Bahwa ‘rasul- rasul palsu’ yang disebutkan oleh Rasul Paulus itu jelas bukan Rasul Petrus maupun kesebelas rasul lainnya. Terhadap keduabelas rasul itu, Rasul Paulus memberikan penghormatan, dengan menyebut mereka sebagai “rasul- rasul yang tidak ada taranya” (2 Kor 11: 5), atau “rasul- rasul yang luar biasa itu” (lih. 2 Kor 12:11). Maka rasul- rasul palsu yang dimaksud Paulus adalah para pengajar yang mengajarkan Injil yang lain daripada Injil yang diberitakan olehnya (lih. 2 Kor 11:4). Keberadaan para pengajar yang mengajarkan Injil yang lain ini juga disebutkan dalam suratnya kepada jemaat di Galatia (lih. Gal 1:6). Rasul Paulus menyebutkan secara lebih rinci ciri- ciri para pengajar/ rasul palsu itu dalam suratnya kepada jemaat di Roma demikian:
“Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, supaya kamu waspada terhadap mereka [para pengajar/ rasul palsu], yang bertentangan dengan pengajaran yang telah kamu terima, menimbulkan perpecahan dan godaan. Sebab itu hindarilah mereka! Sebab orang-orang demikian tidak melayani Kristus, Tuhan kita, tetapi melayani perut mereka sendiri. Dan dengan kata-kata mereka yang muluk-muluk dan bahasa mereka yang manis mereka menipu orang-orang yang tulus hatinya. Kabar tentang ketaatanmu telah terdengar oleh semua orang. Sebab itu aku bersukacita tentang kamu. Tetapi aku ingin supaya kamu bijaksana terhadap apa yang baik, dan bersih terhadap apa yang jahat.” (Rom 16:17-20)
Rasul Yohanes-pun menyebutkan adanya pengajar/ nabi- nabi palsu, yaitu mereka yang tidak mengakui bahwa Yesus berasal dari Allah, dan mereka itu berkhotbah dengan membicarakan hal- hal duniawi (lih. 1 Yoh 4:3-4). Maka di kalangan jemaat abad awal sudah ada para pengajar sesat Docetism dan Gnosticsm, yang mengajarkan bahwa Kristus yang tersalib itu bukan sungguh- sungguh Kristus melainkan hanya bayangan (ilusi/ phantom) saja yang dilihat orang menyerupai seperti Kristus. Mereka tidak bisa menerima bahwa jika Kristus sungguh dari Allah, maka Ia harus menderita sedemikian hebatnya dan wafat sebagai terhukum. Dengan demikian para pengajar sesat itu menentang penderitaan, dan mereka mengajarkan Kristus yang lain daripada yang diajarkan oleh para rasul. Ajaran sesat ini ditentang oleh para rasul yang asli, termasuk Rasul Petrus, Yohanes dan Paulus. Rasul Paulus berkali- kali mengajarkan bahwa Kristus sungguh wafat, sebab kebangkitan-Nya itu hanya mungkin terjadi setelah Ia wafat:
“….tetapi kami memberitakan Kristus yang disalibkan: untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi, maupun orang bukan Yahudi, Kristus adalah kekuatan Allah dan hikmat Allah.” (1 Kor 1:23-24)
“Sebab aku telah memutuskan untuk tidak mengetahui apa-apa di antara kamu selain Yesus Kristus, yaitu Dia yang disalibkan.” (1 Kor 2:2)
“Hai orang-orang Galatia yang bodoh, siapakah yang telah mempesona kamu? Bukankah Yesus Kristus yang disalibkan itu telah dilukiskan dengan terang di depanmu? (Gal 3:1)
Hal ini sejalan dengan pengajaran Kristus sendiri yang telah berkali- kali memberitahukan kepada para murid-Nya bahwa Ia akan disalibkan dan akan bangkit pada hari ketiga (lih. Mat 20:19; Luk 24:7). Maka salah satu ciri otentik seorang rasul adalah jika ia turut menderita bersama Kristus untuk mewartakan Injil demi memenangkan jiwa- jiwa; dan hal- hal inilah yang disampaikan oleh Rasul Paulus dalam suratnya di Korintus dalam perikop 2 Kor 11 tersebut (lih. ay. 23-33), seperti: disesah, didera, dilempari batu, terkatung- katung di laut, diancam bahaya banjir, bahaya penyamun, tidak tidur, lapar dan haus, kedinginan, dst. Penderitaan ini dianggapnya sebagai salib yang harus dipikulnya sebagai pengikut Kristus, sebagaimana diajarkan oleh-Nya (lih. Luk 9:23)
Para rasul tidak takut menderita dalam mewartakan Injil, sebab mereka melihat penderitaan mereka sebagai partisipasi dalam penderitaan Kristus (lih. Kol 1:24), yang sudah terlebih dahulu menderita dan menyerahkan nyawa-Nya bagi mereka. Rasul Petrus juga kurang lebih mengajarkan hal yang sama, yaitu bahwa penderitaan tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan seorang Kristen. Dalam suratnya, Rasul Petrus mengajarkan agar jemaat melihat penderitaan Kristus sebagai teladan, agar mereka tidak takut menderita untuk berbuat baik (lih. 1 Pet 2:18); agar mereka sanggup menderita dengan sabar (1Pet 3:13-22); agar mereka tidak takut menderita untuk menghindari dosa, hidup sebagai seorang Kristen, dan tidak takut menderita sebagai seorang Kristen (lih. 1Pet 4:1-19). Selanjutnya, Rasul Petrus juga memperingatkan jemaat akan adanya nabi- nabi dan guru-guru yang palsu, yang hidup berfoya- foya dan menyukai kenikmatan dunia. Mereka itu telah mengenal Jalan Kebenaran [Kristus] dan melepaskan diri dari kecemaran dunia, namun kemudian terlibat lagi di dalamnya, sehingga keadaannya menjadi lebih buruk daripada sebelumnya, seperti perumpamaan, “Anjing kembali ke muntahnya, dan babi yang mandi kembali lagi ke kubangannya.” (lih. 2Pet 2:22).
Maka jelas di sini bahwa baik Rasul Paulus maupun Rasul Petrus mengecam nabi- nabi palsu itu, dan nabi- nabi palsu itu bukan berasal dari kedua belas rasul.
Menurut penjelasan The Navarre Bible, di 2 Kor 11:1- 12:18, Rasul Paulus menyampaikan kepada jemaat di Korintus semacam justifikasi atas tingkah lakunya sebagai seorang rasul Kristus. Untuk hal ini ia berkali- kali minta maaf (lih. 2 Kor 11:1, 16-18, 21,23; 2 Kor 12: 1,6,11); tetapi ia merasa perlu untuk menjelaskan kepada mereka semua, untuk menanggapi serangan para penentangnya. Maka kepada jemaat di Korintus, Rasul Paulus mengisahkan segala penderitaan yang dialaminya sebagai seorang rasul Kristus [seperti yang juga dialami oleh keduabelas rasul lainnya] (ay. 23-27; 30-33) [dengan demikian menggenapi apa yang diwahyukan oleh Nabi Ananias tentang dia (lih. Kis 9:16)]. Penderitaan Rasul Paulus itu dibarengi juga oleh pewahyuan Allah yang ajaib kepadanya; sehingga jemaat dapat menyadari tentang siapa rasul ini yang telah berkhotbah di tengah- tengah mereka; dan membandingkan antara mandat yang diterimanya dengan apa yang diklaim oleh para penentangnya tersebut.
Selanjutnya perikop ini mengisahkan tentang semangat Rasul Paulus untuk menyelamatkan jiwa- jiwa. Ia mempersembahkan hidupnya untuk jiwa- jiwa tersebut, tanpa mencari pujian manusia (lih. 2Kor 12:15). Ia memulai perikop ini dengan memohon maaf jika ia kelihatannya terdengar seperti sedang memegahkan diri, dan ia menyebutnya sebagai ‘kebodohanku’, namun ia terus melanjutkannya, yaitu bahwa ia tidak mempunyai motif duniawi sedikitpun dengan khotbahnya di Korintus (2 Kor 11:7-15). Sekali lagi ia minta maaf atas ‘kebodohan’nya itu (ay. 16-21) dan menyebutkan alasan lain yang mendukung klaimnya sebagai pelayan Kristus, yaitu bahwa ia telah menderita dalam tugas pewartaan Injil (lih. ay. 22-33) dan bagaimana Tuhan telah memberikan karunia penglihatan kepadanya (lih, 2 Kor 12:1-10). Akhirnya di 2Kor 12:11-18, Rasul Paulus sekali lagi meminta maaf atas kebodohannya itu.