Konsili Vatikan II membawa banyak perubahan atas sakramen ini. Nama resminya sekarang bukanlah sakramen perminyakan terakhir, tetapi Sakramen Pengurapan Orang Sakit (SPOS). Tempat pengurapan juga dibatasi, yaitu pada dahi dan kedua telapak tangan penderita.
Sesuai dengan perubahan nama dan teologi sakramen ini, terjadi perubahan tentang siapa saja yang boleh menerima. Dalam dekrit Ordo unctionis infirmorum (7 Desember 1972), ditetapkan bahwa yang boleh menerima SPOS ialah 1) mereka yang menderita sakit serius; 2) orang yang akan menjalani operasi besar dan bisa berbahaya; 3) para lansia yang kekuatannya sudah mulai menurun; 4) orang yang baru saja meninggal tapi badannya masih panas (diberi dengan pengandaian bahwa yang bersangkutan belum sungguh meninggal). Dokumen yang sama mengatakan bahwa sakramen itu boleh diulang kalau penyakitnya menjadi semakin parah atau jika si pasien sudah sembuh dan jatuh sakit lagi.
Jadi, Ibu yang kanker payudara stadium empat itu tentu bisa dikategorikan sebagai penderita sakit serius, maka boleh menerima SPOS meskipun masih nampak segar bugar. Demikian juga anak-anak yang menderita sakit serius, misalnya thalasemia atau diabetes tipe 1, boleh menerima SPOS asalkan anak itu sudah mampu menggunakan akal-budinya dan karena itu mampu menghayati penghiburan yang diberikan melalui SPOS.
Uraian Dekrit ini merupakan perwujudan rinci dari seruan Konsili Vatikan II (SC 73-75), yang kemudian dituangkan dalam ajaran resmi Gereja lainnya (KHK kan 1004-1007; KGK 1514-1515). KHK diterbitkan tahun 1983 sedangkan KGK tahun 1993. Kalau sebelum Konsili Vatikan II, perminyakan hanya diberikan kepada mereka yang akan meninggal, maka sesudah Konsili yang boleh menerima ialah yang sakit berat atau lansia. Berat atau tidaknya penyakit ini menjadi bahan pertimbangan kebijaksanaan imam pemberi sakramen. Bagaimanapun, pengertian “penyakit” di sini dimengerti lebih sebagai penyakit fisik.
Kedua, menarik untuk mencermati “Instruksi mengenai Doa Penyembuhan” yang diterbitkan oleh Kongregasi untuk Ajaran Iman (KAI), Roma, 14 September 2000 (Seri Dokumen Gerejawi No. 61). Dokumen ini bernama Ardens Felicitatis (AF). Penyembuhan orang sakit diletakkan dalam kerangka misi Yesus yang “bekeliling ke semua kita dan desa, mengajar di rumah-rumah ibadat mereka, memaklumkan Injil Kerajaan Allah, dan menyembuhkan setiap penyakit dan kelemahan” (Mat 9:35; bdk 4:23). Penyembuhan-penyembuhan itu merupakan tanda karya mesianis-Nya (bdk Luk 7:20-23). Penyembuhan-penyembuhan itu menunjukkan kemenangan Kerajaan Allah atas setiap kejahatan, dan menjadi simbol pemulihan kesehatan dari seluruh pribadi manusia, jiwa dan badan.
Doa mohon penyembuhan inilah yang diungkapkan dalam SPOS. Konteks mesianis di atas memberi makna baru pada SPOS bukan hanya sebagai sakramen untuk orang-orang yang sakit serius. Dokumen ini tidak lagi merisaukan derajat seberapa serius sebuah penyakit untuk boleh menerima sakramen ini, tetapi kepedulian utama diarahkan kepada penyembuhan dalam tubuh dan jiwa serta pembebasan orang sakit dari setiap penderitaan, seperti nampak dalam doa pemberkatan minyak sebelum pengurapan. Surat Yakobus, menurut penafsiran KAI, merupakan doa mohon kesembuhan fisik dan keselamatan rohani. Doa itu merupakan tindakan yang berdaya guna atas si sakit.
Ardens Felicitatis menegaskan sekali lagi bahwa SPOS adalah doa permohonan untuk kesehatan jiwa dan badan dengan merujuk pada doa pemberkatan minyak orang sakit. Dalam doa itu dimohonkan agar Allah mengalirkan berkat kudus-Nya sehingga semua “yang diurapi dengannya memperoleh penyembuhan, dalam tubuh, jiwa dan roh, dan dibebaskan dari semua kesedihan, kelemahan dan penderitaan.” Semangat doa ini sangat mirip dengan doa ritus Timur, baik ritus Bizantium maupun ritus Koptik.
Ungkapan “penyembuhan dalam tubuh, jiwa dan roh” dan pembebasan “dari semua kesedihan, kelemahan dan penderitaan” menunjukkan bahwa SPOS boleh diberikan bukan hanya untuk mereka yang sakit serius secara fisik, tetapi juga sakit kejiwaan atau sakit rohani yang secara fisik tidak nampak. Misalnya, kecanduan, ketagihan atau juga luka-luka batin. Maka, lingkup penerima SPOS menjadi sangat luas. Pandangan KAI ini membuka perspektif baru yang memberikan kesegaran, meskipun pasti membutuhkan rincian peraturan tentang batasan dan frekuensi pemberian SPOS.
Pastor Dr Petrus Maria Handoko CM
[You must be registered and logged in to see this link.]