Perbudakan di Indonesia ??

Yup, kasus Bangladesh cukup membuat miris, berita terakhir korban yang ditemukan sudah 1000 orang lebi, dan masih bertambah, karena masih banyak yang tertimbun runtuhan bangunan.

Mudah mudahan di Indonesia tidak sampai terjadi yang seperti itu.

Ada sinyalemen bilang, bahwa kasus perbudakan oleh Yuki Irawan itu merupakan fenomena gunung es, bahwa itu hanya yang muncul ke permukaan. Sementara yang tidak tampak ke permukaan, masih sebagian besar lagi, walaupun mungkin tidak separah kasus Yuki, dalam arti tidak sampai penyiksaan fisik. Kementerian tenaga kerja berdalih, bahwa tenaga pengawas ketenagakerjaan sangat sedikit dibanding jumlah pekerja yang harus diawasi. Mengherankan, kementerian tenaga kerja itu mengartikan pengawasan harus diawasi detik demi detik. Tidak mampu mencari mekanisme yang sistematis mengawasi ketenagakerjaan. Kelihatannya kementerian itu perlu belajar lebih dalam tentang Analisis Beban Kerja.

Dan kalau mencermati kasus Yuki Irawan ini, seolah ada kesepakatan tidak tertulis antara RT, RW, Lurah, Camat, dan Bupati, Kepolisian, dan instansi lainnya. Mereka semua berupaya 'cuci tangan' bahwa kasus itu terjadi diluar pengetahuan mereka. Ironis sekali, seolah terjadi di pekarangan rumah, tetapi tidak melihat apa-apa.

Husada wrote:

Ada sinyalemen bilang, bahwa kasus perbudakan oleh Yuki Irawan itu merupakan fenomena gunung es, bahwa itu hanya yang muncul ke permukaan. Sementara yang tidak tampak ke permukaan, masih sebagian besar lagi, walaupun mungkin tidak separah kasus Yuki, dalam arti tidak sampai penyiksaan fisik. Kementerian tenaga kerja berdalih, bahwa tenaga pengawas ketenagakerjaan sangat sedikit dibanding jumlah pekerja yang harus diawasi. Mengherankan, kementerian tenaga kerja itu mengartikan pengawasan harus diawasi detik demi detik. Tidak mampu mencari mekanisme yang sistematis mengawasi ketenagakerjaan. Kelihatannya kementerian itu perlu belajar lebih dalam tentang Analisis Beban Kerja.

Dan kalau mencermati kasus Yuki Irawan ini, seolah ada kesepakatan tidak tertulis antara RT, RW, Lurah, Camat, dan Bupati, Kepolisian, dan instansi lainnya. Mereka semua berupaya 'cuci tangan' bahwa kasus itu terjadi diluar pengetahuan mereka. Ironis sekali, seolah terjadi di pekarangan rumah, tetapi tidak melihat apa-apa.

Selama tidak ada Kasih dalam hati, maka manusia lain hanya dianggap sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan itu bisa berupa kekayaan, kekuasaan, atau sekedar kenikmatan.

Parahnya, di Indonesia ini, Kasih nyaris cuma ada di mulut, tetapi kenyataannya adalah munafik.

Jika dicermati dengan saksama, kasus Yuki Irawan itu bisa dikategorikan sebagai upaya melegalkan perbudakan secara berjamaah. Karena benar-benar ilegal, maka masih selalu diumpetin. Semua pihak yang terkait mencoba menyembunyikan. Setelah terungkap, masing-masing pihak mencari alibi.

Glomod Bruce betul, bahwa melihat peristiwa itu, bisa disimpulkan, kasih hanya di bibir saja. Seluruh pihak yang terkait dengan perbudakan oleh YI itu memandang ke-34 'budak' YI seperti memandang hewan saja yang tenaganya bisa diperas, fisiknya bisa dijadikan uji coba kedahsyatan gamparan, tendangan, sundutan, dll, dll.

Pertanyaannya, kira-kira YI itu orang beragama atau tidak? Kalau dia orang beragama, apakah agamanya memberi ajaran kepadanya agar dia bebas memperbudak sesamanya?

Kemudian, setelah kasus itu terungkap, perbaikan apa yang dapat dikerjakan oleh bangsa ini? Atau, apakah akan diam saja, 'perbudakan' yang belum terungkap dibiarkan terus? Huh...

Quote :

Pertanyaannya, kira-kira YI itu orang beragama atau tidak? Kalau dia orang beragama, apakah agamanya memberi ajaran kepadanya agar dia bebas memperbudak sesamanya?

Kemudian, setelah kasus itu terungkap, perbaikan apa yang dapat dikerjakan oleh bangsa ini? Atau, apakah akan diam saja, 'perbudakan' yang belum terungkap dibiarkan terus? Huh...

Apa ada kaitannya, om?
Apakah karena kebetulan penganut agama yang dianut YI melakukan hal yang 'identik' di negara di mana banyak TKI juga diperlakukan sama?

bruce wrote:

Apa ada kaitannya, om?
Apakah karena kebetulan penganut agama yang dianut YI melakukan hal yang 'identik' di negara di mana banyak TKI juga diperlakukan sama?
[You must be registered and logged in to see this image.]

Saya kira, sangat terkait Glomod.

Tidak dapat dipungkiri, agama apapun, tujuan awalnya adalah untuk menjaga keharmonisan hubungan antar sesama dan hubungan dengan Tuhan. Bahkan orang atheis sekalipun, rasanya akan menghargai sesama sebagaimana adanya, sebagaimana orang atheis itu ingin dihargai.

Nah, saya pikir, kalau YI itu orang beragama, maka ajaran agama yang dianutnya idealnya mewarnai hidupnya, barang sedikit. Lepas dari kejadian-kejadian yang dialami TKI, menurut hemat saya, kalau YI itu beragama, dia tidak akan memperlakukan 'budaknya' seperti memperlakukan hewan. Ajaran agamanya, seharusnya membuka mata hati YI ini, bahwa dia selaku majikan adalah sama-sama manusia dengan 'budaknya' itu.

Yang terasa membuat semakin gemas, usaha YI itu diketahui banyak pihak, seperti Lurah, Camat, Polsek, dll, yang idealnya, orang-orang di instansi termaksud sadar betul dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain sadar dengan sila itu, para pihak itu seharusnya tahu tentang aturan yang berlaku yang mengatur tentang ketenagakerjaan, kesehatan, kependudukan, dll, dll.

Mungkin detil dari aturan-aturan itu tidak diketahui oleh para pejabat di instansi itu, tetapi dengan kasat mata saja, seharusnya para pejabat instansi itu sudha tahu ketidakwajaran perlakuan terhadap para 'budak' YI itu. Mungkin tentang makan tidak segera dapat diketahui apakah makanan dan minuman yang diberikan memadai atau tidak. Tentang jam kerja yang diberlakukan, juga bisa saja tidak dapat terpantau dengan pas. Tetapi, melihat borok, kudis, dan luka-luka bakar di sekujur tubuh beberapa 'budak' itu, akan segera memancing pertanyaan di benak para pejabat di instansi tersebut. Namun, mereka bersekongkol, seolah tidak melihat apa-apa. Mereka hanya mengisikan kolom agama di KTP-nya, tetapi tidak benar memiliki agama.

Quote :

Yang terasa membuat semakin gemas, usaha YI itu diketahui banyak pihak, seperti Lurah, Camat, Polsek, dll, yang idealnya, orang-orang di instansi termaksud sadar betul dengan sila Kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain sadar dengan sila itu, para pihak itu seharusnya tahu tentang aturan yang berlaku yang mengatur tentang ketenagakerjaan, kesehatan, kependudukan, dll, dll.

Kalau dari pengamatan saya, walau tidak bisa digeneralisasi, justru orang orang yang bertugas menertibkan pelanggaran terhadap bidang yang berada dalam otoritasnya, adalah orang orang yang paling sering melanggar.

Mulai dari petugas kepolisian pelanggar HAM dan memeras, petugas birokrat justru menghambat birokrasi, petugas pajak justru menyarankan penggelapan pajak, hakim yang sangat tidak adil, bahkan pemimpin agama bertindak sangat jauh dari ajaran agama seharusnya.

Ironis memang.

Betul.

Itulah perilaku koruptif. Begitu melihat ada aturan yang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi karena eksekusinya tergantung pada dirinya sendiri, langsung deh, tanpa tedeng aling-aling. Dia merasa itu menguntungkan pribadinya, mungkin benar menguntungkan dari segi materi, tetapi moralitasnya anjlok semakin anjlok. Pola rekrut pegawai dan pejabat di negeri ini memang sangat memprihatinkan.