Beberapa point penting yang ditetapkan oleh Konsili Trente (1545-1563)
Konsili Trente (1545-1563) adalah Konsili para Uskup yang diadakan dengan tujuan utama memberikan ketetapan definisi ajaran Gereja Katolik, untuk menanggapi ajaran-ajaran yang menyimpang yang terjadi pada masa itu yang dipelopori oleh Martin Luther, dan tujuan selanjutnya adalah untuk menetapkan reformasi yang menyeluruh dalam kehidupan di dalam Gereja dengan penetapan dekrit untuk membuang bermacam bentuk pelanggaran. Keseluruhan teksnya dapat dibaca di link ini, silakan klik.
Selain meneguhkan kembali Kanon Kitab Suci yang terdiri dari 73 Kitab (46 kitab Perjanjian Lama dan 27 kitab Perjanjian Baru sebagaimana telah ditetapkan sejak tahun 382), Gereja Katolik menetapkan definisi ajaran-ajaran pokok yang penting lainnya, antara lain:
1) Tentang Justifikasi (Pembenaran)Konsili Trente menetapkan ajaran tentang justifikasi untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa justifikasi diperoleh hanya karena iman saja (Salvation by faith alone/ sola fide), di mana iman dipisahkan dari perbuatan kasih. Konsili menekankan bahwa iman yang menyelamatkan tidak terpisahkan dari kasih karunia dan perbuatan kasih (lih. Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, lih. Kanon 7 dan 11; Denz 821).
Ajaran ini adalah untuk menanggapi ajaran Luther yang mengajarkan bahwa seseorang diselamatkan hanya oleh iman saja, walaupun tanpa pertobatan dan perbuatan baik, sebagaimana diajarkan kepada muridnya Melancthon, “…Be a sinner, and let your sins be strong, but let your trust in Christ be stronger…. No sin can separate us from Him, even if we were to kill or commit adultery thousands of times each day…” (suratnya kepada Melancthon tanggal August 1, 1521, (translated by Erika Bullmann Flores for Project Wittenberg); online at
[You must be registered and logged in to see this link.] , lihat nomor 13)
Di sini terlihat adanya perbedaan mendasar antara ajaran Luther dengan ajaran Gereja Katolik, yaitu bahwa menurut Luther keselamatan manusia diperoleh hanya karena karya Kristus saja tanpa melibatkan manusia, sedangkan menurut Gereja Katolik, keselamatan manusia diperoleh karena kasih Allah yang disambut oleh manusia yang mau bekerja sama dengan-Nya dalam karya keselamatan-Nya itu, yang ditunjukkan dengan pertobatan, Baptisan, dan perbuatan baik dengan melaksanakan perintah Tuhan.
Demikianlah Konsili Trente mengajarkan:
“Mereka yang telah mempunyai sikap batin (disposisi) terhadap keadilan, ketika bangkit dan dibantu oleh rahmat ilahi, menerima iman melalui pendengaran, mereka digerakkan secara bebas kepada Tuhan, percaya bahwa apa yang telah dijanjikan dan diwahyukan secara ilahi, secara khusus bahwa pendosa dibenarkan oleh Tuhan melalui rahmat-Nya, melalui penebusan yang ada di dalam Kristus Yesus; dan ketika memahami dirinya sebagai pendosa, mereka, dengan berbalik dari ketakutan akan keadilan ilahi…, kepada belas kasihan Tuhan, dibangkitkan kepada pengharapan, percaya bahwa Tuhan akan mengampuni mereka demi Kristus; dan mereka mulai mengasihi Dia sebagai mata air segala keadilan, dan karena itu mereka menolak dosa dengan kebencian dan kejijikan, yaitu dengan pertobatan yang harus mereka lakukan sebelum Baptisan, dan akhirnya ketika mereka memutuskan untuk menerima Baptisan, untuk memulai kehidupan baru dan memelihara perintah-perintah Tuhan.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, bab 6)
Disposisi ini atau persiapan ini diikuti oleh justifikasi itu sendiri, yang bukan hanya adalah penghapusan dosa, tetapi juga pengudusan dan pembaharuan manusia dari dalam melalui penerimaan karunia Allah yang cuma-cuma dan karena itu seorang yang tidak benar menjadi benar; dan dari musuh menjadi sahabat; bahwa ia akan menjadi ahli waris bagi pengharapan akan hidup kekal.
Penyebab-penyebab justifikasi ini adalah:
Penyebab yang final (final cause) adalah kemuliaan dari Tuhan dan dari Kristus dan kehidupan kekal; Penyebab yang menghasilkannya (efficient cause) adalah Tuhan yang berbelas kasih yang membasuh dan menguduskan dengan Roh Kudus…., penyebab yang berjasa (meritorious cause) adalah … Tuhan Yesus Kristus,… yang memperoleh bagi kita justifikasi dengan Sengsara yang kudus di kayu salib …; penyebab yang menjadi sarananya (instrument cause) adalah sakramen Baptis, yang adalah sakramen iman, … penyebab resmi (formal cause) yang satu-satunya adalah keadilan Allah, …yang dengannya Ia membuat kita benar, bahwa yang dengannya kita dikaruniai olehnya, diperbaharui di dalam jiwa dan pikiran dan tidak hanya disebut ['benar'], namun kita sungguh benar, dengan menerima keadilan di dalam kita, setiap orang sesuai dengan ukurannya, yang dibagikan oleh Roh Kudus kepada setiap orang seturut kehendak-Nya, dan menurut sikap batin dan kerjasamanya.
Sebab meskipun tak seorangpun dapat menjadi benar kecuali ia yang menerima jasa Sengsara Tuhan Yesus Kristus, namun ini terjadi di dalam pembenaran orang berdosa itu, ketika oleh jasa Sengsara yang kudus itu, kasih Tuhan dicurahkan oleh Roh Kudus di dalam hati mereka yang dibenarkan dan tinggal di dalamnya; ketika melalui Yesus Kristus… orang itu menerima bersamaan dengan penghapusan dosa, semua ini: iman, pengharapan dan kasih, yang ditanamkan pada saat yang sama.”
“Sebab iman, kalau tidak disertai dengan pengharapan dan cinta kasih yang ditambahkan kepadanya, tidak dapat mempersatukan seseorang secara sempurna dengan Kristus, ataupun membuatnya sebagai anggota yang hidup dari tubuh-Nya. Untuk alasan ini adalah sungguh benar dikatakan bahwa “iman tanpa perbuatan adalah mati”, dan tidak ada gunanya, dan “di dalam Kristus tidak ada sunat ataupun tidak bersunat, namun, iman yang bekerja oleh kasih.”
Iman ini, sesuai dengan Tradisi apostolik, yang diminta oleh para katekumen kepada Gereja sebelum sakramen Baptis, ketika mereka mereka memohon “iman yang mengaruniakan kehidupan kekal”, yang tanpa pengharapan dan kasih iman tak dapat berdaya guna.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, bab 7)
2) Tentang iman yang membawa kepada keselamatanDari Dekrit tentang Justifikasi (lih. bab 7), Konsili Trente mengajarkan bahwa iman yang menyelamatkan adalah iman yang bekerja dalam kesatuan dalam pengharapan dan kasih. Iman ini bukan hasil kerja perbuatan manusia, tetapi karena kasih karunia ilahi melalui Yesus Kristus.
Kan. 1. “Barang siapa berkata bahwa manusia dapat dibenarkan di hadapan Tuhan oleh perbuatannya sendiri, entah dilakukannya dengan kekuatan kodratinya atau melalui ajaran hukum-hukum (taurat) tanpa karunia rahmat ilahi melalui Yesus Kristus, biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 1)
Selanjutnya, Konsili Trente juga menyampaikan ajaran untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa agar seseorang diselamatkan ia harus mempunyai keyakinan yang mutlak akan pembenaran dirinya di dalam Kristus. Menurut Luther, pembenaran diri seseorang harus menjadi artikel iman, di mana ia tak boleh ragu. Inilah disebut Luther sebagai “fiducial faith“, seseorang harus yakin bahwa ia selamat, baru ia dapat selamat. Sehingga menurut pandangannya, iman yang dimaksud di sini adalah iman diri sendiri akan keselamatan, bukannya iman akan ajaran-ajaran yang dinyatakan dengan tidak mungkin salah oleh Gereja, yaitu iman yang sesuai dengan Tradisi Apostolik. Oleh karena itu bagi Gereja Katolik, justifikasi (pembenaran) ini diberikan atas dasar iman yang sifatnya obyektif dan bukan subyektif, dan justifikasi ini adalah karunia ilahi yang diterima dalam pengharapan (sebab tak seorangpun dapat dengan yakin mengetahui bahwa dirinya tak akan jatuh dalam dosa ataupun tak akan gagal dalam mempertahankan rahmat Baptisannya sampai akhir hidupnya), dan bukan sesuatu yang dapat diklaim sendiri sebagai sesuatu yang pasti absolut diberikan kepadanya hanya karena diri sendiri yakin akan menerimanya, bahkan jika ia tidak bertobat dan tidak teguh berbuat kasih.
Konsili Trente mengajarkan:
Kan. 12. “Barang siapa berkata bahwa iman yang membenarkan, adalah tiada lain selain dari keyakinan dalam kerahiman ilahi yang menghapus dosa-dosa demi Kristus, atau bahwa keyakinan ini saja yang membuat kita dibenarkan: biarlah ia menjadi anathema “(Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 12).
Kan. 14. “Barang siapa berkata bahwa manusia diampuni dosanya dan dibenarkan, karena ia percaya dengan yakin bahwa ia diampuni dan dibenarkan, atau bahwa tak seorangpun dapat dibenarkan kecuali ia yang percaya bahwa dirinya sendiri dibenarkan; dan bahwa hanya dengan iman sedemikian, pengampunan dan pembenaran diperoleh, biarlah ia menjadi anathema” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 14).
Kan. 16. “Barang siapa berkata bahwa ia akan dapat, pasti dengan kepastian yang absolut dan tidak mungkin salah, memiliki karunia keteguhan iman (the gift of perseverance) sampai kesudahannya, kecuali ia mengetahui hal ini melalui wahyu yang khusus: biarlah ia menjadi anathema (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan. 16).
3) Tentang kehendak bebas pada manusiaKonsili Trente mengajarkan walaupun pembenaran diberikan kepada manusia karena rahmat kasih karunia Allah, namun rahmat ini tidak meniadakan kehendak bebas manusia. Memang setelah kejatuhan manusia pertama ke dalam dosa, seluruh manusia jatuh dalam dosa, namun ini tidak membuatnya rusak sedemikian rupa sampai tidak lagi mempunyai kehendak bebas dan kemampuan untuk berbuat kebaikan. Bahwa rahmat Allah-lah yang memampukan manusia berbuat kebaikan itu benar, tetapi tetap ada kerjasama dari pihak manusia. Konsili mengajarkan:
“Kan 5. Barang siapa berkata bahwa setelah dosa Adam, kehendak bebas manusia telah hilang dan rusak, atau hanya tinggal nama saja, memang seperti gelar tanpa kenyataan, sebuah fiksi, bahkan, dibawa masuk ke dalam Gereja oleh iblis: biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, kan. 5)
Ajaran ini adalah untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan, “Ia (manusia) seluruhnya rusak sehingga adalah mustahil baginya untuk melakukan perbuatan baik. Dosa adalah kodratnya; ia (manusia) tidak bisa tidak melakukannya. Manusia dapat berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi baik, namun setiap perbuatannya tidak dapat dipungkiri adalah buruk; ia berbuat dosa sesering menarik nafas.” (Commentary on the Psalms 50, Wittenberg III, p. 518. Quoted in Patrick O’ Hare, The Facts about Luther, TAN, 1987, p.99-100)
Di sini nampak Luther mengabaikan adanya perbedaan antara dosa berat (mortal sin), dosa ringan (venial sin) dan concupiscentia (kecondongan terhadap dosa). Pengabaian batasan antara ketiganya ini membuat Luther sampai pada kesimpulan ini, yang tidak sesuai dengan ajaran Gereja Katolik. Menurut Luther, setelah manusia menerima justifikasi, ia diselubungi kebenaran Kristus namun sebenarnya di balik selubung itu, ia tetap adalah pendosa yang telah seluruhnya rusak. Sedangkan menurut ajaran Gereja Katolik, seseorang yang sudah dibaptis dan karena itu menerima justifikasi, telah dihapuskan dosa-dosanya, dan dijadikan kudus oleh Allah. Namun demikian karena pengaruh dosa Adam, manusia tetap mempunyai concupiscentia (kecondongan terhadap dosa), walaupun concupiscentia ini sendiri bukan dosa. Consupiscentia tetap ada pada orang-orang yang sudah dibaptis, agar melalui perjuangannya untuk mengalahkan kecondongan ini, mereka dapat membuktikan kasihnya kepada Tuhan, dan membuat imannya menjadi hidup dan menyelamatkan.
4). Tentang Double- PredestinationDengan prinsip adanya peran kehendak bebas manusia dalam proses pembenaran manusia, Gereja Katolik tidak mengajarkan ajaran tentang double-predestination, yaitu bahwa Allah sejak awal mula, secara aktif sudah mentakdirkan sebagian umat manusia ke surga dan sebagian lagi ke neraka. Ajaran yang mengabaikan/ menolak adanya kehendak bebas manusia, akhirnya dapat sampai pada kesimpulan yang salah, bahwa pada akhirnya, dosa dan perbuatan jahat asalnya juga dari Allah. Betapa ini merupakan ajaran yang keliru.
Konsili Trente mengajarkan:
“Kan 6. Barangsiapa mengatakan bahwa adalah bukan kuasa manusia sendiri untuk berbuat jahat, melainkan bahwa Allah yang telah mengakibatkan perbuatan jahat seperti halnya perbuatan baik, tidak hanya dalam hal mengizinkannya, tetapi juga mendatangkannya dari diri-Nya sendiri, sehingga pengkhianatan Yudas tidak lain adalah karya perbuatan-Nya seperti pada penggilan kepada Rasul Paulus: biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan 6.)
“Kan 17. Barang siapa mengatakan bahwa rahmat pembenaran dibagikan hanya kepada mereka yang ditakdirkan untuk hidup, tetapi bahwa orang-orang lainnya dipanggil dan memang dipanggil untuk menerima bukan rahmat, seperti seolah mereka oleh kuasa ilahi ditakdirkan untuk menjadi jahat, biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Dekrit tentang Justifikasi, Kan 17.)
5) Tentang TransubstansiasiKonsili Trente juga meneguhkan ajaran tentang kehadiran Kristus yang nyata dalam rupa roti dan anggur dalam Ekaristi (Transubstantiation), yaitu bahwa di dalam konsekrasi, keseluruhan substansi roti dan anggur diubah menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Ajaran ini adalah untuk meluruskan ajaran Luther yang mengatakan bahwa di dalam tubuh dan darah Kristus, hadir Tuhan Yesus bersama-sama dengan substansi roti dan anggur (dikenal dengan istilah consubstantiation). Konsili juga meluruskan paham yang mengatakan bahwa Tuhan Yesus hadir di dalam sakramen hanya sebagai simbol, atau hanya hadir akibat keyakinan pribadi, atau bahwa Yesus dikurbankan secara berkali-kali.
Konsili Trente mengajarkan:
Kan. 2, [menyatakan bahwa Consubstantiation sebagai doktrin yang keliru]: “Barang siapa berkata bahwa substansi roti dan anggur tetap ada di dalam sakramen Ekaristi yang kudus, bersamaan dengan Tubuh dan Darah Yesus, dan menolak perubahan yang ajaib dan tunggal menjadi keseluruhan substansi roti menjadi Tubuh Kristus dan keseluruhan anggur menjadi Darah Yesus, dan rupa luar dari roti dan anggur saja yang tertinggal, seperti yang disebut oleh Gereja Katolik sebagai transubstansiasi: biarlah dia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Sesi 13, Kan.2)
Kan. 4, [menentang bahwa kehadiran Yesus disebabkan oleh keyakinan pribadi]: “Barang siapa berkata bahwa setelah konsekrasi Tubuh dan Darah Tuhan Yesus tidak hadir di dalam sakramen Ekaristi, tetapi hanya hadir di dalam efek sakramen pada saat itu diterima, dan tidak sebelumnya atau sesudahnya; dan bahwa Tubuh Yesus yang nyata tidak tetap tinggal dalam Hosti yang telah dikonsekrasikan, atau di dalam partikel-partikelnya yang disimpan atau ditinggalkan setelah komuni: biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Sesi 13, Kan. 4)
Kan 1: “Barangsiapa menolak bahwa di dalam sakramen Ekaristi Kudus terkandung sungguh-sungguh, benar-benar, dan secara substansial, Tubuh dan Darah, bersama dengan Jiwa dan ke-Allahan Tuhan Yesus Kristus dan karena itu keseluruhan Kristus, tetapi mengatakan bahwa Ia ada di dalamnya hanya dalam simbol, atau gambaran atau kekuatan, biarlah ia menjadi anathema.” (Konsili Trente, Sesi 13, Kan. 1)
Kan. 2 “Kurbannya adalah satu dan sama; Pribadi yang sama mempersembahkannya dengan pelayanan para imam-Nya, Ia yang mempersembahkan Diri-Nya di salib, hanya saja cara mempersembahkannya saja yang berbeda.” Maka kurban Misa adalah sama dengan kurban salib Yesus di Golgota, sebab kurban itu menyangkut Pribadi yang sama, yang dikurbankan oleh Imam Agung yang sama, yaitu Yesus Kristus, melalui pelayanan sakramental dari para imam-Nya yang ditahbiskan dan bertindak dalam nama Kristus/ ‘in persona Christi.’ (Konsili Trente, Sesi 22, Kan. 2, DS 1743)
Selanjutnya, Konsili Trente juga menetapkan adanya ketentuan pembaharuan, secara khusus, pembaharuan kehidupan religius para rohaniwan/ rohaniwati, tugas dan wewenang uskup untuk memimpin umat dalam keuskupannya, hal ordinasi para imam, hal pengaturan pemilihan Uskup dan Kardinal, ketentuan dalam kotbah/ homili, dan juga ketentuan tentang indulgensi. Khusus tentang Indulgensi, Konsili meneguhkan kembali ajaran tersebut, hanya saja mengingatkan para Uskup agar dapat menghilangkan apapun bentuk penyimpangan dalam hal pelaksanaannya.
Demikian sekilas terjemahannya:
“Karena kuasa memberikan indulgensi disampaikan oleh Kristus kepada Gereja, dan Gereja bahkan sedari awal menggunakan kuasa yang diberikan kepadanya secara ilahi, maka Konsili kudus mengajarkan dan memerintahkan bahwa penggunaan indulgensi, yang sangat berguna bagi umat Kristiani dan disetujui oleh otoritas konsili-konsili kudus, adalah untuk dipertahankan di dalam Gereja, dan otoritas tersebut menyatakan anathema, kepada mereka yang menyatakan bahwa indulgensi tidak ada gunanya ataupun menolak bahwa Gereja memiliki kuasa untuk memberikannya. Bagaimanapun, dengan memberikan indulgensi, otoritas Gereja menghendaki bahwa sesuai dengan kebiasaan kuno dan yang disetujui dalam Gereja, kelayakan/ moderasi diterapkan, jika tidak, disiplin gerejawi dengan begitu besar telah diperlemah. Tetapi dengan menghendaki adanya perbaikan, bahwa penyimpangan yang terkait dengan hal-hal itu yang karenanya istilah besar indulgensi telah dihujat oleh para heretik, otoritas konsili menetapkan secara umum dengan dekrit ini bahwa semua kejahatan yang simpang siur di dalamnya yang telah menjadi sumber yang marak terhadap pelanggaran di antara umat Kristiani, seluruhnya dihilangkan. Penyimpangan-penyimpangan lain tentang hal ini yang timbul dari tahyul, ketidaktahuan, ketidakhormatan, atau bentuk apapun dari sumber lainnya, karena oleh alasan banyaknya korupsi di tempat-tempat dan provinsi di mana hal-hal itu terjadi, hal tersebut tidak dapat dengan mudah dilarang secara individual, otoritas konsili memerintahkan semua uskup agar dengan rajin membuat catatan, masing-masing di gerejanya dan melaporkan kepada sinoda provinsi selanjutnya, sehingga setelah diperiksa oleh uskup-uskup yang lain juga hal-hal tersebut dapat diteruskan kepada Paus, yang otoritas dan kebijaksanaannya diordinasikan bagi kebaikan seluruh Gereja; oleh karena itu, karunia indulgensi yang kudus dapat dibagikan kepada semua umat beriman dengan cara yang saleh, suci dan tanpa korupsi.” (Konsili Trente, Sesi 15, Bab 21)
Ditulis oleh: Stefanus Tay & Ingrid Tay
[You must be registered and logged in to see this link.]