|
| Tanya Kenapa? | |
| | |
Pengirim | Message |
---|
bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 10th April 2012, 13:39 | |
| - Princess_Maesaroh wrote:
- haiii,,
sebaiknya lady gaga ketika konser nanti mengenakan jilbab saja,, lebih syar'i,, Insya Allah menghindari fithah Percuma sis, mengenakan jilbab, kalau bagian lainnya diobral, begitu juga kalau gerakannya erotis, sama saja. Mending ngga usah nonton kalau tidak suka, sayapun tidak. | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 10:06 | |
| - bruce wrote:
- Mending ngga usah nonton kalau tidak suka, sayapun tidak.
Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka. Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan. Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut. Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan jeroan, atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan, atau penyakitnya yang kambuh karena jeroan, atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel? Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka. Damai, damai, damai. | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 10:12 | |
| - Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut. Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 10:36 | |
| - Silancah wrote:
- Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut.
Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu? | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 10:59 | |
| - bruce wrote:
- Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu?
Apa pun mungkin Bang Mungkin si tuan rumah pelit dan memilih makanan/bahan makanan yang mendekati kedaluwarsa. :face: | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 11:08 | |
| - bruce wrote:
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut.
Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu?
sepertinya kok ada mas, karena ada ayat tentang kewajiban tuan rumah seperti itu kepada tamu asingnya: 14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya." | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 11:17 | |
| - striker wrote:
sepertinya kok ada mas, karena ada ayat tentang kewajiban tuan rumah seperti itu kepada tamu asingnya:
14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya." Huahuahuahhahhahhaaa... striker memang pembaca Alkitab yang rajin, hingga banyak mengetahui ayat-ayat Alkitab. Mungkin karena dari dahulu (masa kecilnya) dia sudah menemukan Alkitab yang berbahasa Indonesia, sedangkan Al Qur'an baru mampu dibacanya setelah mengikuti pelajaran mengaji, dengan demikian, dia lebih banyak baca Alkitab daripada baca Al Qur'an, hahhahhahhaaa... damai bagimu striker. | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 11:21 | |
| - striker wrote:
- bruce wrote:
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut.
Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu?
sepertinya kok ada mas, karena ada ayat tentang kewajiban tuan rumah seperti itu kepada tamu asingnya:
14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya." Entah anda pura pura ngga tahu atau lupa, karena ayat itu sudah pernah diulas. Saya sampaikan singkat saja ya. Bangsa Yahudi, jauh sebelum Islam hadir, sudah menerapkan apa yang haram dan halal bagi mereka. Ternak yang mati alami, dianggap bangkai, dan tidak halal untuk dimakan oleh mereka. Tetapi, orang orang di luar bangsa yahudi tidak mengharamkan bangkai. Jadi, yang bagi orang yahudi tidak boleh disajikan, tetapi untuk yang tidak mengharamkannya tentu tidak masalah. Tolong diingat ingat ya, dan jangan pakai ayat Alkitab secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak sesuai konteksnya. Karena anda pasti juga tidak suka kalau ayat ayat Quran dipakai secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak ada hubungannya. Salam | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 11:26 | |
| - bruce wrote:
- striker wrote:
- bruce wrote:
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut.
Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu?
sepertinya kok ada mas, karena ada ayat tentang kewajiban tuan rumah seperti itu kepada tamu asingnya:
14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya." Entah anda pura pura ngga tahu atau lupa, karena ayat itu sudah pernah diulas.
Saya sampaikan singkat saja ya.
Bangsa Yahudi, jauh sebelum Islam hadir, sudah menerapkan apa yang haram dan halal bagi mereka. Ternak yang mati alami, dianggap bangkai, dan tidak halal untuk dimakan oleh mereka. Tetapi, orang orang di luar bangsa yahudi tidak mengharamkan bangkai.
Jadi, yang bagi orang yahudi tidak boleh disajikan, tetapi untuk yang tidak mengharamkannya tentu tidak masalah.
Tolong diingat ingat ya, dan jangan pakai ayat Alkitab secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak sesuai konteksnya. Karena anda pasti juga tidak suka kalau ayat ayat Quran dipakai secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak ada hubungannya.
Salam Tapi Bagaimana seorang yg tdk makan bangkai bisa menyajikan bangkai buat tamunya mas? Kalau saya tdk makan babi, tidak mungkin saya menyajikan babi kepada anda/tamu asing (yg tdk saya ketahui makan babi atau tidak). Apa yg buruk buat saya tidakpah mungkin saya sajikan kepada tamu saya mas. :) salam. | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 11:39 | |
| - striker wrote:
- bruce wrote:
- striker wrote:
- bruce wrote:
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut.
Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu?
sepertinya kok ada mas, karena ada ayat tentang kewajiban tuan rumah seperti itu kepada tamu asingnya:
14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya." Entah anda pura pura ngga tahu atau lupa, karena ayat itu sudah pernah diulas.
Saya sampaikan singkat saja ya.
Bangsa Yahudi, jauh sebelum Islam hadir, sudah menerapkan apa yang haram dan halal bagi mereka. Ternak yang mati alami, dianggap bangkai, dan tidak halal untuk dimakan oleh mereka. Tetapi, orang orang di luar bangsa yahudi tidak mengharamkan bangkai.
Jadi, yang bagi orang yahudi tidak boleh disajikan, tetapi untuk yang tidak mengharamkannya tentu tidak masalah.
Tolong diingat ingat ya, dan jangan pakai ayat Alkitab secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak sesuai konteksnya. Karena anda pasti juga tidak suka kalau ayat ayat Quran dipakai secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak ada hubungannya.
Salam Tapi Bagaimana seorang yg tdk makan bangkai bisa menyajikan bangkai buat tamunya mas?
Kalau saya tdk makan babi, tidak mungkin saya menyajikan babi kepada anda/tamu asing (yg tdk saya ketahui makan babi atau tidak).
Apa yg buruk buat saya tidakpah mungkin saya sajikan kepada tamu saya mas. :)
salam. Coba baca ulang penjelasan saya di atas itu. Selain bangsa Yahudi saat itu, bangsa apa lagi yang mengharamkan makan bangkai? Romawi? Mesir? Yunani? Persia? Semua menghalalkan daging yang tidak disembelih. Maka ketika ayat itu ditulis, seorang Yahudi tidak diharamkan memberi suguhan daging dari binatag yang mati wajar kepada tamunya yang bukan Yahudi, tetapi bagi mereka tetap diharamkan. Kalau anda sangkutkan kepada masalah sekarang ini, itu beda lagi. Tetapi, toh anda juga memiliki ayat, dimana daging yang diberikan oleh orang Yahudi dan ahli Kitab, tetap dianggap halal. Betulkah ingatan saya terhadap ayat Quran itu? Salam | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 18:09 | |
| - bruce wrote:
- striker wrote:
- bruce wrote:
- striker wrote:
- bruce wrote:
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
- Jitu. Saya suka ini. Menurut saya, menunjukkan kedewasaan jiwa dan mental, bahwa kalau ada sesuatu yang tidak kita sukai, karena alasan apapun, kita merdeka untuk menjauhinya, tidak perlu memberangus hal itu, wong mungkin orang lain suka.
Contohnya, pada pesta perjamuan yang menyediakan berbagai makanan dan minuman yang bisa diambil secara swalayan. Undangan dipersilahkan menikmati hidangan yang tersedia. Tuan pesta tidak mengharusan agar setiap undangan mencicipi semua jenis makanan dan minuman yang disediakan.
Bagi undangan yang karena disposisi dokter melarang mengkonsumsi jeroan, tentu hanya menghindarkan jeroan tersebut. Bukan lantas si undangan tersebut membuang jeroan yang sudah disediakan tuan pesta, tidak juga mengusulkan agar tuan pesta membuang jeroan tersebut.
Jika si undangan tersebut tetap mencicipi jeroan yang sudah didisposisikan dokter untuk tidak dikonsumsi, kemudian penyakitnya kambuh, siapa yang patut dipersalahkan? Apakah si tuan pesta yang menyediakan [/i]jeroan[/i], atau dokter yang mendisposisikan untuk tidak makan jeroan[/], atau penyakitnya yang kambuh kerna jeroan[/i], atau sumber jeroan itu (misalnya kambinga), atau si undangan tersebut yang meski sudah tahu berpantang tetapi tetap mbandel?
Siapapun yang akan kita persalahkan, kita merdeka menyimpulkan seperti itu. Dan, di hati dan pikiran kita masing-masing, saya yakin, kita tahu siapa yang salah pada kasus jeroan itu. Jika kita menyimpulkan berbeda dari pengetahuan dan pemahaman kita, yaaa... kita merdeka.
Damai, damai, damai. Akan berbeda kasusnya bila sang tuan pesta sengaja menghidangkan makanan basi (karena lebih murah or whatever the reason). Untuk undangan yang hati2 dan sensitif maka tentu bisa menghindari makanan tersebut. Tetapi untuk undangan yang kelaparan dan kurang sensitif akan melahapnya juga. Lalu undangan itu jatuh sakit bahkan mungkin keracunan perut.
Rasanya kita tahu siapa yang salah (tidak bertanggung jawab) pada kasus makanan basi itu, kan? Kalau memang tuan rumah mengundang dan menyajikan makanan basi, tentu yang tidak genah ya si tuan rumahnya, tapi apa ada tuan rumah yang seperti itu?
sepertinya kok ada mas, karena ada ayat tentang kewajiban tuan rumah seperti itu kepada tamu asingnya:
14:21 Janganlah kamu memakan bangkai apapun, tetapi boleh kauberikan kepada pendatang yang di dalam tempatmu untuk dimakan, atau boleh kaujual kepada orang asing; sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu. Janganlah kaumasak anak kambing dalam air susu induknya." Entah anda pura pura ngga tahu atau lupa, karena ayat itu sudah pernah diulas.
Saya sampaikan singkat saja ya.
Bangsa Yahudi, jauh sebelum Islam hadir, sudah menerapkan apa yang haram dan halal bagi mereka. Ternak yang mati alami, dianggap bangkai, dan tidak halal untuk dimakan oleh mereka. Tetapi, orang orang di luar bangsa yahudi tidak mengharamkan bangkai.
Jadi, yang bagi orang yahudi tidak boleh disajikan, tetapi untuk yang tidak mengharamkannya tentu tidak masalah.
Tolong diingat ingat ya, dan jangan pakai ayat Alkitab secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak sesuai konteksnya. Karena anda pasti juga tidak suka kalau ayat ayat Quran dipakai secara sembarangan untuk mengomentari yang tidak ada hubungannya.
Salam Tapi Bagaimana seorang yg tdk makan bangkai bisa menyajikan bangkai buat tamunya mas?
Kalau saya tdk makan babi, tidak mungkin saya menyajikan babi kepada anda/tamu asing (yg tdk saya ketahui makan babi atau tidak).
Apa yg buruk buat saya tidakpah mungkin saya sajikan kepada tamu saya mas. :)
salam.
Coba baca ulang penjelasan saya di atas itu. Selain bangsa Yahudi saat itu, bangsa apa lagi yang mengharamkan makan bangkai? Romawi? Mesir? Yunani? Persia? Semua menghalalkan daging yang tidak disembelih.
Maka ketika ayat itu ditulis, seorang Yahudi tidak diharamkan memberi suguhan daging dari binatag yang mati wajar kepada tamunya yang bukan Yahudi, tetapi bagi mereka tetap diharamkan.
Kalau anda sangkutkan kepada masalah sekarang ini, itu beda lagi. Tetapi, toh anda juga memiliki ayat, dimana daging yang diberikan oleh orang Yahudi dan ahli Kitab, tetap dianggap halal.
Betulkah ingatan saya terhadap ayat Quran itu?
Salam dlm onteks bagaimana dulu daging yg diberikan oleh yahudi dan ahli kitab itu dianggap halal mas? boleh disyaring ayatnya mas, please.. saya sungguh tdk habis pikir dengan ajaran yahudi yg ini, jikalau kita diharamkan meminum minuman keras/sesuatu yg buruk, bagaimana kita bisa diperbolehkan memberikan apa yg diharamkan kepada kita utk orang lain? Mengapa kita dibolehkan membrikan apa yg dilarang / yg buruk2 bagi kita? Bukankah seharusnya kita diajarkan utk memberikan yg baik dan bahkan yg terbaik utk tetangga ataupun tamu kita? Kalau dlm ajaran kristen bagaimana mas, apakah diperbolehkan menyuguhkan apa yg dilarang bagi umat kristen kepada pengikut ajaran lain? Eh tapi apa yg dilarang tuk dimakan dan diminum dlm ajaran kristen ya mas? | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? 13th April 2012, 18:13 | |
| OOT sudah terlalu jauh, silahkan buat thread baru, thread ini saya LOCK supaya kembali kepada jalurnya.
| |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Tanya Kenapa? | |
| |
| | | | Tanya Kenapa? | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |