Beribadah di jalanan

Quote :

DPRD DKI Tak Setuju Ide MUI Melarang Tabligh di Jalan Umum
Penulis : Kurnia Sari Aziza | Minggu, 13 Januari 2013 | 18:32 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com -- Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta Triwisaksana tak sependapat dengan ide Majelis Umum Indonesia (MUI) menertibkan majelis yang mengadakan kegiatan keagamaan di ruas jalan. Menurut pria yang akrab disapa Sani itu, tanah lapang dan masjid yang ada di Jakarta, tidak mampu menampung ekspresi keagamaan warga DKI.

"Jumlah luas masjid atau lapangan itu lebih sedikit dibanding ekspresi keagamaan. Jadi ya masih kurang," kata Sani, di Jakarta, Minggu (13/1/2013).

Menurut Sani, beribadah merupakan hak asasi semua warga dan dilindungi oleh UUD 1945. "Sebenarnya permasalahannya itu dalam hal teknisnya saja, yaitu koordinasi antara jamaah majelis dan kepolisian, agar tidak mengganggu pengguna jalan," kata Sani.

Jika koordinasi di lapangan berjalan dengan lancar antara jamaah majelis dan kepolisian, kata dia, tentu kegiatan keagamaan tersebut tidak akan menjadi masalah.

"Dalam hal ini, saya berharap agar MUI dapat mempertimbangkan hal tersebut. Karena biar bagaimanapun, kita tidak bisa serta merta melarang orang untuk beribadah karena sudah dilindungi UUD 1945," tegasnya.

Sebelumnya, Sekjen MUI DKI Jakarta KH Samsul Maarif mengaku telah memberi penegasan kepada Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengenai fatwa MUI DKI yang melarang melakukan kegiatan keagamaan di tempat-tempat umum sehingga mengganggu ketertiban umum.

"Contoh ada tabligh akbar (di jalan umum, red), kan merugikan banyak orang. Misalnya, istri mau dibawa ke rumah sakit, membutuhkan pelayanan yang cepat, kan terganggu. Penataan seperti itu harus ada sinergi dengan pemerintah," tegas Syamsul.

Editor :Farid Assifa

Menarik, sungguh menarik. Terlihat bahwa para ulama lebih mengerti arti dari ketertiban umum dibanding anggota DPRD itu sendiri. Sementara para anggota DPRD itu bungkam ketika ada jemaat gereja yang bahkan beribadah di tempat sendiripun dilarang. Atau karena di luar wilayah DKI?

Kita amati bersama, kemana arah larangan dan keberatan ini kelak berujung.

Yahhhh .... inilah di Indonesia.
Sesuatu yang simple bisa menjadi ruwet.
Demikian pula sebaliknya, yang ruwet bisa jadi simple.

Memang, om, di Indonesia segala sesuatunya bisa terpuntar puntir. Yang sulit jadi mudah, yang mudah jadi sulit, yang halal jadi haram, yang haram jadi halal.