Mengapa Hukuman Mati Harus Dihapuskan

Quote :

18 Tahun Dibui, Dapat 1,4 Juta Dollar AS
Egidius Patnistik | Jumat, 1 Juli 2011 | 09:12 WIB

HOUSTON, KOMPAS.com - Anthony Graves, pria Texas yang dipenjarakan selama 18 tahun karena dituduh membunuh enam orang padahal ia tak melakukannya, akhirnya menerima ganti-rugi 1,4 juta dolar AS, Kamis (30/6/2011). Graves menerima uang itu dalam pertemuan pribadi dengan Pengawas Texas, Susan Combs, demikian laporan media setempat.

Graves mengatakan, ia berterima kasih atas pembayaran ganti-rugi tersebut, tapi mengatakan uang itu "bahkan tak bisa menggantikan waktu yang ia lalui di dalam penjara". Graves dinyatakan terbukti bersalah membantu Robert Earl Carter membunuh seorang nenek dan lima anak kecil tahun 1992. Kedua pria tersebut dijatuhi hukuman mati atas pembunuhan itu.

Namun, Carter, satu-satunya pria yang membuat Graves terseret dalam kasus tersebut, mengakui sebelum ia disuntik mati pada tahun 1998 bahwa Graves tak memainkan peran apa pun dalam pembunuhan tersebut. Graves menjalani hukuman dua tahun sambil menunggu pengadilan atas pembunuhan itu pada tahun 1992, 12 tahun berada di urutan untuk menjalani hukuman mati sampai pengadilan banding mencabut hukuman atas dirinya.

Namun ia harus menunggu empat tahun lagi untuk menunggu pengadilan-ulang sampai jaksa penuntut umum memutuskan pembatalan hukuman. US Circuit Court of Appeals Ke-5 di New Orleans, Louisianna, memerintahkan proses pengadilan baru buat Graves pada 2006.

Inilah mengapa hukuman mati harus dihapuskan dari muka bumi, karena sebagai manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, walau sudah melalui sistem hukum yang canggih sekalipun.

Hukuman mati, dari segi si terhukum, tidak memberi kemungkinan manusia untuk menyesali dan bertobat, dari segi sistem pengadilan, hukuman itu bersifat final tidak dapat diperbaiki jika ternyata salah vonis.

Pada kasus di atas, seburuk buruknya pengalaman dipenjara selama 18 tahun, si Graves masih dapat 'menikmati' kehidupan nya sekarang ini. Akan lain kisahnya jika ternyata si Graves sudah terlanjur menjalani suntik mati, apa yang dapat dilakukan lagi? Sekarang, setidaknya si Graves masih boleh hidup mewah dengan uang 1.4 US$ atau identik dengan 12 Miliar rupiah.

Utk mnilai soal perlukah mnghapuskan hukuman mati, caranya adalah dg mendata :
Brapa jumlah kjahatan ketika dberlakukan hukuman mati vs brapa jumlah kjahatan pasca dhapuskan hukuman mati.

Sepertinya ngga bisa seperti itu bro. Karena tingkat kejahatan tidak bisa dinilai dari diberlakukan atau tidak diberlakukan hukuman mati. Tetapi lebih kepada apakah tindakan hukum ditegakkan atau diabaikan. Karena ancaman hukuman mati tidak akan ditakuti kalau penegakkan hukumnya lemah (tidak ditangkap), sedangkan tanpa ancaman hukuman mati sekalipun jika ditindak serius akan memberi efek jera.

Contoh, melakukan pelanggaran lalu lintas di Singapore dan di Jakarta tentu berbeda, karena penindakan dan sanksi di Singapore lebih serius dibanding di Jakarta, walau sebenarnya sama sama beresiko diancam hukuman berat.

bruce wrote:

Sepertinya ngga bisa seperti itu bro. Karena tingkat kejahatan tidak bisa dinilai dari diberlakukan atau tidak diberlakukan hukuman mati. Tetapi lebih kepada apakah tindakan hukum ditegakkan atau diabaikan. Karena ancaman hukuman mati tidak akan ditakuti kalau penegakkan hukumnya lemah (tidak ditangkap), sedangkan tanpa ancaman hukuman mati sekalipun jika ditindak serius akan memberi efek jera.

Saya ngga spakat Bro.
Skalipun penegakan hukum ditegakkan setegak-tegaknya, namun pnghapusan hukuman mati akan berimbas pada kuantitas dan kualitas kejahatan.

Bgini lho Bro...
Bagi orang benar, kita bicara bahasa orang benar,
Bagi orang humanis, kita bicara bahasa humanis.

Bro ini orang benar, humanis dan baik, maka Bro bisa diajak bicara mnggunakan bahasa yg halus, humanis dan baik.

Tp tidak smua orang itu mpunyai pola pikir, paradigma dan hati nurani yg Bro miliki.

Ada org yg tidak akan mngenal jera, tidak akan mngenal takut dan tidak akan mngenal belas kasihan jika kita bicara bahasa yg humanis.
Mreka baru bs mdengar jika kita bicara dg jenis bahasa mreka sendiri.

siip wrote:

bruce wrote:

Sepertinya ngga bisa seperti itu bro. Karena tingkat kejahatan tidak bisa dinilai dari diberlakukan atau tidak diberlakukan hukuman mati. Tetapi lebih kepada apakah tindakan hukum ditegakkan atau diabaikan. Karena ancaman hukuman mati tidak akan ditakuti kalau penegakkan hukumnya lemah (tidak ditangkap), sedangkan tanpa ancaman hukuman mati sekalipun jika ditindak serius akan memberi efek jera.

Saya ngga spakat Bro.
Skalipun penegakan hukum ditegakkan setegak-tegaknya, namun pnghapusan hukuman mati akan berimbas pada kuantitas dan kualitas kejahatan.

Bgini lho Bro...
Bagi orang benar, kita bicara bahasa orang benar,
Bagi orang humanis, kita bicara bahasa humanis.

Bro ini orang benar, humanis dan baik, maka Bro bisa diajak bicara mnggunakan bahasa yg halus, humanis dan baik.

Tp tidak smua orang itu mpunyai pola pikir, paradigma dan hati nurani yg Bro miliki.

Ada org yg tidak akan mngenal jera, tidak akan mngenal takut dan tidak akan mngenal belas kasihan jika kita bicara bahasa yg humanis.
Mreka baru bs mdengar jika kita bicara dg jenis bahasa mreka sendiri.

Nah dalam hal ini saya juga tidak sependapat dengan anda bro.

Karena dalam hal kejahatan, yang lebih penting dan utama adalah penindakan kejahatannya itu sendiri. Jenis sanksi yang diterapkan, baru setelah ada penindakan. Tanpa penindakan yang tepat, maka diancam sanksi seberat apapun akan sia sia.

Tapi oke lah, sepertinya memang kita harus bicara data, nah sementara ini, mungkin saya harus mencari data dari beberapa negara bagian di Amerika Serikat, karena ada negara bagian yang masih menerapkan hukuman mati, dan ada yang tidak. Mungkin dari sana bisa diteliti, apakah ada atau tidaknya hukuman mati berpengaruh pada tindak kejahatan.

Atau mungkin kita bisa perbandingkan, antara negara negara di Eropa yang umumnya sudah menghapus hukuman mati, dibadingkan dengan negara negara di Asia yang umumnya masih menerapkan hukuman mati. Tetapi mungkin anda akan keberatan karena ada perbedaan tingkat pendidikan dan kemakmuran?

GBU

siip wrote:

Saya ngga spakat Bro.
Skalipun penegakan hukum ditegakkan setegak-tegaknya, namun pnghapusan hukuman mati akan berimbas pada kuantitas dan kualitas kejahatan.

Bgini lho Bro...
Bagi orang benar, kita bicara bahasa orang benar,
Bagi orang humanis, kita bicara bahasa humanis.

Bro ini orang benar, humanis dan baik, maka Bro bisa diajak bicara mnggunakan bahasa yg halus, humanis dan baik.

Tp tidak smua orang itu mpunyai pola pikir, paradigma dan hati nurani yg Bro miliki.

Ada org yg tidak akan mngenal jera, tidak akan mngenal takut dan tidak akan mngenal belas kasihan jika kita bicara bahasa yg humanis.
Mreka baru bs mdengar jika kita bicara dg jenis bahasa mreka sendiri.

Saya setuju dengan pemahaman bro siip

bruce wrote:

Inilah mengapa hukuman mati harus dihapuskan dari muka bumi, karena sebagai manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, walau sudah melalui sistem hukum yang canggih sekalipun.

Hukuman mati, dari segi si terhukum, tidak memberi kemungkinan manusia untuk menyesali dan bertobat, dari segi sistem pengadilan, hukuman itu bersifat final tidak dapat diperbaiki jika ternyata salah vonis.

Kalau dalam kasus penembakan mati tersangka teroris ... seharusnya tidak dibenarkan karena itu berarti telah menutup kemungkinan sang tersangka untuk menyesali dan bertobat. Belum lagi telah menghilangkan kemungkinan diadilinya sang tersangka atas dakwaan terhadap dirinya

Silancah wrote:

bruce wrote:

Inilah mengapa hukuman mati harus dihapuskan dari muka bumi, karena sebagai manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, walau sudah melalui sistem hukum yang canggih sekalipun.

Hukuman mati, dari segi si terhukum, tidak memberi kemungkinan manusia untuk menyesali dan bertobat, dari segi sistem pengadilan, hukuman itu bersifat final tidak dapat diperbaiki jika ternyata salah vonis.

Kalau dalam kasus penembakan mati tersangka teroris ... seharusnya tidak dibenarkan karena itu berarti telah menutup kemungkinan sang tersangka untuk menyesali dan bertobat. Belum lagi telah menghilangkan kemungkinan diadilinya sang tersangka atas dakwaan terhadap dirinya

Jika hukuman mati dihapuskan, maka bukan hanya pelaku pembunuhan saja yang tidak dikenakan hukuman mati kang, bahkan teroris yang paling ganas sekalipun sudah seharusnya tidak dihukum mati.

bruce wrote:

Inilah mengapa hukuman mati harus dihapuskan dari muka bumi, karena sebagai manusia tidak bisa lepas dari kesalahan, walau sudah melalui sistem hukum yang canggih sekalipun.

Apakah ini berhubungan dgn ajaran katolik yg menentang hukuman mati ?

bruce wrote:

Hukuman mati, dari segi si terhukum, tidak memberi kemungkinan manusia untuk menyesali dan bertobat, dari segi sistem pengadilan, hukuman itu bersifat final tidak dapat diperbaiki jika ternyata salah vonis.

Jika orang itu akan bertobat dan memang sesuai dgn jalan kehendak Tuhan, maka orang itu nggak akan dapat hukuman mati.

Yg menentukan kehidupan seseorang itu Tuhan, bukan vonis hakim.

Quote :

Jika orang itu akan bertobat dan memang sesuai dgn jalan kehendak Tuhan, maka orang itu nggak akan dapat hukuman mati.

Yg menentukan kehidupan seseorang itu Tuhan, bukan vonis hakim.

Waduh jangan seperti itu bro. Masa kemudian kita misalnya melempar bayi ke sungai kemudian kita katakan kalau memang tidak direncanakan meninggal, maka si bayi tidak akan meninggal?

[quote="bruce"]

Quote :

Waduh jangan seperti itu bro. Masa kemudian kita misalnya melempar bayi ke sungai kemudian kita katakan kalau memang tidak direncanakan meninggal, maka si bayi tidak akan meninggal?

Bukan begitu om.

Setahu sy, om adlh orang yg cukup anti menggunakan ranah hukum agama pada negara.
Jika kita menentang suatu hukum positif negara karena itu berbenturan dgn ajaran agama, maka sama aja kita mencampur aduk hukum negara dan agama.

Apalagi jika alasannya adalah tidak ada kesempatan utk bertobat. Pertobatan itu kan bisa dari dalam hati, nggak mesti harus menjalani kehidupan lagi.

Ha ha ha, bukan begitu bro.

Dulu, pada saat Kristen maih sangat berkuasa secara mutlak di Eropa, sedikit saja orang dituduh sebagai penyihir, atau menggunakan ilmu sihir, walau mungkin untuk pengobatan atau apalah, maka orang itu dihukum mati, entah dibakar atau diceburkan ke sungai. DDiceburkan ke sungai itu dengan badan diikat dengan batu batu.

Nah, lucunya, dikatakan jika memang ternyata si tertuduh itu bisa selamat, maka berarti memang benar dia adalah tukang sihir, sementara kalau mati, maka ternyata si tertuduh bukanlah tukang sihir. Lho, lantas kapan selamatnya seseorang setelah dituduh itu?

Saya pribadi, bukanlah seorang yang penyabar, dan kalau melihat keganasan para perampok dan pembunuh ataupun para teroris yang memakan korban ratusan orang, sungguh dada bergolak dan marah serta dendam. Dendam rasanya akan terpuaskan dengan pembalasan, darah dibayar darah, nyawa dibayar nyawa.

Tetapi itukah yang diajarkan oleh Tuhan kita? Apa yang terjadi jika para rasul Jesus sesaat setelah penyaliban, melakukan tindakan balas dendam berupa teror dengan membunuh merampok memperkosa para petinggi Bait Allah dan petinggi romawi? Bagaimana jika para pengikut Jesus saat itu menuntut pembalasan dendam?

Jika kita yang masih punya dosa dan kesalahan kepada manusia lain, merasa menghukum mati manusia lain sebagai sesuatu yang layak dilakukan, maka apa yang terjadi jika Jesus yang tidak punya salah sama sekali, tidak menyakiti satu manusiapun, menuntut pembalasan atas penyaliban yang dialamiNya?

Memang, hukum negara kita masih melaksanakan hukum mati, dan justru sebagai orang Kristen kita harus bisa berkata apa yang harus dikatakan, dan karena hukuman mati bertentangan dengan hukum kasih Kristen (bukan hanya Katolik saja), maka sebagai orang Kristen, kita harus berkata tidak pada hukuman mati, siapapun siterhukum itu dan apapun agama siterhukum itu. Karena kita percaya bahwa Tuhan kita Jesus Kristus mengasihi semua manusia.

:)

bruce wrote:

Ha ha ha, bukan begitu bro.

Dulu, pada saat Kristen maih sangat berkuasa secara mutlak di Eropa, sedikit saja orang dituduh sebagai penyihir, atau menggunakan ilmu sihir, walau mungkin untuk pengobatan atau apalah, maka orang itu dihukum mati, entah dibakar atau diceburkan ke sungai. DDiceburkan ke sungai itu dengan badan diikat dengan batu batu.

Memang, hukum negara kita masih melaksanakan hukum mati, dan justru sebagai orang Kristen kita harus bisa berkata apa yang harus dikatakan, dan karena hukuman mati bertentangan dengan hukum kasih Kristen (bukan hanya Katolik saja), maka sebagai orang Kristen, kita harus berkata tidak pada hukuman mati, siapapun siterhukum itu dan apapun agama siterhukum itu. Karena kita percaya bahwa Tuhan kita Jesus Kristus mengasihi semua manusia.

:)

Sepertinya kedua statement di atas memiliki persamaan ...
1. Hukum negara dipengaruhi hukum agama (dalam kasus di atas, penafsiran hukum agama oleh oknum yang berkuasa)
2. Hukum negara seharusnya merujuk kepada hukum agama (hukum negara harus mengakomodasi kasih yang diajarkan oleh Yesus)

Bukan begitu .. Bang?

@silancah

Ehhm bagaimana mengatakannya ya? Sebagai warga negara, kita wajib mematuhi hukum negara yang berlaku, dan sebagai umat beragama kita pun seharusnya menjalankan ajaran agama dalam kehidupan sehari hari.

Jadi, sebagai rakyat jelata, kita harus bisa menerima kalau hukuman mati masih berlaku di negara Indonesia ini, tetapi tentu kita berhak untuk menyarakan seruan agar hukuman mati dihapuskan dari Indonesia.

Kalau sebagai orang yang berwenang (hakim) menentukan hukuman seorang tertuduh, maka sebagai orang Kristen, seharusnya menghindari hukuman mati, karena toh ada hukuman berat lain selain hukuman mati, hukuman seumur hidup misalnya.

Begitu kira kira yang bisa saya sampaikan kang.

Salam

Setelah merenungkan dengan singkat, ingin komen menaggapi judul trit.

Mengapa hukum mati harus dihapuskan, karena menurut saya, terkandung kelancangan pada pelaksanaan hukum mati. Wong negara tidak pernah memberi kehidupan kepada warganya, kok malah mencabut kehidupan? Jangankan memberi kehidupan, menyediakan sarana untuk dapat hidup (misalnya pekerjaan) pun negara tidak becus. Kayaknya tidak ada negara di dunia ini yang tidak mempunyai warga penganggur.

Nah, saya sepakat kalau hukum mati dihapuskan.

Hanya saja, disisi lain, saya sungguh-sungguh berupaya konsisten, ingin memberikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Dalam kasus hukum mati, ternyata negeri ini masih menganut hukuman mati. Jadi, selama hukum mati masih diberlakukan oeh negara, aya akan manut, dengan harapan bahwa kedepannya, para wakil rakyat hendaknya meninjau lagi hukum mati itu.

bruce wrote:

Kalau sebagai orang yang berwenang (hakim) menentukan hukuman seorang tertuduh, maka sebagai orang Kristen, seharusnya menghindari hukuman mati, karena toh ada hukuman berat lain selain hukuman mati, hukuman seumur hidup misalnya.

Begitu kira kira yang bisa saya sampaikan kang.

Salam

Bagaimana jika dgn menghindari hukuman mati, berarti kita melanggar hukum negara ?

Ini kira2 sama dgn mendahulukan aturan agama drpd aturan negara.

Kurang lebih sama dgn pandangan Kang Lancah sbg muslim. Ini jg yg membuat Kang Lancah ogah jadi hakim :) .

Djo wrote:

bruce wrote:

Kalau sebagai orang yang berwenang (hakim) menentukan hukuman seorang tertuduh, maka sebagai orang Kristen, seharusnya menghindari hukuman mati, karena toh ada hukuman berat lain selain hukuman mati, hukuman seumur hidup misalnya.

Begitu kira kira yang bisa saya sampaikan kang.

Salam

Bagaimana jika dgn menghindari hukuman mati, berarti kita melanggar hukum negara ?

Ini kira2 sama dgn mendahulukan aturan agama drpd aturan negara.

Kurang lebih sama dgn pandangan Kang Lancah sbg muslim. Ini jg yg membuat Kang Lancah ogah jadi hakim :) .

Maksud anda gimana. bro?

Katolik dimanapun pasti menolak hukuman mati.
Kalau negara menerapkannya, paling bisa demonstrasi damai, itu yang biasa dilakukan.
Kalau jadi hakim? Hakim kan ngga sendiri, biasanya bertiga, maka kalau keputusan mayoritas hakim adalah hukuman mati, ya jalankan, cuma keputusannya pasti dengan tidak bulat.

Bagi yg keluarganya ada yg jadi korban pembunuhan, pasti tdk menginginkan kalau hukuman mati ditiadakan, malah kalau bisa mereka yg malakukan eksekusi bagi sang pembunuh.

SAYA sangat tidak setuju kalau hukuman mati dihapuskan, karena saya berharap para KORUPTOR itu dihukum mati, kalu perlu digantung, jangan disuntik, keenakan matinya.

striker wrote:

Bagi yg keluarganya ada yg jadi korban pembunuhan, pasti tdk menginginkan kalau hukuman mati ditiadakan, malah kalau bisa mereka yg malakukan eksekusi bagi sang pembunuh.

SAYA sangat tidak setuju kalau hukuman mati dihapuskan, karena saya berharap para KORUPTOR itu dihukum mati, kalu perlu digantung, jangan disuntik, keenakan matinya.

Salah besar.

Ada kejadian beberapa tahun lalu, seorang janda tua memiliki seorang anak perempuan yang bekerja. Setiap si anak bekerja, si wanita tua ini hanya sendiri di rumah. Suatu kali, ketika si anak pulang kerja, dijumpainya si ibu sudah tergeletak dengan kepala bersimbah darah. Polisi mengusut pebunuhan plus perampoka. Penyelidikan akhirnya membawa kepada seorang tukang bangunan yang beberapa kali dipekerjakan untuk memperbaiki rumah wanita tua itu. Rupanya setelah cukup mengenal dan mengetahui situasinya, si tukang bangunan ini datang dan merampok, serta membunuh karena takut ketahuan.

Sang anak, ketika mengetahui bahwa pelakunya justru orang yang selama ini mereka percayai dan banyak ditolong, begitu marah, dan ingin mendatangi kantor polisi untuk mencaci maki dan mengutuk si pelaku.

Tetapi kesadaran lain membawa si anak berdoa, dan menyadari bahwa apa yang ingin dilakukannya bukanlah perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama Kristen yang dianutnya. Jadi, dengan tenang ketika akhirnya ketemu dengan sang tertuduh, dia menghampiri dan berkata dengan lembut, 'apa yang anda perbuat kepada ibu saya, sudah saya maafkan'


Peristiwa lain yang pasti anda pernah dengar atau baca.

Pada suatu audiensi Paus Johanes Paulus II, ditembak empat kali oleh Mehmed Ali Agca. Dengan akibat Paus berada dalam kondisi sangat kritis. Belakangan akibat dari penembakan itu membuat Paus yang sangat luar biasa ini menderita parkinson.

Ketika sudah pulih dari luka lukanya, Paus langsung mengajukan pengampunan kepada sang pembunuh itu. Dan Paus secara luar biasa justru datang ke penjara tempat Mehmed Ali Agca ditahan. Di dalam sel, mereka bicara berdua, dan terlihat begitu akrab, bahkan Mehmed sempat berdoa bersama Paus. Dan Mehmed kemudian dideportasi ke Turki (negaranya) serta dibebaskan pada tahun 2010.


Dua kisah di atas membuktikan, bahwa kalau ada Kasih dalam hati kita, maka tidak ada dendam yang tersisa.

Salam

bruce wrote:

Djo wrote:

bruce wrote:

Kalau sebagai orang yang berwenang (hakim) menentukan hukuman seorang tertuduh, maka sebagai orang Kristen, seharusnya menghindari hukuman mati, karena toh ada hukuman berat lain selain hukuman mati, hukuman seumur hidup misalnya.

Begitu kira kira yang bisa saya sampaikan kang.

Salam

Bagaimana jika dgn menghindari hukuman mati, berarti kita melanggar hukum negara ?

Ini kira2 sama dgn mendahulukan aturan agama drpd aturan negara.

Kurang lebih sama dgn pandangan Kang Lancah sbg muslim. Ini jg yg membuat Kang Lancah ogah jadi hakim :) .

Maksud anda gimana. bro?

Katolik dimanapun pasti menolak hukuman mati.
Kalau negara menerapkannya, paling bisa demonstrasi damai, itu yang biasa dilakukan.
Kalau jadi hakim? Hakim kan ngga sendiri, biasanya bertiga, maka kalau keputusan mayoritas hakim adalah hukuman mati, ya jalankan, cuma keputusannya pasti dengan tidak bulat.

Maksudnya begini om.

Misalkan ada perbuatan yg secara hukum KUHP Indonesia harus diganjar dengan hukuman mati. Tapi sang hakim menolak utk menjatuhkan hukuman mati karena itu bertentangan dgn iman yg dianutnya (katolik). Dia menghindari menghukum mati tersangka dan akhirnya menghukum tersangka dgn hukuman yg tdk sesuai dgn KUHP (yaitu hukuman mati).

Dengan kata lain sang hakim mendahulukan aturan agama ketimbang aturan positif negara. Dan ini sama dgn pandangan rekan2 muslim di LTB.

Quote :

Maksudnya begini om.

Misalkan ada perbuatan yg secara hukum KUHP Indonesia harus diganjar dengan hukuman mati. Tapi sang hakim menolak utk menjatuhkan hukuman mati karena itu bertentangan dgn iman yg dianutnya (katolik). Dia menghindari menghukum mati tersangka dan akhirnya menghukum tersangka dgn hukuman yg tdk sesuai dgn KUHP (yaitu hukuman mati).

Dengan kata lain sang hakim mendahulukan aturan agama ketimbang aturan positif negara. Dan ini sama dgn pandangan rekan2 muslim di LTB.

Apakah anda membaca reply reply saya di atas, bro?

Pengadilan di Indonesia tidak semudah itu, hakim tidak bisa menghukum mati seseorang. Yang bisa dilakukan hakim adalah mengadili. Jika tuntutan dari JPU adalah hukuman 20 tahun, maka hakim hanya menjatuhkan vonis maksimal 20 tahun, walau biasanya kurang dari tuntutan JPU, karena ada pembelaan dari pengacara.

Dalam mengambil keputusanpun, hakim tidak sendirian, melainkan (biasanya) bertiga, dan diambil keputusan dari suara terbanyak.

Maka, jika ada penyelundup narkoba, dimana jumlah tertentu akan mengantarnya pada hukuman mati, maka tergantung berapa jauh si JPU mengajukan tuntutan. Sebutlah JPU menuntut hukuman mati. Dengan pembelaan dan sidang sidang, maka hakim (3 orang) akan berembug, hukuman apa yang akan dijatuhkan, jika ada dua orang yang menyatakan hukuman mati, maka hukuman mati akan divonis, sementara kalau ada dua orang yang menolak, maka keputusannya pasti bukan hukuman mati (dibawah hukuman mati adalah hukuman seumur hidup, atau 30 tahun).

Maka, kalau anda (misalkan) Katolik dan menolak hukuman mati, saat bermbug, anda harusya akan mengambil keputusan untuk hukuman dibawah hukuman mati (seumur hidup atau 20 tahun). Jika anda kalah suara, anda tetap wajib menerima, karena bukan keputusan anda pribadi yang diambil.

Begitu kira kira sistem hukum yang berlaku (dan bermain) di Indonesia. SSetelah itu, pasti anda tahu ada proses banding ke pengadilan tinggi (sebagai hakim pengadilan negeri) anda tidak lagi dilibatkan, tetapi hakim pengadilan tinggi yang menyidangkan.

Setelah itu, hika terpidana tidak puas, bisa mengajukan kasasi, ke Mahkamah Agung, dimana dalam Mahkamah Agung, tidak lagi didengarkan kesaksian atau bukti bukti apapun, juga tidak ada perdebatan dalam sidang. Yang bersidang hanya para hakim agung, jumlahnya biasanya ganjil 5 - 9 orang. Keputusan diambil bisa secara aklamasi ataupun secara dissenting opinion, berarti ada hakim aung yang tidak setuju. Maka jadilah keputusan yang berketetapan hukum.

Setelah itu, terpidana masih bisa mengajukan PK (peninjauan kembali) ke MA, sebenarnya jika ada novum, bukti baru (biasanya yang meringankan) dari pihak terpidana. Walau pada kenyataannya, tanpa novum pun, apapun bisa diajukan sebagai novum.

Begitu kira kira prosesnya perjalanan hukum di Indonesia ini. Maka, jika sebagai hakim tetapi anda bertekad menolak hukuman mati, selama hukum di Indonesia masih melegalkan hukuman mati, jujur saja, tidak banyak yang bisa anda perbuat. Yang bisa anda lakukan adalah mengajukan usulan agar DPR merubah UU tentang hukuman mati.

Syalom

bruce wrote:

striker wrote:

Bagi yg keluarganya ada yg jadi korban pembunuhan, pasti tdk menginginkan kalau hukuman mati ditiadakan, malah kalau bisa mereka yg malakukan eksekusi bagi sang pembunuh.

SAYA sangat tidak setuju kalau hukuman mati dihapuskan, karena saya berharap para KORUPTOR itu dihukum mati, kalu perlu digantung, jangan disuntik, keenakan matinya.

Salah besar.

Ada kejadian beberapa tahun lalu, seorang janda tua memiliki seorang anak perempuan yang bekerja. Setiap si anak bekerja, si wanita tua ini hanya sendiri di rumah. Suatu kali, ketika si anak pulang kerja, dijumpainya si ibu sudah tergeletak dengan kepala bersimbah darah. Polisi mengusut pebunuhan plus perampoka. Penyelidikan akhirnya membawa kepada seorang tukang bangunan yang beberapa kali dipekerjakan untuk memperbaiki rumah wanita tua itu. Rupanya setelah cukup mengenal dan mengetahui situasinya, si tukang bangunan ini datang dan merampok, serta membunuh karena takut ketahuan.

Sang anak, ketika mengetahui bahwa pelakunya justru orang yang selama ini mereka percayai dan banyak ditolong, begitu marah, dan ingin mendatangi kantor polisi untuk mencaci maki dan mengutuk si pelaku.

Tetapi kesadaran lain membawa si anak berdoa, dan menyadari bahwa apa yang ingin dilakukannya bukanlah perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama Kristen yang dianutnya. Jadi, dengan tenang ketika akhirnya ketemu dengan sang tertuduh, dia menghampiri dan berkata dengan lembut, 'apa yang anda perbuat kepada ibu saya, sudah saya maafkan'


Peristiwa lain yang pasti anda pernah dengar atau baca.

Pada suatu audiensi Paus Johanes Paulus II, ditembak empat kali oleh Mehmed Ali Agca. Dengan akibat Paus berada dalam kondisi sangat kritis. Belakangan akibat dari penembakan itu membuat Paus yang sangat luar biasa ini menderita parkinson.

Ketika sudah pulih dari luka lukanya, Paus langsung mengajukan pengampunan kepada sang pembunuh itu. Dan Paus secara luar biasa justru datang ke penjara tempat Mehmed Ali Agca ditahan. Di dalam sel, mereka bicara berdua, dan terlihat begitu akrab, bahkan Mehmed sempat berdoa bersama Paus. Dan Mehmed kemudian dideportasi ke Turki (negaranya) serta dibebaskan pada tahun 2010.


Dua kisah di atas membuktikan, bahwa kalau ada Kasih dalam hati kita, maka tidak ada dendam yang tersisa.

Salam

hanya 1 dari 1 juta llebih orang yg bisa berbuat demikian mas, dan mungkin yg 1 itupun sdh lama mati.. :)

Mungkin dengan adanya cerita2 tersebut, ada baiknya kita mengampuni para koruptor juga ya mas? biar terlihat ada kasih dlm hati kita semua.

striker wrote:

bruce wrote:

Salah besar.

Ada kejadian beberapa tahun lalu, seorang janda tua memiliki seorang anak perempuan yang bekerja. Setiap si anak bekerja, si wanita tua ini hanya sendiri di rumah. Suatu kali, ketika si anak pulang kerja, dijumpainya si ibu sudah tergeletak dengan kepala bersimbah darah. Polisi mengusut pebunuhan plus perampoka. Penyelidikan akhirnya membawa kepada seorang tukang bangunan yang beberapa kali dipekerjakan untuk memperbaiki rumah wanita tua itu. Rupanya setelah cukup mengenal dan mengetahui situasinya, si tukang bangunan ini datang dan merampok, serta membunuh karena takut ketahuan.

Sang anak, ketika mengetahui bahwa pelakunya justru orang yang selama ini mereka percayai dan banyak ditolong, begitu marah, dan ingin mendatangi kantor polisi untuk mencaci maki dan mengutuk si pelaku.

Tetapi kesadaran lain membawa si anak berdoa, dan menyadari bahwa apa yang ingin dilakukannya bukanlah perbuatan yang sesuai dengan ajaran agama Kristen yang dianutnya. Jadi, dengan tenang ketika akhirnya ketemu dengan sang tertuduh, dia menghampiri dan berkata dengan lembut, 'apa yang anda perbuat kepada ibu saya, sudah saya maafkan'


Peristiwa lain yang pasti anda pernah dengar atau baca.

Pada suatu audiensi Paus Johanes Paulus II, ditembak empat kali oleh Mehmed Ali Agca. Dengan akibat Paus berada dalam kondisi sangat kritis. Belakangan akibat dari penembakan itu membuat Paus yang sangat luar biasa ini menderita parkinson.

Ketika sudah pulih dari luka lukanya, Paus langsung mengajukan pengampunan kepada sang pembunuh itu. Dan Paus secara luar biasa justru datang ke penjara tempat Mehmed Ali Agca ditahan. Di dalam sel, mereka bicara berdua, dan terlihat begitu akrab, bahkan Mehmed sempat berdoa bersama Paus. Dan Mehmed kemudian dideportasi ke Turki (negaranya) serta dibebaskan pada tahun 2010.


Dua kisah di atas membuktikan, bahwa kalau ada Kasih dalam hati kita, maka tidak ada dendam yang tersisa.

Salam

hanya 1 dari 1 juta llebih orang yg bisa berbuat demikian mas, dan mungkin yg 1 itupun sdh lama mati.. :)

Sulit bukan berarti tidak mungkin terjadi.
Kalau manusia tidak dapat melakukannya, maka dengan pertolongan Tuhan tidak ada yang tidak mungkin.
Selama manusia tersebut tidak bersandar pada DIRInya, dan menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada TUHAN.

(nb. kalau 1:1 juta maka di Indonesia saja sudah ada 200an orang dong : D )



Salam Damai

@striker

Quote :

hanya 1 dari 1 juta llebih orang yg bisa berbuat demikian mas, dan mungkin yg 1 itupun sdh lama mati..

Mungkin dengan adanya cerita2 tersebut, ada baiknya kita mengampuni para koruptor juga ya mas? biar terlihat ada kasih dlm hati kita semua.

Memaafkan dan tidak mendendam bukan berarti hukuman dihapuskan lho, mas.
Hukuman tetap berlaku, sesuai dengan yang ditetapkan pengadilan, tetapi kita (korban) tidak menyimpan dendam di dalam hati.

Itu jauh lebih mulia.

bruce wrote:

Quote :

Maksudnya begini om.

Misalkan ada perbuatan yg secara hukum KUHP Indonesia harus diganjar dengan hukuman mati. Tapi sang hakim menolak utk menjatuhkan hukuman mati karena itu bertentangan dgn iman yg dianutnya (katolik). Dia menghindari menghukum mati tersangka dan akhirnya menghukum tersangka dgn hukuman yg tdk sesuai dgn KUHP (yaitu hukuman mati).

Dengan kata lain sang hakim mendahulukan aturan agama ketimbang aturan positif negara. Dan ini sama dgn pandangan rekan2 muslim di LTB.

Apakah anda membaca reply reply saya di atas, bro?

Pengadilan di Indonesia tidak semudah itu, hakim tidak bisa menghukum mati seseorang. Yang bisa dilakukan hakim adalah mengadili. Jika tuntutan dari JPU adalah hukuman 20 tahun, maka hakim hanya menjatuhkan vonis maksimal 20 tahun, walau biasanya kurang dari tuntutan JPU, karena ada pembelaan dari pengacara.

Dalam mengambil keputusanpun, hakim tidak sendirian, melainkan (biasanya) bertiga, dan diambil keputusan dari suara terbanyak.

Maka, jika ada penyelundup narkoba, dimana jumlah tertentu akan mengantarnya pada hukuman mati, maka tergantung berapa jauh si JPU mengajukan tuntutan. Sebutlah JPU menuntut hukuman mati. Dengan pembelaan dan sidang sidang, maka hakim (3 orang) akan berembug, hukuman apa yang akan dijatuhkan, jika ada dua orang yang menyatakan hukuman mati, maka hukuman mati akan divonis, sementara kalau ada dua orang yang menolak, maka keputusannya pasti bukan hukuman mati (dibawah hukuman mati adalah hukuman seumur hidup, atau 30 tahun).

Maka, kalau anda (misalkan) Katolik dan menolak hukuman mati, saat bermbug, anda harusya akan mengambil keputusan untuk hukuman dibawah hukuman mati (seumur hidup atau 20 tahun). Jika anda kalah suara, anda tetap wajib menerima, karena bukan keputusan anda pribadi yang diambil.

Begitu kira kira sistem hukum yang berlaku (dan bermain) di Indonesia. SSetelah itu, pasti anda tahu ada proses banding ke pengadilan tinggi (sebagai hakim pengadilan negeri) anda tidak lagi dilibatkan, tetapi hakim pengadilan tinggi yang menyidangkan.

Setelah itu, hika terpidana tidak puas, bisa mengajukan kasasi, ke Mahkamah Agung, dimana dalam Mahkamah Agung, tidak lagi didengarkan kesaksian atau bukti bukti apapun, juga tidak ada perdebatan dalam sidang. Yang bersidang hanya para hakim agung, jumlahnya biasanya ganjil 5 - 9 orang. Keputusan diambil bisa secara aklamasi ataupun secara dissenting opinion, berarti ada hakim aung yang tidak setuju. Maka jadilah keputusan yang berketetapan hukum.

Setelah itu, terpidana masih bisa mengajukan PK (peninjauan kembali) ke MA, sebenarnya jika ada novum, bukti baru (biasanya yang meringankan) dari pihak terpidana. Walau pada kenyataannya, tanpa novum pun, apapun bisa diajukan sebagai novum.

Begitu kira kira prosesnya perjalanan hukum di Indonesia ini. Maka, jika sebagai hakim tetapi anda bertekad menolak hukuman mati, selama hukum di Indonesia masih melegalkan hukuman mati, jujur saja, tidak banyak yang bisa anda perbuat. Yang bisa anda lakukan adalah mengajukan usulan agar DPR merubah UU tentang hukuman mati.

Syalom

Saya paham maksud om Bruce. Tapi Bukan aplikasinya yg kita bahas om, melainkan esensi dari keputusan hakim tsb. Terlepas dari apapun hasil putusan bersama majelis hakimnya nanti (huk. mati, seumur hidup, atau 20 thn), hakim tsb telah mendahului aturan agama, padahal dia tahu pasti dan sadar penuh bahwa dgn memberi hukuman 20thn misalnya, ia telah melanggar KUHP/aturan negara.

Jadi, walaupun hakim tsb hanya mengusulkan saja hukuman 20thn (karena keputusan harus bersama), maka sebenarnya ia telah melanggar KUHP, karena bukan hukuman tsb sebenarnya yg sesuai dgn kejahatan tersangka.