Mmm... menurut hemat saya, ada beberapa kata yang patut digarisbawahi pada kisah diatas, yaitu marah, dendam, benci, miskin, dan bodoh. Dua dari lima kata itu, yaitu miskin dan bodoh, termasuk yang konon ingin diperangi oleh para kontestan pilkada dan pilpres pada saat kampanye.
Sangat disayangkan, setelah selesai kampanye pilkada dan pilpres, selesai juga keinginan memerangi kebodohan dan kemiskinan itu. Sepanjang bukan pemenang pilkada dan pilpres yang mengidap kebodohan dan kemiskinan, sepertinya para pemenang pilkada dan pilpres itu kurang serius memerangi kebodohan dan kemiskinan.
Untung saja, dari segi pilkada dan pilpres, masyarakat Indonesia tidak memelihara tiga kata yang tersisa yaitu marah, dendam, dan benci. Kalau ketiga kata itu dipelihara, anarkisme vertikal akan terjadi, mengingat ada sejenis pengingkaran janji pada saat pilkada dan pilpres.
Tapi, terbukti di segi lain, masyarakat Indonesia sangat mengidap benci, marah, dan dendam. Tampak dari betapa seringnya tawuran antar kampung. Dapat dipastikan, penyebab tawuran adalah ketiga kata itu, benci, marah, dan dendam.
Kembali ke judul trit dan kisah acuannya, ternyata di Amerikun Keparatun Kafirun, kebodohan dan kemiskinan tidak dapat menjadi tameng untuk menghindar dari hukuman mati. Termasuk juga ketidaktahuan, tidak dapat menjadi tameng penghalang hukuman mati.
Ngomong-ngomong, pada kisah itu tidak dijelaskan apakah Stroman itu penganut agama apa ya? Menurut hemat saya, kemungkinan, Stroman itu bukan pengikut Kristus. Atau, kalau dia pengikut Kristus, itu pasti hanya di KTP. Sebab, segila-gilanya pengikut Kristus, tidak akan berlama-lama memelihara benci, marah, dan dendam di hatinya. Pengikut Kristus itu menurut hemat saya adalah pemaaf dan pengasih.
Hanya saja, kalau di KTP sesorang tertulis label agama pengikut Kristus, belum tentu hati orang itu adalah pengikut Kristus.
Damai, damai, damai.