harafiah, kecuali adanya argumentasi yang sangat meyakinkan untuk mengartikan sebaliknya. Kita tidak boleh memilih-milih ayat mana yang kelihatannya baik dan mudah untuk dicerna, dan mana yang tidak, untuk menentukan apakah dapat diartikan secara harafiah atau tidak.
Salam kasih
Shallom, Bro Bruce, Sebenarnya tidak ada perbedaan antara usulan saya tentang cara menafsirkan Alkitab (ARAS PERTAMA, KEDUA DAN KETIGA), dengan yang Bro usulkan di atas. Penafsiran literal saya masukkan ke dalam ARAS PERTAMA, sedangkan penafsiran lainnya masuk dalam ARAS KEDUA. Mengapa? Karena penafsiran lainnya itu sudah relatif lebih banyak melibatkan peran serta ‘pembaca’. Sedangkan penafsiran literal umumnya ‘hanya’ terfokus pada apa yang dituliskan oleh ‘penulis’ Alkitab. Yang baik adalah menggabungkan antara usulan Bro dengan usulan saya. Tapi kalau Bro keberatan, ya, tidak apa-apa. Kita gunakan saja usulan Bro. KEBERATAN DARI PENGANUT TEOLOGIA INI Keberatan-1:Kita sedang fokus tentang SIFAT dan SIKAP Allah. Kekeliruan banyak pembaca dan penafsir Alkitab di segala zaman pascakanonisasi adalah: teks Alkitab yang sedang berbicara tentang SIKAP (perilaku) Allah di dalam ‘waktu’ dibaca (ditafsirkan) melalui perspektif Allah yang ‘diatas waktu’. Ini indikasinya: - bruce wrote:
Saya lebih melihat bahwa Tuhan Yang Maha Kuasa (Maha Kuasa tetap saya pergunakan bro, karena Maha Kuasa mengatasi berkuasa terhadap waktu) tidak pernah berubah. Tetapi manusialah yang secara dinamis melihat Tuhan secara berbeda. Manusia tertentu melihat Tuhan sebagai 'Sang Maha Dewa' yang begitu menakutkan, kejam dan galak, serta sulit dipahami. Sementara manusia yang lain melihat Tuhan sebagai Orang Tua kandung yang akrab, enak diajak berbicara, begitu penuh kasih dan sangat perhatian.
Sementara, semuanya merefer pada Tuhan yang sama. Tetapi menilai, memandang, dan menyikapi secara berbeda. Dan secara luar biasa pula DIA mewahyukan Alkitab yang juga bersikap sangat dinamis, yang terus mengikuti perkembangan pemahaman manusia terhadapNya. Alkitab yang sama, dengan tulisan yang sama, memiliki makna yang terus berkembang. Ketika pemahaman manusia bertambah, semakin bertambah pula makna yang bisa dilihat dari Alkitab yang sama. Bukankah ini membuktikan bahwa manusialah yang secara dinamis berkembang dalam mengartikan apa yang diwahyukanNya?
Pertanyaan Bro itu memang benar. Manusia secara dinamis mengelaborasi kemungkinan kekayaan yang terdapat dalam Alkitab. Tapi satu hal ini sudah menjadi prinsip umum yang diterapkan manusia saat menggali kekayaannya itu: - bruce wrote:
- -lanjutan-
b] Perjanjian Lama yang merupakan latar belakang Perjanjian baru, merupakan kesatuan dengan Perjanjian Baru. Sebab “Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru.”[/b][1]
Dan karena Alkitab bersumber pada Allah yang satu, maka kita harus melihat keseluruhan Alkitab sebagai satu kesatuan yang saling melengkapi. Inilah yang menjadi dasar bagaimana kita memperoleh pengertian yang mendalam tentang Kitab Suci, dan dengan cara demikianlah jemaat awal mengartikan Kitab Suci.
Perhatikan baik-baik dua frase di atas: 1. “Jemaat Awal” mengartikan Kitab Suci…. 2. … Harus melihat “keseluruhan Alkitab sebagai satu kesatuan”… Jika disebut “jemaat awal”, maka mereka pasti melihat Allah dari Kitab yang ada pada mereka dari perspektif “Allah di dalam waktu”, yang SANGAT JARANG, sekali lagi, SANGAT JARANG membaca ayat-ayat tentang Allah dari perspektif “Allah diatas waktu” karena mereka lebih dikuasai oleh kesadaran bahwa Allah begitu 'dekat' dengan mereka. Ini berbeda dengan manusia modern, yang membaca ayat-ayat tentang SIKAP (perilaku) Allah di dalam 'waktu' dengan sudut pandang 'diatas waktu'. Jika disebutkan “perpektif keseluruhan Alkitab”, maka saat itulah (selama berabad-abad hingga detik ini) orang mulai membaca Alkitab tentang Allah dari perspektif “diatas waktu”, sekalipun yang dibacanya adalah ‘perilaku’ (SIKAP) Allah didalam ‘waktu’. Bagi pembaca awal sangat mudah memahami Allah yang berada di dalam ‘waktu’. Tapi bagi kita, dan yang banyak nampak dari pernyataan-pernyataan Bro, ‘sangat sulit’ sekalipun ‘masuk akal’…! Coba Bro tanggapi hal penting di atas, PLUS satu pertanyaan ini: “Berapa persenkah data Alkitab yang membicarakan tentang Allah yang diatas waktu?” Maka sisanya pastilah membicarakan tentang Allah yang didalam ‘waktu’. Lalu pertimbangkan ulang: menurut Bro (saya belum tentu menyetujui ilustrasi Bro ini, karena mungkin bisa jadi bumerang) sang tokoh lebih banyak berperan sebagai Superman atau sebagai Clark Kent? Satu lagi: Saya memang mengatakan bahwa sulit menentukan ‘kapan’ Allah mempergunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. Tapi akhirnya saya mengatakan bahwa DIA tidak pernah menggunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. MELAINKAN Dia SELALU dan SELAMANYA membatasi Kemahakuasaan-Nya. Jadi, memang ada kecenderungan kita yang selalu ingin melibatkan topik Kemahakuasaan-Nya, padahal saya sudah menghimbau untuk membahas terlebih dahulu Kemahatahuan-Nya. Mengapa? Karena frase kedua tadi, “menafsirkan melalui KESELURUHAN Alkitab sebagai satu kesatuan…”. Bukan hanya Bro, tapi saya juga, dan bahkan mayoritas kekristenan selama berabad-abad, memberikan porsi yang tidak tepat kepada dikotomi Allah yang ‘didalam waktu’ dan yang ‘diatas waktu’. Keberatan-2:Pertanyaan yang mudah untuk dijawab: Apakah Allah Alkitab sama dengan Allah yang kepada-Nya kita berdoa sekarang ini? Tapi mengapa kita begitu rumit dalam mengerti Dia dan bergaul dengan DIA? Kalau tidak keberatan, coba Bro renungkan frase yang saya pernah sampaikan…. “Tugas kita adalah…. ‘Membawa’ Allahnya Alkitab…. KE MASA KINI… SEKARANG…” Tidak perduli otak kita mengerti atau tidak, sulit memahami atau tidak… itu memang sudah tugas…. Saya…(?) “Nak, jangan heran, kalau suatu waktu nanti, entah kamu sedang membaca Alkitab, atau sedang di dalam mobil, atau sedang belajar, tiba-tiba Allah berbicara dengan audible voice kepada kamu… Kamu harus mempersiapkan diri dari sejak sekarang, ya…”, pernah dengan orang tua modern berkata begitu kepada anak-anak-Nya? Padahal DIA sama dengan Allahnya Samuel kecil. Kalau saya mengatakan, “‘membawa’ Allahnya Alkitab”, itu berarti berkaitan dengan penafsiran Alkitab. Tidak jarang manusia (selama berabad-abad) gagal mendaratkan Allah yang sama itu ke masa kini, dalam kehidupan nyata dan praktis sehari-hari. Bahkan pesan-pesan ‘literal’ (ARAS PERTAMA), gagal diterima pembaca kontemporer dan tidak lagi seperti penerimaan umat/jemaat di zaman Alkitab. Paulus, yang menyajikan nuansa filsafat dalam PB, tidak ‘ngeuh’ saat DIA, melalui Roh Kudus-Nya, berinteraksi dengan dia dan timnya (Kis 16). Baru setelah tiga kali isyarat itu diperjelas dengan penglihatan, barulah dia mau ‘mendiskusikannya’ dengan timnya. Jadi keberatan yang ke-2 disini adalah, terkadang penafsiran Alkitab kita masih gagal membuat orang-orang yang kita perdengarkan ayat-ayat Firman-Nya untuk menyikapi DIA di masa sekarang untuk menyikapi-Nya seperti umat/jemaat zaman Alkitab. Kalau saya jadi Bro, saya akan coba untuk melihat ulang mengapa saya merasa ‘dipaksa’ (‘tuh… ‘kan…?) untuk tetap beredar di ranah penafsiran literal (ARAS PERTAMA), lalu mencoba menyampaikannya pada orang lain untuk melihat apakah mereka akan menyikapi DIA seperti umat/jemaat di zaman Alkitab, atau berhasil ‘membawa’ DIA apa adanya ke HARI INI. Pernahkah Bro melakukan upaya serius karena ingin diresponi oleh Allah, “Apa yang engkau ingin AKU perbuat bagimu…?” Bro mau ‘sekarang’ ini untuk menyunat anak (anak sendiri, bukan anak orang lain) karena tahu Allah ingin melakukan hal negatif terhadap istri Bro? (Sorry, hanya dramatisasi…) - bruce wrote:
Mengapa untuk berinteraksi dengan manusia, Tuhan 'harus' mengurangi Kemahakuasaan (termasuk waktu) Nya? Apakah dengan tetap mengenakan Kemahakuasaan secara penuh, Ia tetap dapat menghargai manusia seperti apa adanya?
Memang, sempat terlintas kisah pengorbanan Jesus, dimana Ia harus menderita dan mengalami apa yang dialami manusia (kecuali dosa). Tetapi kemudian terlintas hal yang berbeda. Bukankah dengan hadir sebagai Manusia Jesus, Tuhan sendiri sudah mengalami apa yang dialami manusia, segala penderitaan dan pengalaman manusia, bahkan keterbatasan dan ketidak berdayaan (termasuk terhadap waktu) manusia. Lantas, untuk apa lagi Tuhan perlu 'bersikap' dalam waktu untuk berineraksi dengan manusia?
Wah… ini pertanyaan tipikal manusia modern. Saya juga begitu, hingga sekarang ini. Maklum terlalu banyak menggunakan “Bible Interprets Bible”, yang tanpa sadar sudah membawa saya kepada “Theolgy Intreprets Bible”. Saya pikir, jarang (jika tidak dapat dikatakan tidak pernah) pertanyaan seperti itu muncul dalam benak umat/jemaat di zaman Alkitab. Mereka sadar bahwa Allah yang ‘mendatangi’ mereka adalah Allah yang sedang bergerak di dalam ‘waktu’. Allah tidak pernah menggunakan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. Bahkan hanya dorongan keadilanlah maka DIA juga tidak menggunakan SELURUHNYA saat nanti DIA menghabisi Iblis dan para pengikutnya hingga seluruh kerajaannya serta memperbaharui alam semesta ini. Keren, ‘kan? Mujizat adalah pekerjaan DIA sehari-hari. Tapi tetap DIA lakukan tidak dengan mengerahkan SELURUH Kemahakuasaan-Nya. Kalau Bro melihat ada semut ‘didalam’ tumpukan gula di toples, apakah Bro akan memasukkan tangan Bro kedalam toples untuk menyelamatkan si semut? Coba kita pikirkan tentang satu kata ini: “Roh KUDUS”. Bagaimana kedalaman kita menyelami kata ‘KUDUS’ itu? Pembatasan diri atau KESELURUHAN Kemahakudusan-Nya? Ada tiga kata yang berbeda: tahu, mengenal dan mengerti. Allah ingin agar kita tidak sekedar tahu tentang DIA, melainkan juga mengenal DIA. Tapi DIA tidak pernah meminta kita untuk ‘mengerti’ tentang DIA, karena DIA tahu rasio manusia tidak akan pernah bisa menggapai-Nya. - bruce wrote:
-
- Quote :
- Yang diperlukan sekarang adalah bagaimana belajar menyikapi DIA yang sedang bekerja di dalam ‘waktu’. Hal yang paling mudah adalah dengan menempatkan diri kita pada posisi para tokoh Alkitab yang pernah berhadapan (berinteraksi) langsung dengan Allah. Dan dengan keyakinan bahwa Dia adalah Allah yang sama, maka kita menyikapi DIA seperti para tokoh itu DI MASA KINI.
Nah, di sini saya setuju dalam belajar menyikapi. Karena sepertinya sikap kitalah dan sikap kita dalam memandang dan mempelajari Firman Nya yang memang harus selalu dan terus menerus berkembang. Sikap kita dalam beinteraksi dengan DIA juga saya sangat setuju, memang kita harus meneladani sikap para tokoh Alkitab.
“Memang kita harus meneladani sikap para tokoh Alkitab…” Serius, nih? Kadang resikonya besar, lho. Bagaimana kalau Allah berbicara pada kita (lha, masih pake kata ‘kita’?) lalu Dia minta kita memberikan seluruh isi dompet kita kepada seseorang yang tidak kita kenal tapi yang ditunjuk-Nya sendiri? Bagaimana kalau DIA menginginkan kita untuk tidak berupaya mengerti DIA, tapi tetap berupaya untuk mengenal Dia sebagai PRIBADI yang tampil dari sisi imanensi-Nya dan bukan melulu transendensi-Nya? Tugas kita bukan hanya meneladai sikap para tokoh Alkitab, melainkan juga mengubah sikap orang lain, sehingga benar-benar seperti umat/jemaat di zaman Alkitab…. ‘membawa’ Allah Alkitab ke HARI INI, tanpa perlu mengerti DIA, dan mengenyampingkan perspektif “Allah diatas waktu”. Begitu, Bro… Maaf waktu saya makin terbatas… Senang berdiskusi dengan Anda, Bro… (tapi jangan dikeluarin semua ilmunya, ya...) Blessings, Epafras
Terakhir diubah oleh epafras tanggal 4th October 2011, 20:18, total 1 kali diubah | |
| | | epafras Bintara
Jumlah posting : 50 Join date : 11.09.11
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? 4th October 2011, 13:44 | |
| @ Bro Siip: - siip wrote:
- epafras wrote:
- Allah menciptakan 'ruang' dan 'waktu'. Jadi ada dua dimensi, yaitu 'kekal' dan 'waktu'.
Sifat-sifat-Nya kekal, sempurna dan tidak berubah. Tetapi ketika Allah beraktifitas di dalam 'waktu', ternyata DIA ber-SIKAP DINAMIS. Akibatnya terdapat dua dikotomi: SIFAT dan SIKAP Allah. Yang satu kekal dan tidak berubah. Sedangkan satunya lagi bersifat dinamis dan berubah-ubah. Tidak stuju.
Sifat yg kekal dan tidak brubah bukanlah brarti tindakan akan selalu sama, kaku dan monoton.
Allah boleh btindak dg dinamis tanpa mngubah sifatNya.
Misalnya, Perubahan tindakan dari 1 tindakan kasih ke tindakan kasih yg lain tidaklah mngubah sifatNya yg kasih.
- Quote :
- SIKAP-Nya yang dinamis yang dilakukan-Nya DIDALAM 'WAKTU' antara lain adalah: Dia memutuskan, Dia berpikir, Dia mengubah pikiran-Nya ('menyesal'), Dia menghukum, Dia merencanakan, Dia bertanya, Dia memberi perintah, Dia menduga, Dia mencari, Dia mengharap(kan), dan sebagainya.
Ya. Tp smua itu brada dalam krangka konsistensi sifatNya.
- Quote :
- Pertanyaan:
1. Apakah Allah BENAR-BENAR dan SUNGGUH-SUNGGUH bertindak demikian DIDALAM 'WAKTU'? Ya.
- Quote :
- 2. Kini kita masih ada di dalam 'waktu'. Apakah DIA MASIH AKAN TERUS demikian di dalam 'waktu' ini?
Ya.
- Quote :
- 3. Apakah Allah yang bertindak demikian di dalam 'waktu' benar-benar Allah yang sama dengan Allah yang 'kekal' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang sempurna (tidak berubah) itu?
Ya.
- Quote :
- 4. Bolehkah seseorang mempertentangkan ayat-ayat tentang SIKAP (aktifitas) Allah didalam 'waku' dengan SIFAT-SIFAT-Nya yang 'kekal' itu dengan tujuan mereduksi atau menghilangkan salah satu dari dua dikotomi (SIKAP-SIFAT) itu? Mengapa?
Mau mpertentangkan ya silakan saja, tp pcuma juga.
- Quote :
- 5. Apakah SIKAP-Nya di dalam 'waktu' mengubah 'SIFAT-Nya yang 'kekal'?
SifatNya tidak brubah.
- Quote :
- 6. Bagaimana cara mensinkronkan keduanya, karena toh kita masih tetap berada didalam 'waktu'? Adakah cara lainnya? Mengapa?
Dg mmahami tujuan Dia mlakukan suatu tindakan (yg Anda maksudkan 'sikap'). Shallom, Bro…. Kelihatannya Bro sudah sampai ‘disana’ duluan, nih…. Bantu-bantu kita dong untuk memahami tentang dikotomi SIFAT Allah yang ‘kekal’ dan SIKAP (perilaku) Allah yang didalam ‘waktu’ ini… Salam, Epafras | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? | |
| |
| | | | Apakah Allah yang beroperasi DIDALAM 'waktu', benar-benar Allah yang sama? | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |