Politikus Wanita Kuwait Salwa al-Mutairi Coba Membuat Peraturan Agar Lelaki Harus Punya Budak Seks Agar Terhindar Dari Bahaya Zinah

Quote :

Politikus Wanita Kuwait Salwa al-Mutairi Coba Membuat Peraturan Agar Lelaki Harus Punya Budak Seks Agar Terhindar Dari Bahaya Zinah
Posted on June 9, 2011 by Catur Eka Darma| Leave a comment

Boleh jadi politikus perempuan dari Kuwait, Salwa al-Mutairi, paham betul betapa laki-laki kebanyakan memiliki syahwat seksual yang kerap kali tak terbendung. Sebab itu, ia mengusulkan satu resep jitu agar para lelaki di negaranya tidak terjerumus godaan sehingga berzinah dengan pembantu, gadis, atau istri orang.

Ia mengatakan para lelaki yang telah menikah harus memelihara budak seks sebagai antisipasi jika istri mereka berhalangan. Ia menegaskan mempunyai budaks seks sama saja dengan mempunyai istri sah. Ia bahkan menyebutkan perempuan-perempuan yang dapat diperdagangkan itu bisa diperoleh dari negara-negara yang sedang berperang, seperti Chechnya. Karena budak seks itu harus berstatus tawanan perang.

Dia berdalih dulu, orang-orang kaya dibolehkan mempunyai budak, termasuk perempuan yang bisa dijadikan pemuas hawa nafsu. Namun di zaman sekarang, ide itu sangat kontroversial dan dianggap melecehkan kaum hawa.

Ia beralasan ketimbang mati sia-sia lantaran kelaparan akibat situasi perang, lebih baik menjadi budak seks dengan hidup terjamin dan aman. “Tidak ada yang memalukan dan (budak seks) ini tidak haram menurut hukum Islam,” kata Salwa beralasan. Ia pun menuduh secara sepihak bahwa para pemimpin yang hidup di abad ke-8 bahkan ada yang memelihara 2.000 budak seks.

Meski begitu, ia mensyaratkan umur minimal perempuan yang bisa dijadikan pemuas nasfu adalah 15 tahun. Ia pun mengusulkan agar perdagangan budak seks itu dilegalkan seperti perdagangan pembantu rumah tangga.

Salwa mengklaim idenya itu mendapat dukungan dari sejumlah mufti di Arab Saudi. “Mereka bilang (memelihara budak seks) itu benar. Itu satu-satunya solusi bagi seorang pria layak yang memiliki kekayaan, nafsu seks luar biasa, dan tidak ingin berbuat zina,” ujarnya.

Ide itu bertentangan dengan ajaran Islam. Saat Islam datang, saat itu budaya Arab memang masih diwarnai perbudakan. Untuk menghapuskan perbudakan itulah, maka dibolehkan majikan menikahi budaknya. Bila sudah dinikahi, maka status sang budak menjadi orang merdeka.

nyebut, bu...
nyebut... but...

Secara tidak langsung, sang Politikus Salwa al-Mutairi ini memandang perempuan sebagai barang dagangan ya? Mungkin pemikiran yang mirip-mirip itu juga yang menjadi biang keladinya sehingga TKW kita yang mencari pekerjaan di Timur Tengah sono dipajang di etalase apabila belum punya majikan. Lagi-lagi jadi bertentangan dengan mejadi rahmat buat sekalian alam. Perempuan juga bagian komponen pembentuk alam toh? Nah, bagaimana pula perempuan budak merasakan menjadi budak adalah rahmat? Terbolak-balik deh.

Ini yang sebenarnya salah kaprah.

Dengan mengetahui kelemahan diri bukan lantas menyediakan sarana untuk berbuat tidak benar. Apa lantas kalau seseorang suka menyiksa lantas disediakan sarana dan korban penyiksaan.

Yang benar adalah, jika seseorang tahu bahwa syahwatnya terlalu menggebu, maka pengendalian diri harus lebih kuat, kalau perlu diawai dengan ketat oleh pasangannya. Bukan justru dikasih kesempatan berbuat liar.

Aneh cara pikirnya, ibaratnya menghalalkan sesuatu yang haram dengan cara legal, cape cape cape.

bruce wrote:

Dengan mengetahui kelemahan diri bukan lantas menyediakan sarana untuk berbuat tidak benar. Apa lantas kalau seseorang suka menyiksa lantas disediakan sarana dan korban penyiksaan.

Hehhehheee... mungkin si politikus wanita itu memandang hal itu sebagai persamaan pada bakat atau talenta yang perlu dipelihara dan disalurkan. Hihhihhiii... pemikiran politikus yang hanya sekitar sejengkal dibawah pusar.

Husada wrote:

Secara tidak langsung, sang Politikus Salwa al-Mutairi ini memandang perempuan sebagai barang dagangan ya? Mungkin pemikiran yang mirip-mirip itu juga yang menjadi biang keladinya sehingga TKW kita yang mencari pekerjaan di Timur Tengah sono dipajang di etalase apabila belum punya majikan. Lagi-lagi jadi bertentangan dengan mejadi rahmat buat sekalian alam. Perempuan juga bagian komponen pembentuk alam toh? Nah, bagaimana pula perempuan budak merasakan menjadi budak adalah rahmat? Terbolak-balik deh.

Setuju bro .. pandangan politikus itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang rahmatan lil alamin itu.
Bahkan bertentangan ...

Na'udzubillah min dzalik ...

Silancah wrote:

Setuju bro .. pandangan politikus itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang rahmatan lil alamin itu.
Bahkan bertentangan ...

Na'udzubillah min dzalik ...

Apakah mungkin politisi itu hanya Muslimah KTP?

Husada wrote:

Silancah wrote:

Setuju bro .. pandangan politikus itu sama sekali tidak mencerminkan ajaran agama yang rahmatan lil alamin itu.
Bahkan bertentangan ...

Na'udzubillah min dzalik ...

Apakah mungkin politisi itu hanya Muslimah KTP?

Allahu a'lam bro ... hanya Allah al Hadi yang tahu.

Di Indonesia pun ada yang nyeleneh seperti itu, seorang 'ustadzah' dan dosen UIN mendukung homoseksual... naudzubillah min dzalik, saya berlindung kepada Allah dari hal2 seperti itu.

Silancah wrote:

Di Indonesia pun ada yang nyeleneh seperti itu, seorang 'ustadzah' dan dosen UIN mendukung homoseksual... naudzubillah min dzalik, saya berlindung kepada Allah dari hal2 seperti itu.

Tentang orang nyeleneh begitu, saya sependapat kalau itu suatu penyimpangan dari pokok ajaran yang diterimanya, karna dengan statistik akan kelihatan bahwa sikap atau pandangan seperti itu akan segera dikucilkan.

Husada wrote:

Tentang orang nyeleneh begitu, saya sependapat kalau itu suatu penyimpangan dari pokok ajaran yang diterimanya, karna dengan statistik akan kelihatan bahwa sikap atau pandangan seperti itu akan segera dikucilkan.

Untuk saat ini sih belum ada tanda2 orang atau pandangan seperti akan dikucilkan.
Yang ada malahan orang yang memiliki pandangan seperti itu diundang dari luar negeri untuk berbicara di Indonesia.

Silancah wrote:

Untuk saat ini sih belum ada tanda2 orang atau pandangan seperti akan dikucilkan.
Yang ada malahan orang yang memiliki pandangan seperti itu diundang dari luar negeri untuk berbicara di Indonesia.

Hmmm... mungkin maksudnya adalah mengenalkan pandangan seperti itu agar tidak ditiru? Eh, tapi, kalo jelas-jelas pembicaranya berpandangan seperti itu, memang tidak mudah meminta agar tidak menirunya, ya? Sebab, dengan dipanggilnya orang seperti itu, tersirat nada kekaguman pada pandangan seperti itu.

Selaku warga negara yang berketuhanan, saya termasuk kelompok yang menolak. Tetapi di sisi lain, selaku orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya haqqul yakin bahwa orang pengidap kejiwaan seperti itu juga adalah ciptaan Tuhan, yang hak kemanusiaannya untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat harus dijamin. Ah, dilelemma ini.

Hayuh, rekan-rekan, urun rembug.

Husada wrote:

Hmmm... mungkin maksudnya adalah mengenalkan pandangan seperti itu agar tidak ditiru? Eh, tapi, kalo jelas-jelas pembicaranya berpandangan seperti itu, memang tidak mudah meminta agar tidak menirunya, ya? Sebab, dengan dipanggilnya orang seperti itu, tersirat nada kekaguman pada pandangan seperti itu.

Selaku warga negara yang berketuhanan, saya termasuk kelompok yang menolak.

Itulah yang dikhawatirkan, jika nada kekaguman dilayangkan pada orang berpandangan seperti ini maka seakan2 hal itu menjadi wajar dan bahkan benar lalu akan dituruti oleh kawan2 kita yang belum mengetahui atau menyadari hal itu adalah hal yang salah.

Husada wrote:

Tetapi di sisi lain, selaku orang yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, saya haqqul yakin bahwa orang pengidap kejiwaan seperti itu juga adalah ciptaan Tuhan, yang hak kemanusiaannya untuk berserikat dan mengeluarkan pendapat harus dijamin. Ah, dilelemma ini.

Hayuh, rekan-rekan, urun rembug.

Pendapat yang salah itu sebaiknya disimpan sendiri dan jangan disyiarkan ke masyarakat banyak.
Istilah zaman sekarang apa? Provokator, ya?
Apa tindakan polisi terhadap provokator? Harusnya sih ditangkap ya...

Silancah wrote:

Pendapat yang salah itu sebaiknya disimpan sendiri dan jangan disyiarkan ke masyarakat banyak.
Istilah zaman sekarang apa? Provokator, ya?
Apa tindakan polisi terhadap provokator? Harusnya sih ditangkap ya...

Masalahnya, Cah, mungkin orang berpandangan salah seperti itu tidak menyadari bahwa pandangan itu salah, atau sedikitnya, tidak berterima umum.

Husada wrote:

Silancah wrote:

Pendapat yang salah itu sebaiknya disimpan sendiri dan jangan disyiarkan ke masyarakat banyak.
Istilah zaman sekarang apa? Provokator, ya?
Apa tindakan polisi terhadap provokator? Harusnya sih ditangkap ya...

Masalahnya, Cah, mungkin orang berpandangan salah seperti itu tidak menyadari bahwa pandangan itu salah, atau sedikitnya, tidak berterima umum.

Kalau merujuk pada kasus wanita pendukung lesbianisme yang dulu diundang ke Salihara (saya lupa namanya) rasanya beliau sudah pernah diajak berdebat oleh pemuka agama di negaranya. Tapi yaaa, memang keukeuh, ngeyel, berpendapat bahwa pemahamannya yang paling benar.
Dan itulah yang berbahaya jika beliau dibiarkan mensyiarkan pemahamannya itu di Indonesia ini...

Silancah wrote:

Husada wrote:

Silancah wrote:

Pendapat yang salah itu sebaiknya disimpan sendiri dan jangan disyiarkan ke masyarakat banyak.
Istilah zaman sekarang apa? Provokator, ya?
Apa tindakan polisi terhadap provokator? Harusnya sih ditangkap ya...

Masalahnya, Cah, mungkin orang berpandangan salah seperti itu tidak menyadari bahwa pandangan itu salah, atau sedikitnya, tidak berterima umum.

Kalau merujuk pada kasus wanita pendukung lesbianisme yang dulu diundang ke Salihara (saya lupa namanya) rasanya beliau sudah pernah diajak berdebat oleh pemuka agama di negaranya. Tapi yaaa, memang keukeuh, ngeyel, berpendapat bahwa pemahamannya yang paling benar.
Dan itulah yang berbahaya jika beliau dibiarkan mensyiarkan pemahamannya itu di Indonesia ini...

Siapa sih maksudnya? Irshad Manji bukan??

Djokowi wrote:

Silancah wrote:

Kalau merujuk pada kasus wanita pendukung lesbianisme yang dulu diundang ke Salihara (saya lupa namanya) rasanya beliau sudah pernah diajak berdebat oleh pemuka agama di negaranya. Tapi yaaa, memang keukeuh, ngeyel, berpendapat bahwa pemahamannya yang paling benar.
Dan itulah yang berbahaya jika beliau dibiarkan mensyiarkan pemahamannya itu di Indonesia ini...

Siapa sih maksudnya? Irshad Manji bukan??

Oh iya... betul
Irshad Manji...

Silancah wrote:

Djokowi wrote:

Silancah wrote:

Kalau merujuk pada kasus wanita pendukung lesbianisme yang dulu diundang ke Salihara (saya lupa namanya) rasanya beliau sudah pernah diajak berdebat oleh pemuka agama di negaranya. Tapi yaaa, memang keukeuh, ngeyel, berpendapat bahwa pemahamannya yang paling benar.
Dan itulah yang berbahaya jika beliau dibiarkan mensyiarkan pemahamannya itu di Indonesia ini...

Siapa sih maksudnya? Irshad Manji bukan??

Oh iya... betul
Irshad Manji...

Sudah baca bukunya dia?

Djokowi wrote:

Sudah baca bukunya dia?

Sekilas saja... tapi itu pun kutipan di beberapa media.

Silancah wrote:

Djokowi wrote:

Sudah baca bukunya dia?

Sekilas saja... tapi itu pun kutipan di beberapa media.

O ya sudah...

Saya pribadi tidak akan berkomentar tentang tafsiran2 dia terhadap Quran dan Hadits, karena di luar kompetensi saya dan juga saya tidak peduli.. :)
Tetapi gambaran dia tentang kehidupan dan pola pikir kebanyakan Muslim di dunia, menurut saya sangat jujur dan objektif. Dan seharusnya itu bisa menjadi self-critics bagi dunia islam sendiri. Soalnya kalau yang melakukan itu orang Kristen pasti jadi masalah besar

Sayang karena anda belum baca, saya tidak bisa minta pendapat/komentar anda. :)

Djokowi wrote:

O ya sudah...

Saya pribadi tidak akan berkomentar tentang tafsiran2 dia terhadap Quran dan Hadits, karena di luar kompetensi saya dan juga saya tidak peduli.. :)
Tetapi gambaran dia tentang kehidupan dan pola pikir kebanyakan Muslim di dunia, menurut saya sangat jujur dan objektif. Dan seharusnya itu bisa menjadi self-critics bagi dunia islam sendiri. Soalnya kalau yang melakukan itu orang Kristen pasti jadi masalah besar

Sayang karena anda belum baca, saya tidak bisa minta pendapat/komentar anda. :)

Kalau Anda bersedia memaparkan gambaran yang dimiliki/yang pernah dituliskan IM di sini untuk didiskusikan, saya bersedia untuk menyampaikan buah pemikiran saya.

Tapi, itu pun kalau Anda berkenan :)

Ini saya cuplikkan sebagian dari "The Trouble with Islam Today", dan masih banyak contoh lainnya di buku tsb.

Quote :

SEPERTI JUTAAN kaum muslim lainnya selama 40 tahun terakhir, keluargaku berimigrasi ke Barat. Kami tiba di Richmond, daerah suburban kelas-menengah kota Vancouver, British Columbia, Kanada, pada tahun 1972. Saat itu umurku baru empat tahun. Antara tahun 1971 dan 1973, ribuan muslim Asia Selatan melarikan diri dari Uganda setelah sang diktator militer, Jenderal Idi Amin Dada, menyatakan bahwa Afrika diperuntukkan hanya bagi warga kulit hitam. Dia memberi waktu kami yang berkulit cokelat beberapa minggu saja untuk pergi atau mati.

Kaum muslim yang telah menghabiskan hidup mereka di Afrika Timur berterima kasih kepada pemerintah Inggris, yang telah membawa kami ke Asia Selatan untuk membantu pembuatan jalan kereta api di koloni-koloni Afrika mereka. Setelah beberapa generasi, banyak kaum muslim yang meningkat hidupnya dan menjadi pedagang yang makmur. Ayah dan saudara-saudara lelakinya, yang menjalankan bisnis dealer Mercedes-Benz di dekat Kampala, memperoleh keuntungan dari mobilitas kelas sosial yang diwariskan oleh pemerintah Inggris kepada kami. Tetapi mobilitas kelas sosial itu tidak kami wariskan kepada orang kulit hitam, penduduk asli yang kami pekerjakan.

Pada umumnya, kaum muslim di Afrika Timur memperlakukan orang kulit hitam seperti budak. Aku ingat ketika Ayah memukuli Tomasi, pelayan kami, dengan keras hingga menyebabkan lebam-lebam mengkilap di bagian-bagian tubuhnya yang legam. Meskipun aku, kedua saudara perempuanku, dan ibuku menyayangi Tomasi, tetapi kami akan ikut dihajar jika Ayah memergoki kami mengobati luka-lukanya. Aku tahu, hal serupa juga terjadi di banyak rumah tangga muslim lainnya. Dan perbudakan tetap berlangsung setelah keluargaku pergi dari sana. Itulah sebabnya, saat menginjak remaja, aku menolak jika diajak menjenguk keluarga jauhku di Afrika Timur. “Kalau aku pergi bersama Ibu,” aku mengingatkan ibuku, “Ibu tahu, kan, aku pasti bertanya pada bibi-bibi dan paman-pamanmu yang gendut-gendut itu: Kenapa mereka memperlakukan pembantu mereka seperti budak?” Ibu bermaksud menjadikan perjalanan itu sebagai ucapan selamat tinggal kepada hubungan keluarga yang mulai menua. Bukan sebagai kampanye hak asasi manusia. Khawatir keikutsertaanku mempermalukan Ibu, maka aku tetap tinggal di rumah.

Bukankah ini salah satu kejujurannya dalam menggambarkan dunia islam? Saya tidak beranggapan bahwa gambaran ini adalah gambaran mereka yang sungguh2 mempraktekkan ajaran islam yang benar. Yang jelas mereka tidak merasa bersalah terhadap agama mereka ketika mempraktekkan hal itu.
Tetapi bukannya menjadikannya self-critics, kebanyakan Muslim justru mencela dan bahkan mengancam si penulis.