Apa hubungan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru?Ada pandangan yang menganggap bahwa Perjanjian Baru itu seperti tambahan ataupun revisi dari Perjanjian Lama. Benarkah demikian? Untuk memahami hubungan antara keduanya, mari kita mengacu kepada Katekismus Gereja Katolik, yaitu apakah itu Perjanjian Lama, Perjanjian Baru, dan apakah hubungan antara keduanya.
1. Perjanjian LamaKGK 121 Perjanjian Lama adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari Kitab Suci. Buku-bukunya diilhami secara ilahi dan tetap memiliki nilainya (Bdk. DV 14) karena Perjanjian Lama tidak pernah dibatalkan.
KGK 122 “Tata keselamatan Perjanjian Lama terutama dimaksudkan untuk menyiapkan kedatangan Kristus Penebus seluruh dunia.” Meskipun kitab-kitab Perjanjian Lama “juga mencantum hal-hal yang tidak sempurna dan bersifat sementara, kitab-kitab itu memaparkan cara pendidikan ilahi yang sejati. … Kitab-kitab itu mencantum ajaran-ajaran yang luhur tentang Allah serta kebijaksanaan yang menyelamatkan tentang peri hidup manusia, pun juga perbendaharaan doa-doa yang menakjubkan, akhirnya secara terselubung [mereka] mengemban rahasia keselamatan kita” (DV 15).
KGK 123 Umat Kristen menghormati Perjanjian Lama sebagai Sabda Allah yang benar. Gereja tetap menolak dengan tegas gagasan untuk menghilangkan Perjanjian Lama, karena Perjanjian Baru sudah menggantikannya [Markionisme].
2. Perjanjian BaruKGK 124 “Sabda Allah, yang merupakan kekuatan Allah demi keselamatan semua orang yang beriman (lih. Rm 1:16), dalam kitab-kitab Perjanjian Baru disajikan secara istimewa dan memperlihatkan daya kekuatannya” (DV 17). Tulisan-tulisan tersebut memberi kepada kita kebenaran definitif wahyu ilahi. Tema sentralnya ialah Yesus Kristus, Putera Allah yang menjadi manusia, karya-Nya, ajaran-Nya, kesengsaraan-Nya, dan pemuliaan-Nya begitu pula awal mula Gereja di bawah bimbingan Roh Kudus (Bdk. DV 20)
KGK 125 Injil-injil merupakan jantung hati semua tulisan sebagai “kesaksian utama tentang hidup dan ajaran Sabda Yang Menjadi Daging, Penyelamat kita” (DV 18).
KGK 126 Dalam penyusunan Injil-injil dapat kita bedakan tiga tahap:
1. Kehidupan dan kegiatan mengajar Yesus. Bunda Gereja kudus tetap mempertahankan dengan teguh dan sangat kokoh, bahwa keempat Injil “yang sifat historisnya diakui tanpa ragu-ragu, dengan setia meneruskan apa yang oleh Yesus Putera Allah selama hidup-Nya di antara manusia sungguh telah dikerjakan dan diajarkan demi keselamatan kekal mereka, sampai hari Ia diangkat (lih. Kis 1:1-2)” (DV 19).
2. Tradisi lisan. “Sesudah kenaikan Tuhan para Rasul meneruskan kepada para pendengar mereka apa yang dikatakan dan dijalankan oleh Yesus sendiri, dengan pengertian yang lebih penuh, yang mereka peroleh karena dididik oleh peristiwa-peristiwa mulia Kristus dan oleh terang Roh kebenaran” (DV 19).
3. Penulisan Injil-Injil. “Adapun penulis suci mengarang keempat Injil dengan memilih berbagai dari sekian banyak hal yang telah diturunkan secara lisan atau tertulis; beberapa hal mereka susun secara agak sintetis, atau mereka uraikan dengan memperhatikan keadaan Gereja-Gereja; akhirnya dengan tetap mempertahankan bentuk pewartaan, namun sedemikian rupa, sehingga mereka selalu menyampaikan kepada kita kebenaran yang murni tentang Yesus” (DV 19).
KGK 127 Injil berganda empat itu menduduki tempat istimewa di dalam Gereja. Ini dibuktikan oleh penghormatan terhadapnya di dalam liturgi dan daya tarik yang tidak ada bandingnya, yang mempengaruhi orang kudus dari setiap zaman. “Tidak ada satu ajaran yang lebih baik, lebih bernilai dan lebih indah daripada teks Injil. Lihatlah dan peganglah teguh, apa yang tuan dan guru kita Kristus ajarkan dalam kata-kata-Nya dan lakukan dalam karya-karya-Nya” (Sesaria Muda).”Terutama Injil sangat mengesankan bagi saya sewaktu saya melakukan doa batin; di dalamnya saya menemukan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh jiwa saya yang lemah ini. Di dalamnya saya selalu menemukan pandangan baru, dan makna yang tersembunyi dari penuh rahasia” (Teresia dari Anak Yesus. ms autob. A 83v).
3. Kesatuan antara Perjanjian Lama dan Perjanjian BaruKGK 128 Sudah sejak zaman para Rasul (Bdk. 1Kor 10:6,11; Ibr 10:1; 1Ptr 3:21) dan juga dalam seluruh tradisi, kesatuan rencana ilahi dalam kedua Perjanjian itu dijelaskan oleh Gereja melalui tipologi. Penafsiran macam ini menemukan dalam karya Tuhan dalam Perjanjian Lama “Prabentuk” (tipologi) dari apa yang dilaksanakan Tuhan dalam kepenuhan waktu dalam pribadi Sabda-Nya yang menjadi manusia.
KGK 129 Jadi umat Kristen membaca Perjanjian Lama dalam terang Kristus yang telah wafat dan bangkit. Pembacaan tipologis ini menyingkapkan kekayaan Perjanjian Lama yang tidak terbatas. Tetapi tidak boleh dilupakan, bahwa Perjanjian Lama memiliki nilai wahyu tersendiri yang Tuhan kita sendiri telah nyatakan tentangnya (Bdk. Mrk 12:29-31). Selain itu Perjanjian Baru juga perlu dibaca dalam cahaya Perjanjian Lama. Katekese perdana Kristen selalu menggunakan Perjanjian Lama (Bdk. 1 Kor 5:6- 8; 10:1-11). Sesuai dengan sebuah semboyan lama Perjanjian Baru terselubung dalam Perjanjian Lama, sedangkan Perjanjian Lama tersingkap dalam Perjanjian Baru: “Novum in Vetere latet et in Novo Vetus patet” (Agustinus, Hept. 2,73, Bdk. DV 16).
KGK 130 Tipologi berarti adanya perkembangan rencana ilahi ke arah pemenuhannya, sampai akhirnya “Allah menjadi semua di dalam semua” (1 Kor 15:28). Umpamanya panggilan para bapa bangsa dan keluaran dari Mesir tidak kehilangan nilai sendiri dalam rencana Allah, karena mereka juga merupakan tahap-tahap sementara di dalam rencana itu.
Jadi Gereja tidak pernah mengatakan bahwa Perjanjian Lama telah dibatalkan. Demikian pula, Perjanjian Baru bukan semata-mata tambahan yang tidak ada kaitannya dengan Perjanjian Lama, dan juga bukan semata-mata revisi yang membatalkan semua Perjanjian Lama. Sebaliknya, apa yang tertulis dalam Perjanjian Lama adalah prabentuk/ tipologi dari apa yang kemudian digenapi oleh Kristus dalam Perjanjian Baru. Dalam artian inilah maka Kristus mengatakan bahwa “satu iota atau satu titikpun tidak akan ditiadakan dari hukum Taurat, sebelum semuanya terjadi” (Mat 5:18). Namun penggenapan dari apa yang tertulis dalam Perjanjian Lama tersebut, tidak harus sama persis dengan pernyataan dalam Perjanjian Lama. Sebab penggenapan tersebut mengacu kepada tema sentralnya, yaitu Yesus Kristus, karya-Nya, ajaran-Nya, wafat dan kebangkitan-Nya. Dengan prinsip ini, maka hukum moral yang diajarkan oleh hukum Taurat (yaitu Sepuluh perintah Allah) tetap berlaku, sebab hukum tersebut merupakan prabentuk/tipologi hukum cinta kasih yang diajarkan Kristus dalam Perjanjian Baru. Sedangkan hukum Taurat yang mencakup tentang perintah-perintah, terutama ketentuan seremonial dan hukuman/ sangsi, yang ditetapkan oleh dekrit para rabi Yahudi, tidak lagi berlaku. Sebab keberadaan hukum-hukum seremonial dan sangsi adalah demi mempersiapkan bangsa Yahudi untuk menerima Kristus Sang Mesias, yaitu bagaimana melalui hukum-hukum itu bangsa Yahudi dipisahkan dari bangsa-bangsa lainnya, dikuduskan, sebagai bangsa pilihan Allah. Agar melalui bangsa Yahudi, segenap bangsa menerima keselamatan dari Allah. Maka setelah Kristus datang, hukum-hukum seremonial dan sangsi tidak lagi berlaku, sebab pemisahan ini tidak lagi diperlukan, karena kedatangan Kristus justru untuk menjadikan seluruh bangsa menjadi satu di dalam diri-Nya. Inilah sebabnya maka dikatakan dalam Ef 2:15-16, “sebab dengan mati-Nya sebagai manusia Ia telah membatalkan hukum Taurat dengan segala perintah dan ketentuannya, untuk menciptakan keduanya menjadi satu manusia baru di dalam diri-Nya, dan dengan itu mengadakan damai sejahtera, dan untuk memperdamaikan keduanya, di dalam satu tubuh, dengan Allah oleh salib, dengan melenyapkan perseteruan pada salib itu.”
St. Thomas Aquinas, dalam bukunya Summa Theology, menjelaskan bagaimana memahami makna penggenapan hukum Taurat dan pembatalan hukum Taurat tersebut.
Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
[You must be registered and logged in to see this link.]