Dari satu sisi, saya sangat sependapat dengan Imdadun Rahmat ini, yaitu dari sisi penyebab meningkatnya kadar intoleransi. Tapi dari sisi lain, yaitu penggunaan isu agama sebagai pendulang suara, menurut saya tidak terlalu salah mengingat politik menghalalkan segala cara. Tujuan politik adalah kekuasaan duniawi, maka penggiat politik akan menggunakan seluruh apa yang bisa dijadikan alat, termasuk isu keagamaan.
Kalau sudah demikian, lalu, apa yang seharusnya diperbuat? Menurut saya, meningkatkan mutu pendidikan. Sekali lagi, meningkatkan mutu pendidikan. Dengan meningkatnya mutu pendidikan, akan memperkecil jumlah orang yang mau ngikut mulu' tanpa mengerti apa yang diikuti.
Dengan meningkatnya mutu pendidikan, masyarakat akan semakin kritis, dalam arti semakin menyadari sepenuhnya sikap dan tindakannya. Maka, meski seorang politikus berkata bagaimana, orang yang mempunyai pendidikan bagus akan bertimbang dengan akal sehatnya, maka masyarakat akan memilih sesuai nalar sehatnya.
Tetapi memang tidak gampang. Bagaimana meningkatkan pendidikan kalau sebagian besar masyarakat masih harus memikirkan kebutuhan pokoknya? Maksud saya, masih sangat sering dalam keluarga, anak-anak dilibatkan dalam karya penyelamatan dapur daripada meningkatkan pendidikan.
Akibatnya, tingkat pendidikan tetap tertinggal, dan yang begitu itu menjadi sasaran empuk pencari suara setuju. Menjadi lingkaran, setelah politikus mendapat suara dan duduk sebagai pengambil kebijakan, akan berpikir mengembalikan investasi yang sudah dikeluarkan, dan kembali melupakan peningkatan mutu pendidikan.
Kembali ke penggunaan fanatisme agama, saya pikir, itu bisa direduksi dengan guru-guru rohani dan para penggiat keagamaan bisa berlaku obyektif. Artinya, para penggerak di kelompok-kelompok agama bersikap obyektif menilai sikap kemasyarakatan tanpa mengait-kaitkan dengan sikap keagamaan. Apa mungkin? Kelihatannya tidak mungkin, sebab agama adalah hal yang subyektif, maka akan sangat sulit bersikap obyektif.
Baiklah masing-masing orang yang menyadari sebaiknya menularkan kesadaran obyektif kepada sekitarnya. Susahnya, orang yang yang terbalut oleh subyektif keagamaan 'merasa' sudah obyektif. Maka, sikapnya selalu diskriminatif.
Ah, muter deh.
Damai, damai, damai.