|
| Iman dengan paksaan ? | |
|
+7heinskle samiaji striker Silancah erusi7 Husada bruce 11 posters | |
Pengirim | Message |
---|
bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 5th April 2012, 21:44 | |
| - Quote :
- Misalnya aturan tembak di tempat (kalau perlu sampai mati) untuk Densus 88 sementara ajaran Kasih melarang merenggut nyawa sesama.
Demi menjunjung tinggi HAM, pemerintah mengeluarkan izin pernikahan sesama jenis padahal ajaran Kristen melarang hubungan sesama jenis. Demi revenue negara, pemerintah melegalkan lokalisasi perjudian, padahal ajaran Kristen melarang perjudian.
Apakah saat seorang Densus menembak mati buruannya, saat seorang pejabat menandatangani pengesahan hukum pernikahan sesama jenis, saat seorang pejabat memotong gunting tempat perjudian ... mereka itu berdosa di hadapan Tuhan atau tidak? Kalau urusan tembak di tempat, sementara kita cuma petugas, tekpaksa patuh, tembak aja, tapi usahakan di tempat yang tidak mematikan. Pernikahan sejenis? Lantas kita sebagai apa? Petugas kelurahan atau satpol PP? Kalau sbagai yang mengambil keputusan tentu menolak, kalau tidak, lantas sebagai apa perannya? Lokasi perjudian, kalau seperti juga pada kasus penikahan sejenis. Kalau sebagai pengambil keputusan, tentu harus menolak, kalau sebagai bawahan, apa tugasnya? - Quote :
- Dari dua contoh kasus di atas sudah jelas bahwa saat seorang Muslim melaksanakan tugas sebagai aparat atau abdi pemerintahan maka dia tidak perlu menomorduakan agamanya karena sudah diatur dalam Al Quran.
Jika mengenai pwngecualian dan keringanan seperti yang anda sampaikan, sebenarnya, tidaklah berbeda kang. Karena agama yang kita jalani tidak berada di menara gading, tetapi di dunia nyata. Intinya, tetaplah bahwa dalam tugas, aturan agama bisa di berikan keringanan/pengecualian. | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 6th April 2012, 06:20 | |
| Terima kasih Bang, atas pendapat Anda .... Saya coba gali lebih dalam ya? - bruce wrote:
Kalau urusan tembak di tempat, sementara kita cuma petugas, tekpaksa patuh, tembak aja, tapi usahakan di tempat yang tidak mematikan. Bila kondisi menyebabkan kita harus menembak mati para teroris ... apakah itu diperbolehkan oleh ajaran Anda? Apakah hal itu akan menimbulkan dosa pada diri kita yang, seperti kita bro siip, akan membinasakan diri kita ini ... tentu saja saya harapkan ini dilihat dengan dalil dari ajaran agama Anda ya .... kecuali kalau tidak ada dalilnya ... beres sudah topik ini :) - bruce wrote:
- Pernikahan sejenis? Lantas kita sebagai apa? Petugas kelurahan atau satpol PP? Kalau sbagai yang mengambil keputusan tentu menolak, kalau tidak, lantas sebagai apa perannya?
Lokasi perjudian, kalau seperti juga pada kasus penikahan sejenis. Kalau sebagai pengambil keputusan, tentu harus menolak, kalau sebagai bawahan, apa tugasnya? Saya membicarakannya bila Anda sebagai seorang atasan ... katakanlah, menteri yang berhak mengeluarkan kebijakan untuk diterapkan di seluruh negeri. Saya menghormati jawaban Anda di atas ... berarti dalam mengambil keputusan, Anda tetap menggunakan ajaran Anda. Sebagaimana Anda dahulu pernah menyatakan Anda akan mendemo pemerintah yang tidak becus dalam membuat kebijakan. Saya rasa sudah tahu posisi Anda dalam hal ini... Anda tidak akan menomorsekiankan agama Anda dalam kasus seperti ini. (CMIIW) Tetapi pertanyaan buntut yang timbul ... apakah, menurut Anda, sikap Anda tidak menyalahi prinsip 'signature' Husada? Kembali pada Husada, saya ingin bertanya kepada Anda tentang posisi atau pendapat Anda tentang kasus di atas. Saya rasa jawabannya akan berbeda dengan Bruce karena Anda yang selalu menegaskan bahwa agama jangan dibawa2 saat bertugas sebagai aparat. - bruce wrote:
- Jika mengenai pwngecualian dan keringanan seperti yang anda sampaikan, sebenarnya, tidaklah berbeda kang. Karena agama yang kita jalani tidak berada di menara gading, tetapi di dunia nyata. Intinya, tetaplah bahwa dalam tugas, aturan agama bisa di berikan keringanan/pengecualian.
Apakah ada dalil dalam agama Anda yang memberikan keringanan/pengecualian tersebut? Saya dahulu ingat bahwa heinskle (kalau tidak salah) yang selalu membanggakan bahwa dalam ajaran Kristen tidak ada pengecualian sebagaimana halnya dalam agama Islam (saat itu sedang membicarakan soal haram-halal Babi, boleh tidaknya membunuh (dalam perang/keadaan membela diri), shlat yang boleh dijamaa(ditunda)/diqosor(dipendekkan) .. dsb). Dulu juga pernah disebutkan bahwa walaupun membunuh (dalam perang atau bertugas sebagai kepolisian) tetap salah dan menimbulkan dosa ... apa pun alasannya, bahkan saat membela diri ... sehingga katekismus bukanlah aturan yang mengesahkan pembunuhan tersebut. Bila melihat pernyataan ini, seakan2 tidak ada pengecualian dalam ajaran Kristen. Bukan begitu? Apakah Anda sekarang mengatakan bahwa ada pengecualian dalam ajaran Kristen? | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 6th April 2012, 13:01 | |
| - Quote :
- Bila kondisi menyebabkan kita harus menembak mati para teroris ... apakah itu diperbolehkan oleh ajaran Anda?
Apakah hal itu akan menimbulkan dosa pada diri kita yang, seperti kita bro siip, akan membinasakan diri kita ini ... tentu saja saya harapkan ini dilihat dengan dalil dari ajaran agama Anda ya .... kecuali kalau tidak ada dalilnya ... beres sudah topik ini Sudah pernah kita bicaakan di thread lain sepertinya kang. Saya coba cari, nanti saya berikn link threadnya Mengenai signature yang dipergunakan Husada, saya setuju koq kang. Karena, dalam banyak hal memang agama (Tuhan?) berada pada dimensi yang berbeda, jangan dicampur adukan. Mengenai pengecualian dalam ajaran Kristen untuk suatu pelanggaran, tidak, tidak ada pengecualian, aturan tetap jelas.. Tetapi tentu setiap kasus tidak bisa dihantam kromo kang. Salam | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 8th April 2012, 18:30 | |
| - bruce wrote:
Sudah pernah kita bicaakan di thread lain sepertinya kang. Saya coba cari, nanti saya berikn link threadnya Terima kasih Bang bila bersedia mencarikan thread-nya ... soalnya, seingat saya, pembicaraan tersebut belum pernah samapi 'sedalam' ini. - bruce wrote:
- Mengenai signature yang dipergunakan Husada, saya setuju koq kang. Karena, dalam banyak hal memang agama (Tuhan?) berada pada dimensi yang berbeda, jangan dicampur adukan.
Mengenai pengecualian dalam ajaran Kristen untuk suatu pelanggaran, tidak, tidak ada pengecualian, aturan tetap jelas.. Tetapi tentu setiap kasus tidak bisa dihantam kromo kang.
Salam Maaf sebelumnya, Bang ... sepertinya pernyataan yang satu ini "Mengenai pengecualian dalam ajaran Kristen untuk suatu pelanggaran, tidak, tidak ada pengecualian," bertentangan dengan apa yang disiratkan dalam pernyataan ini "setiap kasus tidak bisa dihantam kromo kang" belum lagi bertentangan dengan pernyataan ini "bahwa dalam tugas, aturan agama bisa di berikan keringanan/ pengecualian." | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 08:16 | |
| Damai bagimu, Cah. - Silancah wrote:
- Kembali pada Husada, saya ingin bertanya kepada Anda tentang posisi atau pendapat Anda tentang kasus di atas.
Saya rasa jawabannya akan berbeda dengan Bruce karena Anda yang selalu menegaskan bahwa agama jangan dibawa2 saat bertugas sebagai aparat. Meski redaksional pem-bahasa-an jawaban saya berbeda dengan redaksional pem-bahasa-an Bruce, namun esensi atau inti atau substansi jawaban itu adalah sama. - Quote :
- Apakah ada dalil dalam agama Anda yang memberikan keringanan/pengecualian tersebut?
Apakah Anda sekarang mengatakan bahwa ada pengecualian dalam ajaran Kristen? Cah, signature saya itu sudah cukup jelas. Dalil apa lagi yang diperlukan untuk memperjelas itu? Signature saya itu jelas mengatakan bahwa berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara, berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Nah, ketika saya sebagai aparat negara yang ditugaskan oleh negara melaksanakan suatu tugas atas nama negara, maka saya akan memberikan hak negara kepada negara, yaitu laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas saya. Tolong catat, bahwa apabila tugas yang diembankan itu bertentangan dengan nurani saya (katakanlah karena ajaran agama yang saya anut), maka saya berhak menolak penugasan itu, dengan konsekuensi bahwa saya harus berhenti sebagai aparat negara, tetapi tetap sebagai warga negara. Ketika saya sebagai umat penganut agama saya, maka saya wajib menunaikan seluruh perintah agama yang saya anut tersebut. Yang demikian itu saya artikan sebagai memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Tuhan yang berfirman kepada saya melalui ajaran Gereja, itu saya patuhi sebagai perwujudan pemberian hak Tuhan. Kalau saya tidak salah tangkap dari postingan Silancah, hal pokok yang menjadi kerisauan Silancah adalah, bagaimana sikap seseorang kalau sebagai aparat negara dia diminta melaksanakan tugas yang bertentangan dengan ajaran agamanya, bukan? Dalam hal seperti itu, menurut yang saya imani dan saya amini, maka orang itu harus memilih, apakah dia mau melaksanakn tugas yang diembankan negara itu, atau dia minta diberhentikan dari berlaku sebagai aparat negara. Atau kalau masih mungkin, dia minta digantikan aparat lainnya. Sekali lagi, kita bicara dalam negara demokratis, bukan negara otoriter. Jika kita contohkan di NKRI, seperti contoh yang Silancah kemukakan di atas, mengenai perjudian, lokalisasi, densus 88, menurut pengimanan saya, bila seseorang diminta oleh negara untuk melaksanakan tugas menangani itu, jika orang itu menilai tugas yang diembankan kepadanya bertentangan dengan ajaran agama yang dia anut, maka segera saja dia minta berhenti sebagai aparat negara, sehingga negara tidak punya hak meminta pertanggungjawaban darinya terkait pelaksanaan tugas tersebut. Jika orang itu melaksanakan tugas yang diemban itu meski bertentangan dengan ajaran agamanya, maka ketika itu pula dia menomorduakan ajaran agamanya. Nah, pada saat seperti itu, bukan ajaran agamanya yang berubah, melainkan orang itu merubah prioritas utama dalam sikapnya. Perubahan prioritas itu adalah tanggung jawab pribadinya. Pada saat seperti itulah yang saya maksudkan bahwa orang itu melepaskan ajaran agamanya. Bukan berarti lantas pada saat itu orang tersebut menjadi atheist. Sekali lagi, bila orang itu tidak berkenan mengemban tugas negara yang diembankan kepadanya, maka orang itu bebas dan merdeka mengundurkan diri sebagai aparat negara. Bila dia mengundurkan diri sebagai aparat negara, maka hak negara yang harus dupatuhinya adalah hanya hak membayar pajak. Begitu, Cah. Damai Tuhan bersamamu. | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 10:50 | |
| - Husada wrote:
- Damai bagimu, Cah.
- Silancah wrote:
- Apakah ada dalil dalam agama Anda yang memberikan keringanan/pengecualian tersebut?
Apakah Anda sekarang mengatakan bahwa ada pengecualian dalam ajaran Kristen? Cah, signature saya itu sudah cukup jelas. Dalil apa lagi yang diperlukan untuk memperjelas itu? Signature saya itu jelas mengatakan bahwa berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara, berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Bro Husada ... saya jadi bingung... Bila seseorang dihimbau untuk melaksanakan ajaran/dalil yang tertuang di signature Anda ... bukankah seharusnya seseorang melaksanakan apa yang diperintahkan oleh atasannya di pemerintahan, apa pun itu, walaupun perintah itu bertentangan dengan ajaran agamanya? "menurut pemahaman saya, sebagai warga negara, sesorang harus memberikan hak negara kepada negara, dan sebagai penganut suatu agama, seseorang itu wajib menunaikan kewajiban agamanya" Bila seseorang menolak melakukan tugas dari atasan yang notabene perwakilan negara ... berarti orang itu tidak memberikan kepada negara apa yang menjadi hak negara (yaitu membuat kebijakan/peraturan dan meminta orang itu sebagai aparat untuk melaksanakannya) "Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya." Bila seseorang menolak melakukan tugas dari atasan dengan dasar bertentangan dengan hati nurani (ajaran agama) ... bukankah berarti orang itu tidak bisa menomorduakan agama Anda? Rasanya ini bertentangan dengan signature Anda yang dikejewantahkan oleh Anda sendiri sebagai harusnya seseorang menomorduakan agama saat berurusan dengan negara - Husada wrote:
Nah, ketika saya sebagai aparat negara yang ditugaskan oleh negara melaksanakan suatu tugas atas nama negara, maka saya akan memberikan hak negara kepada negara, yaitu laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas saya. Tolong catat, bahwa apabila tugas yang diembankan itu bertentangan dengan nurani saya (katakanlah karena ajaran agama yang saya anut), maka saya berhak menolak penugasan itu, dengan konsekuensi bahwa saya harus berhenti sebagai aparat negara, tetapi tetap sebagai warga negara. Tentu saja Anda berhak menolak penugasan untuk mematuhi tuntutan/dasar ajaran agama ... tetapi kembali ... bertentangan dengan dalil yang satu ini "Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya." - Husada wrote:
Kalau saya tidak salah tangkap dari postingan Silancah, hal pokok yang menjadi kerisauan Silancah adalah, bagaimana sikap seseorang kalau sebagai aparat negara dia diminta melaksanakan tugas yang bertentangan dengan ajaran agamanya, bukan?
Dalam hal seperti itu, menurut yang saya imani dan saya amini, maka orang itu harus memilih, apakah dia mau melaksanakn tugas yang diembankan negara itu, atau dia minta diberhentikan dari berlaku sebagai aparat negara. Atau kalau masih mungkin, dia minta digantikan aparat lainnya. Sekali lagi, kita bicara dalam negara demokratis, bukan negara otoriter. Kembali, bertentangan dengan ini --> "Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya." Pada dalil itu, Anda tidak mengisyaratkan bahwa seseorang boleh memilih ... tetapi orang tersebut harus mengutamakan tugas negara dan menomorsekiankan tuntutan keagamaannya. Bila seseorang boleh memilih maka bisa jadi dia akan mempertimbangkan bahkan mengutamakan tuntutan keagamaannya. Bukan begitu? - Husada wrote:
Jika orang itu melaksanakan tugas yang diemban itu meski bertentangan dengan ajaran agamanya, maka ketika itu pula dia menomorduakan ajaran agamanya. Nah, pada saat seperti itu, bukan ajaran agamanya yang berubah, melainkan orang itu merubah prioritas utama dalam sikapnya. Perubahan prioritas itu adalah tanggung jawab pribadinya. Pertanyaan saya yang selanjutnya .. bila Anda masih ingat. Saat seseorang memprioritaskan kewajiban bernegaranya ... apakah dia akan berdosa di hadapan Tuhan? Kalau melihat dalil yang Anda ajukan ... seharusnya tidak ya? Karena Dalil itu yang mendorong seseorang "harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya," dan "berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara" yaitu meciptakan kebijakan/aturan dan menjalankannya. Semoga tidak kebingungan dengan pertanyaan saya, ya, bro?
Terakhir diubah oleh Silancah tanggal 9th April 2012, 11:03, total 3 kali diubah | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 10:58 | |
| - Silancah wrote:
- bruce wrote:
Contoh kasus nya seperti apa kang? Misalnya aturan tembak di tempat (kalau perlu sampai mati) untuk Densus 88 sementara ajaran Kasih melarang merenggut nyawa sesama. Demi menjunjung tinggi HAM, pemerintah mengeluarkan izin pernikahan sesama jenis padahal ajaran Kristen melarang hubungan sesama jenis. Demi revenue negara, pemerintah melegalkan lokalisasi perjudian, padahal ajaran Kristen melarang perjudian.
Apakah saat seorang Densus menembak mati buruannya, saat seorang pejabat menandatangani pengesahan hukum pernikahan sesama jenis, saat seorang pejabat memotong gunting tempat perjudian ... mereka itu berdosa di hadapan Tuhan atau tidak?
- bruce wrote:
- Kalau dalam militer, mengenai contoh untuk agama Islam saya bisa berikan.
Untuk mendapat brevet Komando, seorang tentara dilatih antara lain dalam hal survival, nah untuk survival ini, diantaranya adalah maka apapun yang bisa dimakan, mulai dari yang haram sampai halal. Tentu bisa kita pakai pasal, bertahan hidup, sehigga haram dianggap halal. Al Bawarah 2:173 "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Dalam Islam, Allah bergelar ar Rahmaan dan ar Rahiim ... Sang Khalik tidak ingin menyulitkan manusia dalam beribadah kepadanya. Allah SWT tidak akan menguji manusia di luar batas kemampuannya. Bila dalam survival itu diharuskan memakan yang haram karena bila tidak mengonsumsinya akan mengakibatkan kematian maka makanan yang haram itu menjadi halal untuk dikonsumsi dan tidak ada dosa pada dirinya.
- bruce wrote:
- Hal yang lain lagi, tentu dalam pertempuran yang sedang terjadi, tidak ada waktu untuk sholat lima waktu, apalagi sholat berjamaah.
Pada ajaran Sholat ada yang disebut sebagai Shalat Khauf yaitu Shalat dalam keadaan takut ... biasanya karena dalam perang.
QS An Nisaa 4:102 "Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang salat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata...."
Jadi menurut ayat di atas, Allah ar Adl mengizinkan umat Islam untuk melaksanakan sholat fardhu yang biasanya empat rakaat menjadi dua atau bahkan satu rakaat saja.
Bahkan menurut beberapa hadits, diizinkan bhawa sholat hanya dengan memberikan isyarat bila memang keadaannya sangat mendesak (dalam hadits itu dicontohkan seseorang yang sedang mengejar atau dikejar musuh atau bahan saat perang berkecamuk).
Imam Muslim menyebutkan bahwa Ibnu Umar berkata "Jika sudah sangat gawat, kerjakan shalat sambil berkendaraan atau berdiri, dengan anggukkan kepala!"
Dari dua contoh kasus di atas sudah jelas bahwa saat seorang Muslim melaksanakan tugas sebagai aparat atau abdi pemerintahan maka dia tidak perlu menomorduakan agamanya karena sudah diatur dalam Al Quran. Betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya. | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 11:58 | |
| - Husada wrote:
- Damai bagimu, Cah.
- Silancah wrote:
- Kembali pada Husada, saya ingin bertanya kepada Anda tentang posisi atau pendapat Anda tentang kasus di atas.
Saya rasa jawabannya akan berbeda dengan Bruce karena Anda yang selalu menegaskan bahwa agama jangan dibawa2 saat bertugas sebagai aparat. Meski redaksional pem-bahasa-an jawaban saya berbeda dengan redaksional pem-bahasa-an Bruce, namun esensi atau inti atau substansi jawaban itu adalah sama. - Quote :
- Apakah ada dalil dalam agama Anda yang memberikan keringanan/pengecualian tersebut?
Apakah Anda sekarang mengatakan bahwa ada pengecualian dalam ajaran Kristen? Cah, signature saya itu sudah cukup jelas. Dalil apa lagi yang diperlukan untuk memperjelas itu? Signature saya itu jelas mengatakan bahwa berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara, berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan.
Nah, ketika saya sebagai aparat negara yang ditugaskan oleh negara melaksanakan suatu tugas atas nama negara, maka saya akan memberikan hak negara kepada negara, yaitu laporan pertanggungjawaban pelaksanaan tugas saya. Tolong catat, bahwa apabila tugas yang diembankan itu bertentangan dengan nurani saya (katakanlah karena ajaran agama yang saya anut), maka saya berhak menolak penugasan itu, dengan konsekuensi bahwa saya harus berhenti sebagai aparat negara, tetapi tetap sebagai warga negara.
Ketika saya sebagai umat penganut agama saya, maka saya wajib menunaikan seluruh perintah agama yang saya anut tersebut. Yang demikian itu saya artikan sebagai memberikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Tuhan yang berfirman kepada saya melalui ajaran Gereja, itu saya patuhi sebagai perwujudan pemberian hak Tuhan.
Kalau saya tidak salah tangkap dari postingan Silancah, hal pokok yang menjadi kerisauan Silancah adalah, bagaimana sikap seseorang kalau sebagai aparat negara dia diminta melaksanakan tugas yang bertentangan dengan ajaran agamanya, bukan?
Dalam hal seperti itu, menurut yang saya imani dan saya amini, maka orang itu harus memilih, apakah dia mau melaksanakn tugas yang diembankan negara itu, atau dia minta diberhentikan dari berlaku sebagai aparat negara. Atau kalau masih mungkin, dia minta digantikan aparat lainnya. Sekali lagi, kita bicara dalam negara demokratis, bukan negara otoriter.
Jika kita contohkan di NKRI, seperti contoh yang Silancah kemukakan di atas, mengenai perjudian, lokalisasi, densus 88, menurut pengimanan saya, bila seseorang diminta oleh negara untuk melaksanakan tugas menangani itu, jika orang itu menilai tugas yang diembankan kepadanya bertentangan dengan ajaran agama yang dia anut, maka segera saja dia minta berhenti sebagai aparat negara, sehingga negara tidak punya hak meminta pertanggungjawaban darinya terkait pelaksanaan tugas tersebut. Jika orang itu melaksanakan tugas yang diemban itu meski bertentangan dengan ajaran agamanya, maka ketika itu pula dia menomorduakan ajaran agamanya. Nah, pada saat seperti itu, bukan ajaran agamanya yang berubah, melainkan orang itu merubah prioritas utama dalam sikapnya. Perubahan prioritas itu adalah tanggung jawab pribadinya.
Pada saat seperti itulah yang saya maksudkan bahwa orang itu melepaskan ajaran agamanya. Bukan berarti lantas pada saat itu orang tersebut menjadi atheist. Sekali lagi, bila orang itu tidak berkenan mengemban tugas negara yang diembankan kepadanya, maka orang itu bebas dan merdeka mengundurkan diri sebagai aparat negara. Bila dia mengundurkan diri sebagai aparat negara, maka hak negara yang harus dupatuhinya adalah hanya hak membayar pajak.
Begitu, Cah. Damai Tuhan bersamamu. sumpah aku bingung membaca penjelasanmu mas tapi kalau melihat postingan ini: berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara, berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Saya setuju kalau agama dinomer duakan, karena yg pertama adalah hak negara. Kecuali kalau postingannya seperti ini: berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan, berikan kepada negara apa yang menjadi hak negara. Nah kalau yg ini ya agama dinomer satukan, negara di nomer duakan.. seperti tabakan: duluan mana 'telor ama ayam' ? pasti duluan telor. Nah kalau tebakannya : duluan mana 'ayam ama telor'? pastinya ya duluan ayam hehe tergantung mana dulu yg diucapkan.. | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 13:34 | |
| - Quote :
- Betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Beriman sih boleh boleh saja, tetapi kalau sudah kebangetan sih aneh juga mas. Toh anda masih sangat membutuhkan fatwa fatwa, bahkan dalam banyak hal, dan itu buatan/pemikiran manusia. Jadi mungkin anda yang belum bisa membedakan yang mana yang diajarkan Islam dan yang mana yang disebut sebagai ajaran islam (tetapi sebenarnya ajaran manusia). Begitu kan? :) | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 15:14 | |
| - Silancah wrote:
Semoga tidak kebingungan dengan pertanyaan saya, ya, bro? Wadduh, Cah. Benar, saya kebingungan dengan pertanyaan Silancah. Begini saja. Saya tambahkan penjelasan. Hak negara dari warganya berbeda untuk tiap warga. Sederhananya, warga negara kita kelompokkan kedalam dua kelompok saja, warga negara yang awam, dan warga negara yang aparatur negara. Bagi yang awam, hak negara yang harus ditanggungnya adalah pajak-pajak, dan berbagai kewajiban ketika warga tersebut menikmati jasa negara, misalnya pengurusan ijin usaha, pengurusan KTP, dll, dll. Nah, kalau dikaitkan dengan signature saya itu, maka si warga negara yang awam harus memenuhi kewajiban bernegara tersebut. Bagi yang aparatur negara, selain seperti yang harus ditanggung warga yang awam, dia harus menjalankan tugas yang diperintahkan negara kepadanya karena dia adalah aparatur negara yang bertugas menjalankan pengelolaan negara. Nah, pada saat menjalankan tugas negara, seorang warga negara yang adalah aparatur negara wajib melaksanakan tugas negara tersebut. Apabila dia merasakan bahwa tugas yang diembankan kepadanya bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya, maka dia bebas untuk mengundurkan diri sebagai warga negara yang aparatur negara, menjadi warga negara yang awam. Setelah dia menjadi warga negara yang awam, maka kewajiban bernegaranya kembali seperti yang saya uraikan di atas, hanya bayar pajak dan kewajiban lain sesuai dengan jasa negara yang telah dinikmatinya. Tentang hak Tuhan terhadap orang tersebut, tidak membedakan apakah seseorang itu warga negara yang awam atau yang aparatur negara. Umat Tuhan tidak dibedakan berdasarkan profesi seseorang. Seluruh umat, menurut pikiran dan iman saya, adalah sama di hadapan Tuhan. Kalau ada perbedaan, itu semata-mata karena sikap umat tersebut, apakah dia tergolong yang taat, atau tergolong pembelot. Begitu, Cah. Semoga menjelaskan. Damai, damai, damai. | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 15:36 | |
| Terima kasih atas diskusinya selama ini bro ... Saya komentari sedikit ya .. - Husada wrote:
- Wadduh, Cah. Benar, saya kebingungan dengan pertanyaan Silancah. Begini saja. Saya tambahkan penjelasan.
Hak negara dari warganya berbeda untuk tiap warga. Sederhananya, warga negara kita kelompokkan kedalam dua kelompok saja, warga negara yang awam, dan warga negara yang aparatur negara.
Bagi yang awam, hak negara yang harus ditanggungnya adalah pajak-pajak, dan berbagai kewajiban ketika warga tersebut menikmati jasa negara, misalnya pengurusan ijin usaha, pengurusan KTP, dll, dll. Nah, kalau dikaitkan dengan signature saya itu, maka si warga negara yang awam harus memenuhi kewajiban bernegara tersebut. Untuk pernyataan di atas saya setuju. Dalil signature Anda bisa diterapkan pada warga negara awam ... dengan demikian apa yang diberikan kepada negara tidak akan menyimpang dari ajaran Agama ... seperti bayar pajak. pengurusan ijin usaha, KTP dsb. Dan bila ada kebijakan/aturan negara yang menyimpang dari ajaran agama seperti legalisasi perjudian, lokalisasi, dsb .. maka sebagai warga negara awam kita bisa memilih untuk tidak ikut terjun dalam aktivitas haram seperti itu ... di sini kita tidak melanggar aturan negara dan aturan agama. Yang menarik adalah pernyataan kedua di bawah ini ... saat seseorang menjadi warga negara yang aparatur negara. - Husada wrote:
Bagi yang aparatur negara, selain seperti yang harus ditanggung warga yang awam, dia harus menjalankan tugas yang diperintahkan negara kepadanya karena dia adalah aparatur negara yang bertugas menjalankan pengelolaan negara. Nah, pada saat menjalankan tugas negara, seorang warga negara yang adalah aparatur negara wajib melaksanakan tugas negara tersebut. Tidak ada masalah sampai titik ini. - Husada wrote:
Apabila dia merasakan bahwa tugas yang diembankan kepadanya bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya, maka dia bebas untuk mengundurkan diri sebagai warga negara yang aparatur negara, menjadi warga negara yang awam. Pernyataan inilah yang saya rasakan adanya pergesekan dengan pengejewantahan dalil signature Anda yaitu ""Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya." Pada pengejewantahan signature, Anda mengatakan seseorang harus menomorsekiankan tuntutan keagamaan dan mengutamakan tugas negara tetapi kini Anda mengatakan dia bebas mengundurkan diri .... saya rasa itu bertentangan. Anda bisa melihat pertentangan itu, bro? Kalau tidak bisa, mungkin pertanyaan berikut bisa memperjelasnya: Apakah saat seseorang menjalankan tugas - tuntutan keagamaan dipertimbangkan atau tidak? Tuntutan keagamaan didahulukan saat mengambil keputusan atau tidak?
Ya atau Tidak.
Sesederhana itu, bro ... - Husada wrote:
Tentang hak Tuhan terhadap orang tersebut, tidak membedakan apakah seseorang itu warga negara yang awam atau yang aparatur negara. Umat Tuhan tidak dibedakan berdasarkan profesi seseorang. Seluruh umat, menurut pikiran dan iman saya, adalah sama di hadapan Tuhan. Kalau ada perbedaan, itu semata-mata karena sikap umat tersebut, apakah dia tergolong yang taat, atau tergolong pembelot.
Begitu, Cah. Semoga menjelaskan. Damai, damai, damai. Komentar untuk pertanyaan terakhir ini saya tunda sampai Anda menjawab pertanyaan di atas. | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 17:16 | |
| Damai bagimu, Cah. - Silancah wrote:
- Husada wrote:
Apabila dia merasakan bahwa tugas yang diembankan kepadanya bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya, maka dia bebas untuk mengundurkan diri sebagai warga negara yang aparatur negara, menjadi warga negara yang awam. Pernyataan inilah yang saya rasakan adanya pergesekan dengan pengejewantahan dalil signature Anda yaitu ""Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya."
Pada pengejewantahan signature, Anda mengatakan seseorang harus menomorsekiankan tuntutan keagamaan dan mengutamakan tugas negara tetapi kini Anda mengatakan dia bebas mengundurkan diri .... saya rasa itu bertentangan. Anda bisa melihat pertentangan itu, bro? Kalau tidak bisa, mungkin pertanyaan berikut bisa memperjelasnya:
Apakah saat seseorang menjalankan tugas - tuntutan keagamaan dipertimbangkan atau tidak? Tuntutan keagamaan didahulukan saat mengambil keputusan atau tidak?
Ya atau Tidak.
Sesederhana itu, bro ... Hmmm... tidak sesederhana itu juga, Cah. Tergantung dari pihak yang terkait. 1. Oleh negara selaku perekrut aparatur negara, ketika hendak merekrut, jawabannya TIDAK. Ambil misal perekrutan tentara. Negara hanya mengumumkan kepada warganya bahwa negara memerlukan tenaga warganya yang bersedia menjadi tentara, yang akan ditugaskan untuk bla, bla, bla, dengan syarat bla, bla, bla, salah satunya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Lanjutannya, kembali kepada warga negara, apakah warga berminat atau tidak. Jika berminat, apakah persyaratan yang disyaratkan dapat dipenuhi atau tidak. Biasanya, peminat jauh lebih banyak daripada jumlah kebutuhan, maka dilakukan seleksi. Yang dapat memenuhi semua tahapan seleksi, itu yang direkrut menjadi pengemban tugas negara yang telah disebutkan pada pengumuman. 2. Oleh warga negara pelamar, jawaban seharusnya YA. Apabila si warga yang melamar itu mengutamakan aturan agama yang dianutnya, tentu layaknya dia mempertimbangkan tugas yang akan diembannya. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas yang akan diemban tidak bertentangan dengan aturan agamanya, dia akan melamar. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya, tentu dia akan tidak melamar. Begitu, Cah. Namun, misalkan terjadi keterlanjuran, mungkin karena kekurangan informasi atau apapun. Ternyata, setelah terekrut sebagai tentara, dalam pelaksanaan tugas, warga tadi menilai bahwa ada pertentangan antara aturan agamanya dengan tugas yang diembannya, maka dia, jika mengutamakan aturan agamanya, akan mundur, kembali menjadi warga negara awam. - Silancah wrote:
- Husada wrote:
Tentang hak Tuhan terhadap orang tersebut, tidak membedakan apakah seseorang itu warga negara yang awam atau yang aparatur negara. Umat Tuhan tidak dibedakan berdasarkan profesi seseorang. Seluruh umat, menurut pikiran dan iman saya, adalah sama di hadapan Tuhan. Kalau ada perbedaan, itu semata-mata karena sikap umat tersebut, apakah dia tergolong yang taat, atau tergolong pembelot.
Begitu, Cah. Semoga menjelaskan. Damai, damai, damai. Komentar untuk pertanyaan terakhir ini saya tunda sampai Anda menjawab pertanyaan di atas. Semoga jawaban yang saya berikan memenuhi selera Silancah. | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 18:04 | |
| - bruce wrote:
-
- Quote :
- Betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Beriman sih boleh boleh saja, tetapi kalau sudah kebangetan sih aneh juga mas. Toh anda masih sangat membutuhkan fatwa fatwa, bahkan dalam banyak hal, dan itu buatan/pemikiran manusia. Jadi mungkin anda yang belum bisa membedakan yang mana yang diajarkan Islam dan yang mana yang disebut sebagai ajaran islam (tetapi sebenarnya ajaran manusia). Begitu kan?
:) Yg kebangetan yg mana mas? Saya rasa fatwa2 para ulama bukan hasil pemikiran yg asal2an mas, tapi juga mengacu pada ajaran Islam, jadi tentu saja para ulama memiliki dalil dlm mebuat fatwa2nya. Bisa disebutkan fatwa2 para ulama yg bertentangan dengan ajaran Islam mas? Dan apakah ajaran kristen juga mengatur segala aspek kehidupan manusia sekaranag ini, ataukah hanya mengatur supaya percaya kepada Yesus saja? | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 18:09 | |
| - Husada wrote:
- Damai bagimu, Cah.
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
Apabila dia merasakan bahwa tugas yang diembankan kepadanya bertentangan dengan ajaran agama yang dianutnya, maka dia bebas untuk mengundurkan diri sebagai warga negara yang aparatur negara, menjadi warga negara yang awam. Pernyataan inilah yang saya rasakan adanya pergesekan dengan pengejewantahan dalil signature Anda yaitu ""Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya."
Pada pengejewantahan signature, Anda mengatakan seseorang harus menomorsekiankan tuntutan keagamaan dan mengutamakan tugas negara tetapi kini Anda mengatakan dia bebas mengundurkan diri .... saya rasa itu bertentangan. Anda bisa melihat pertentangan itu, bro? Kalau tidak bisa, mungkin pertanyaan berikut bisa memperjelasnya:
Apakah saat seseorang menjalankan tugas - tuntutan keagamaan dipertimbangkan atau tidak? Tuntutan keagamaan didahulukan saat mengambil keputusan atau tidak?
Ya atau Tidak.
Sesederhana itu, bro ... Hmmm... tidak sesederhana itu juga, Cah. Tergantung dari pihak yang terkait.
1. Oleh negara selaku perekrut aparatur negara, ketika hendak merekrut, jawabannya TIDAK. Ambil misal perekrutan tentara. Negara hanya mengumumkan kepada warganya bahwa negara memerlukan tenaga warganya yang bersedia menjadi tentara, yang akan ditugaskan untuk bla, bla, bla, dengan syarat bla, bla, bla, salah satunya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Lanjutannya, kembali kepada warga negara, apakah warga berminat atau tidak. Jika berminat, apakah persyaratan yang disyaratkan dapat dipenuhi atau tidak. Biasanya, peminat jauh lebih banyak daripada jumlah kebutuhan, maka dilakukan seleksi. Yang dapat memenuhi semua tahapan seleksi, itu yang direkrut menjadi pengemban tugas negara yang telah disebutkan pada pengumuman.
2. Oleh warga negara pelamar, jawaban seharusnya YA. Apabila si warga yang melamar itu mengutamakan aturan agama yang dianutnya, tentu layaknya dia mempertimbangkan tugas yang akan diembannya. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas yang akan diemban tidak bertentangan dengan aturan agamanya, dia akan melamar. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya, tentu dia akan tidak melamar.
Begitu, Cah. Namun, misalkan terjadi keterlanjuran, mungkin karena kekurangan informasi atau apapun. Ternyata, setelah terekrut sebagai tentara, dalam pelaksanaan tugas, warga tadi menilai bahwa ada pertentangan antara aturan agamanya dengan tugas yang diembannya, maka dia, jika mengutamakan aturan agamanya, akan mundur, kembali menjadi warga negara awam.
- Silancah wrote:
- Husada wrote:
Tentang hak Tuhan terhadap orang tersebut, tidak membedakan apakah seseorang itu warga negara yang awam atau yang aparatur negara. Umat Tuhan tidak dibedakan berdasarkan profesi seseorang. Seluruh umat, menurut pikiran dan iman saya, adalah sama di hadapan Tuhan. Kalau ada perbedaan, itu semata-mata karena sikap umat tersebut, apakah dia tergolong yang taat, atau tergolong pembelot.
Begitu, Cah. Semoga menjelaskan. Damai, damai, damai. Komentar untuk pertanyaan terakhir ini saya tunda sampai Anda menjawab pertanyaan di atas. Semoga jawaban yang saya berikan memenuhi selera Silancah. Jadi mungkin kesimpulannya seperti ini mas: -kalau aparatur negara, TIDAK mendahulukan tuntutan agamanya. -Tapi kalau awam (pelamar misalnya), YA harus mengutamakan tuntutan agamanya. Apakah demikian mas? | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 19:07 | |
| - striker wrote:
- bruce wrote:
-
- Quote :
- Betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Beriman sih boleh boleh saja, tetapi kalau sudah kebangetan sih aneh juga mas. Toh anda masih sangat membutuhkan fatwa fatwa, bahkan dalam banyak hal, dan itu buatan/pemikiran manusia. Jadi mungkin anda yang belum bisa membedakan yang mana yang diajarkan Islam dan yang mana yang disebut sebagai ajaran islam (tetapi sebenarnya ajaran manusia). Begitu kan?
:) Yg kebangetan yg mana mas?
Saya rasa fatwa2 para ulama bukan hasil pemikiran yg asal2an mas, tapi juga mengacu pada ajaran Islam, jadi tentu saja para ulama memiliki dalil dlm mebuat fatwa2nya.
Bisa disebutkan fatwa2 para ulama yg bertentangan dengan ajaran Islam mas?
Dan apakah ajaran kristen juga mengatur segala aspek kehidupan manusia sekaranag ini, ataukah hanya mengatur supaya percaya kepada Yesus saja? Apa bedanya fatwa dan peraturan gereja ? Masing masing diberikan oleh pemimpin umat dengan dasar agama untuk dipatuhi oleh umat agama itu kan? Jadi jangan menepuk dada dan biang Islam itu lengkap (Kristen ngga lengkap). Gitu mas, paham ya? Salam | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 20:01 | |
| Terima kasih bro .. sekarang sudah mulai semakin jelas ... Tolong koreksi kesimpulan yang saya ambil kalau salah, ya? - Husada wrote:
1. Oleh negara selaku perekrut aparatur negara, ketika hendak merekrut, jawabannya TIDAK. Ambil misal perekrutan tentara. Negara hanya mengumumkan kepada warganya bahwa negara memerlukan tenaga warganya yang bersedia menjadi tentara, yang akan ditugaskan untuk bla, bla, bla, dengan syarat bla, bla, bla, salah satunya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. KESIMPULAN: Saat aparatur negara mengeluarkan peraturan yang melegalkan judi dan pelacuran demi meningkatkan pemasukan negara maka sewajarnya/seharusnya dia TIDAK mendahulukan ajaran agamanya karena ini dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya. Demikian bro? - Husada wrote:
2. Oleh warga negara pelamar, jawaban seharusnya YA. Apabila si warga yang melamar itu mengutamakan aturan agama yang dianutnya, tentu layaknya dia mempertimbangkan tugas yang akan diembannya. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas yang akan diemban tidak bertentangan dengan aturan agamanya, dia akan melamar. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya, tentu dia akan tidak melamar. Saya tidak ada masalah dengan pernyataan di atas .. berarti KESIMPULAN sebagai warga negara awam dia BOLEH mendahulukan ajaran agamanya. - Husada wrote:
Begitu, Cah. Namun, misalkan terjadi keterlanjuran, mungkin karena kekurangan informasi atau apapun. Ternyata, setelah terekrut sebagai tentara, dalam pelaksanaan tugas, warga tadi menilai bahwa ada pertentangan antara aturan agamanya dengan tugas yang diembannya, maka dia, jika mengutamakan aturan agamanya, akan mundur, kembali menjadi warga negara awam. Dalam contoh kasus keterlanjuran ini ... bila dia mundur dari jabatannya sebagai tentara maka seharusnya dia melanggar dalil signature Anda bro. Karena dengan terdaftarnya sebagai tentara, regardless apakah dia mengetahui konsekwensinya atau tidak, maka dia telah menjadi aparatur negara. Sebagai aparatur negara, seharusnya dia TIDAK mendahulukan agamanya. Bila dia mundur itu berarti, seperti yang Anda nyatakan di atas, dia TELAH mengutamakan ajaran agamanya dan tentu saja bertentangan dengan pernyataan Anda paling atas. "selaku perekrut aparatur negara, ketika hendak merekrut, jawabannya TIDAK boleh mendahulukan/mempertimbangkan ajaran agamaPaham maksud saya, bro? | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 9th April 2012, 21:28 | |
| - bruce wrote:
- striker wrote:
- bruce wrote:
-
- Quote :
- Betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya.
Beriman sih boleh boleh saja, tetapi kalau sudah kebangetan sih aneh juga mas. Toh anda masih sangat membutuhkan fatwa fatwa, bahkan dalam banyak hal, dan itu buatan/pemikiran manusia. Jadi mungkin anda yang belum bisa membedakan yang mana yang diajarkan Islam dan yang mana yang disebut sebagai ajaran islam (tetapi sebenarnya ajaran manusia). Begitu kan?
:) Yg kebangetan yg mana mas?
Saya rasa fatwa2 para ulama bukan hasil pemikiran yg asal2an mas, tapi juga mengacu pada ajaran Islam, jadi tentu saja para ulama memiliki dalil dlm mebuat fatwa2nya.
Bisa disebutkan fatwa2 para ulama yg bertentangan dengan ajaran Islam mas?
Dan apakah ajaran kristen juga mengatur segala aspek kehidupan manusia sekaranag ini, ataukah hanya mengatur supaya percaya kepada Yesus saja? Apa bedanya fatwa dan peraturan gereja ? Masing masing diberikan oleh pemimpin umat dengan dasar agama untuk dipatuhi oleh umat agama itu kan?
Jadi jangan menepuk dada dan biang Islam itu lengkap (Kristen ngga lengkap).
Gitu mas, paham ya?
Salam lho boleh dong saya menepuk dada dna bangga atas kepercayaan saya dan mengimani kalau Islam agama saya itu lengkap. Apakah ada perkataan saya yg mengatakan bahwa kristen itu tidak lengkap? anda juga boleh kok menepuk dada dan bilang kristen itu lengkap.. sah sah saja mas.. :) saya cuma bilang: Betapa Islam telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. Maha Benar Allah dengan segala Firman-Nya. Nah sepertinya njenengan yg tdk suka dengan pernyataan saya ini to mas? njenegan boleh kok bilang betapa kristen telah mengatur segala aspek kehidupan manusia dlm segala situasinya.. saya rasa tdk ada larangan tuk mengatakan demikian mas? setiap umat memang diharuskan menepuk dada dan bangga akan agama yg dianutnya, dan saya rasa tidak ada yg boleh melarang akan hal tersebut :) | |
| | | bruce Global Moderator
Jumlah posting : 9231 Join date : 27.01.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 10th April 2012, 07:09 | |
| @striker Ooo silahkan saja kalau sampeyan senang menepuk dada dan bilang Islam itu lengkap. Tetapi kenyataannya koq terbalik ya? Untuk mengerti Quran saja anda membutuhkan tafsir, itupun ada yang benar dan ada yang salah tafsir. Untuk aturan saja anda butuh fatwa yang terus menerus ditambah dan dikurangi, tergantung keperluan. Itupun saling batah antar pembuat fatwa. Yaaaa, namanya penganut memang musti bangga mas, he he he, silahkan saja lho, saya ngga melarang anda bangga. | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 10th April 2012, 08:29 | |
| Damai bagimu, Cah. - Silancah wrote:
- Terima kasih bro .. sekarang sudah mulai semakin jelas ...
Puji Tuhan, yang memberikan kepada manusia kemampuan memahami sesuatu. - Quote :
- Tolong koreksi kesimpulan yang saya ambil kalau salah, ya?
Baiklah, meskipun saya percaya bahwa Silancah memiliki kemampuan memahami yang di atas rata-rata. - Quote :
- Husada wrote:
1. Oleh negara selaku perekrut aparatur negara, ketika hendak merekrut, jawabannya TIDAK. Ambil misal perekrutan tentara. Negara hanya mengumumkan kepada warganya bahwa negara memerlukan tenaga warganya yang bersedia menjadi tentara, yang akan ditugaskan untuk bla, bla, bla, dengan syarat bla, bla, bla, salah satunya adalah bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. KESIMPULAN: Saat aparatur negara mengeluarkan peraturan yang melegalkan judi dan pelacuran demi meningkatkan pemasukan negara maka sewajarnya/seharusnya dia TIDAK mendahulukan ajaran agamanya karena ini dilakukan dalam rangka menjalankan tugasnya. Demikian bro? - Husada wrote:
Dia yang saya tebalkan itu perlu penegasan, apakah menunjuk pada negara sebagai pembuat peraturan, atau si pelamar yang telah menjadi aparatur negara? - Quote :
- 2. Oleh warga negara pelamar, jawaban seharusnya YA. Apabila si warga yang melamar itu mengutamakan aturan agama yang dianutnya, tentu layaknya dia mempertimbangkan tugas yang akan diembannya. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas yang akan diemban tidak bertentangan dengan aturan agamanya, dia akan melamar. Apabila dia menyimpulkan bahwa tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya, tentu dia akan tidak melamar.
Saya tidak ada masalah dengan pernyataan di atas .. berarti KESIMPULAN sebagai warga negara awam dia BOLEH mendahulukan ajaran agamanya. Sudah sering saya utarakan di berbagai posting bahwa selaku umat Tuhan, manusia bebas menentukan pilihan, apakah hendak menaati Tuhan atau malah menjadi seteru Tuhan. - Quote :
- Husada wrote:
Begitu, Cah. Namun, misalkan terjadi keterlanjuran, mungkin karena kekurangan informasi atau apapun. Ternyata, setelah terekrut sebagai tentara, dalam pelaksanaan tugas, warga tadi menilai bahwa ada pertentangan antara aturan agamanya dengan tugas yang diembannya, maka dia, jika mengutamakan aturan agamanya, akan mundur, kembali menjadi warga negara awam. Dalam contoh kasus keterlanjuran ini ... bila dia mundur dari jabatannya sebagai tentara maka seharusnya dia melanggar dalil signature Anda bro. Karena dengan terdaftarnya sebagai tentara, regardless apakah dia mengetahui konsekwensinya atau tidak, maka dia telah menjadi aparatur negara. Hehehhehheee... kalau dia melanggar dalil seperti Silancah maksudkan, karena dia bebas merdeka, bisa saja terjadi. Yang ingin saya kemukakan, dengan menggunakan kata /keterlanjuran/ kiranya jelas bahwa dari sudut orang itu ada yang sebelumnya tidak diketahui atau kurang jelas, yang kemudian setelah dia direkrut menjadi aparatur negara, barulah dia mengetahuinya, maka dia boleh mengundurkan diri, jika dia keukeuh bahwa tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya. - Quote :
- Sebagai aparatur negara, seharusnya dia TIDAK mendahulukan agamanya.
Bila dia mundur itu berarti, seperti yang Anda nyatakan di atas, dia TELAH mengutamakan ajaran agamanya dan tentu saja bertentangan dengan pernyataan Anda paling atas. Pernyataan yang Silancah maksud itu, bukan harga mati, artinya, itu hanya himbauan. Eksekusi, atau penerapan, atau implementasinya, diserahkan kepada masing-masing individu. Sama dengan ketika Tuhan menghimbau agar umatNya taat, namun kalau umatNya memeilih menjadi seteru Tuhan, Tuhan tidak menghalangi, tetapi konsekuensinya sudah diinformasikan kepada umat. - Quote :
- "selaku perekrut aparatur negara, ketika hendak merekrut, jawabannya TIDAK boleh mendahulukan/mempertimbangkan ajaran agama.
Karena negara mengakui bukan hanya satu agama yang resmi dapat dianut oleh warganya, tentu negara tidak layak kalau mengikuti atau mendahulukan aturan agama tertentu dan mengabaikan aturan agama resmi yang lainnya. - Quote :
- Paham maksud saya, bro?
Paham maksud saya, Cah? | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 10th April 2012, 09:32 | |
| - Husada wrote:
- Damai bagimu, Cah.
Puji Tuhan, yang memberikan kepada manusia kemampuan memahami sesuatu. Baiklah, meskipun saya percaya bahwa Silancah memiliki kemampuan memahami yang di atas rata-rata. Alhamdulillah ... akhirnya dari diskusi ini sudah kelihatan benang merahnya dan sepertinya sebentar lagi akan menemui titik akhir. Semoga saya tidak salah mengambil kesimpulan kali ini. Anda berulang kali menegaskan hal di bawah ini .. dan rasanya Bang Bruce pun setuju dengan pernyataan di bawah ini (CMIIW, Bang) - Husada wrote:
Sudah sering saya utarakan di berbagai posting bahwa selaku umat Tuhan, manusia bebas menentukan pilihan, apakah hendak menaati Tuhan atau malah menjadi seteru Tuhan.
setelah dia direkrut menjadi aparatur negara, barulah dia mengetahuinya, maka dia boleh mengundurkan diri, jika dia keukeuh bahwa tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya. Dan ini kuncinya/intinya... - Husada wrote:
- Pernyataan yang Silancah maksud itu, bukan harga mati, artinya, itu hanya himbauan. Eksekusi, atau penerapan, atau implementasinya, diserahkan kepada (pilihan) masing-masing individu. Sama dengan ketika Tuhan menghimbau agar umatNya taat, namun kalau umatNya memilih menjadi seteru Tuhan, Tuhan tidak menghalangi, tetapi konsekuensinya sudah diinformasikan kepada umat.
Saya simpulkan bahwa pengejewantahan signature Anda dengan pernyataan ini "Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya." hanyalah berupa himbauan semata.Semoga Anda masih bisa bersabar dengan keingintahuan ('ke-rewel-an') saya ... :) Pertanyaan lanjutannya ... Bila pengejewantahan signature di atas itu merupakan himbauan semata ... apakah berarti seseorang diperbolehkan tidak memberikan (tidak mengutamakan) apa yang menjadi hak negara - yaitu menjalankan kebijakan yang tetap ditetapkan atasan (negara) ? (tentu saja dalam kasus ini saya membicarakan warga negara yang telah menjadi aparat negara ... bukan warga negara awam). | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 10th April 2012, 11:03 | |
| Damai bagimu, Cah. - Silancah wrote:
Saya simpulkan bahwa pengejewantahan signature Anda dengan pernyataan ini "Ketika menjalankan tugas, harus menomorsekiankan tuntutan keagamaannya, dan mengutamakan tugas negara yang diembankan kepadanya." hanyalah berupa himbauan semata. Anda betul, Cah. Ijinkan saya tambahkan penjelasan mengenai ini. Pada saat seorang aparatur negara mengemban tugas negara yang diberikan kepadanya, aparatur bersangkutan yang menilai dalam hatinya, apakah tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya atau tidak. Namun, negara dan tugasnya itu tidak memperhatikan aturan suatu agama tertentu dalam menjalankan tugas negara. Kalau si aparatur negara tersebut menomorsatukan aturan agamanya, atau menomorsatukan tugas negara yang diembannya, itu kembali ke hati aparatur tersebut. Disitulah dia menentukan pilihannya, kalau ada pertentangan antara tugas negara dan aturan agamanya. Yang pasti, negara demokratis, tidak akan memihak pada suatu agama resmi tertentu dan mengabaikan agama resmi lainnya. Jadi, negara berharap bahwa pada saat aparatnya melaksanakan tugas negara, aparatnya melaksanakan tugas tersebut tanpa dipengaruhi hal-hal selain tugas tersebut. - Quote :
- Semoga Anda masih bisa bersabar dengan keingintahuan ('ke-rewel-an') saya ... :)
Selain pintar, ternyata Silancah juga rendah hati, terpujilah Tuhan. - Quote :
- Pertanyaan lanjutannya ...
Bila pengejewantahan signature di atas itu merupakan himbauan semata ... apakah berarti seseorang diperbolehkan tidak memberikan (tidak mengutamakan) apa yang menjadi hak negara - yaitu menjalankan kebijakan yang tetap ditetapkan atasan (negara) ? (tentu saja dalam kasus ini saya membicarakan warga negara yang telah menjadi aparat negara ... bukan warga negara awam). Hehhehheee... Cah, apakah mencuri harta orang lain diperbolehkan? Kayaknya kita sepakat, TIDAK BOLEH. Namun, kenyataan yang terjadi, ada saja yang kecurian. Demikian juga, seorang penerima perintah, apakah diperbolehkan mengingkari perintah? Kayaknya kita sepakat, TIDAK BOLEH. Namun, kenyataan yang terjadi, ada saja yang desersi. Demikian juga, seorang pekerja pemerintah, apakah diperbolehkan korupsi? Kayaknya kita sepakat, TIDAK BOLEH. Namun, kenyataan yang terjadi, ada saja malah banyak koruptor yang tertangkap. Jadi, negara mengharapkan agar seluruh warganya, termasuk yang menjadi aparatur negara itu sendiri, harus patuh memberikan hak negara kepada negara, tidak diperbolehkan mengingkari, atau mengemplang, atau mengebiri, atau mengurangi hak negara. Kenyataannya, yahhh... Silancah tahulah. Ternyata koruptor merebak di setiap jajaran pemerintahan kita. Bagi yang apes, ketanggor, dibuikan. Sudah, ah. Entah bagaimana menurut Silancah, tapi menurut saya, kita sepaham dalam hal-hal tersebut. Tentang signature saya itu, itu hanya keinginan hati saya. Tidak selalu terpenuhi. Dan, signature itu saya petik dari kalimat Yesus Kristus, yang saya rasa dan saya pikir, sangat bagus jika dapat saya penuhi, maka saya angkat menjadi signature, berharap, selain menunjukkan keinginan saya pribadi, juga kalau mungkin ditularkan kepada orang lain. Damai, damai, damai. | |
| | | Silancah Perwira Menengah
Jumlah posting : 1492 Join date : 29.01.11 Lokasi : Bandung Barat
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 10th April 2012, 11:40 | |
| Alhamdulillah, terima kasih atas penjelasannya ... Saya kagum dan hormat atas kesabaran dan penjelasan Anda yang sedemikian rinci ini. - Husada wrote:
- Anda betul, Cah. Ijinkan saya tambahkan penjelasan mengenai ini.
Pada saat seorang aparatur negara mengemban tugas negara yang diberikan kepadanya, aparatur bersangkutan yang menilai dalam hatinya, apakah tugas itu bertentangan dengan aturan agamanya atau tidak. Namun, negara dan tugasnya itu tidak memperhatikan aturan suatu agama tertentu dalam menjalankan tugas negara.
Kalau si aparatur negara tersebut menomorsatukan aturan agamanya, atau menomorsatukan tugas negara yang diembannya, itu kembali ke hati aparatur tersebut. Disitulah dia menentukan pilihannya, kalau ada pertentangan antara tugas negara dan aturan agamanya. Yang pasti, negara demokratis, tidak akan memihak pada suatu agama resmi tertentu dan mengabaikan agama resmi lainnya. Jadi, negara berharap bahwa pada saat aparatnya melaksanakan tugas negara, aparatnya melaksanakan tugas tersebut tanpa dipengaruhi hal-hal selain tugas tersebut. Dalam pernyataan di atas Anda menyebutkan negara berharap aparatnya melaksanakan tugas tanpa dipengaruhi hal lain (dalam diskusi kita hal lain itu berarti aturan agamanya). Kalau dalam konteks signature Anda, apa yang diharapkan Tuhan atau Yesus dari seorang aparat ini? Apakah aparat ini seharusnya melaksanakan tugas tanpa dipengaruhi hal lain (termasuk aturan agamanya) ... ataukah seharusnya mengutamakan aturan agamanya? Kalau menilik dari pernyataan Anda sebelumnya ... dalam signature-nya, Tuhan atau Yesus menghimbau aparat untuk melaksanakan tugas tanpa dipengaruhi aturan agama .. apakah benar kesimpulan saya ini? Jadi kalau seorang aparat melaksanakan tugas dengan mempertimbangkan agama, itu tidak apa karena itu pilihannya sendiri. Pertanyaannya: apakah seorang aparat yang tidak mengacuhkan himbauan Tuhan atau Yesus (dalam signature Anda) seperti seorang pejabat yang tidak mau menandatangani keputusan legalisasi perjudian dan pelacuran itu menjadi berdosa atau tidak? - Husada wrote:
- Selain pintar, ternyata Silancah juga rendah hati, terpujilah Tuhan.
Anda terlalu berlebihan dalam memuji saya, Mas ... - Husada wrote:
- Hehhehheee... Cah, apakah mencuri harta orang lain diperbolehkan? Kayaknya kita sepakat, TIDAK BOLEH. Namun, kenyataan yang terjadi, ada saja yang kecurian.
Ini sudah jelas .. tidak ada pertanyaan/sanggahan dari saya. - Husada wrote:
- Demikian juga, seorang penerima perintah, apakah diperbolehkan mengingkari perintah? Kayaknya kita sepakat, TIDAK BOLEH. Namun, kenyataan yang terjadi, ada saja yang desersi.
Saat seseorang desersi karena mengingkari perintah (seperti kasus pejabat di atas) ... apakah dia berdosa karena telah melanggar aturan/kewajiban yang diamanahkan negara kepadanya? Apakah dia berdosa karena tidak memberikan hak kepada negara? - Husada wrote:
- Demikian juga, seorang pekerja pemerintah, apakah diperbolehkan korupsi? Kayaknya kita sepakat, TIDAK BOLEH. Namun, kenyataan yang terjadi, ada saja malah banyak koruptor yang tertangkap.
Ini juga sudah jelas ... tidak ada pertanyaan/sanggahan dari saya. - Husada wrote:
- Jadi, negara mengharapkan agar seluruh warganya, termasuk yang menjadi aparatur negara itu sendiri, harus patuh memberikan hak negara kepada negara, tidak diperbolehkan mengingkari, atau mengemplang, atau mengebiri, atau mengurangi hak negara. Kenyataannya, yahhh... Silancah tahulah.
Nah, dalam kasus pejabat di atas ... aparatur negara tersebut mengingkari hak negara ... mengemplang tugas yang diberikan atasan/presiden/negara kepadanya ... kembali pertanyaannya, apakah dia berdosa karena pengingkarannya itu? Ataukah tindakannya sudah tepat dengan tidak mau menandatangani legalisasi perjudian/pelacuran karena hal itu bertentangan dengan ajaran agamanya? | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 10th April 2012, 17:39 | |
| - bruce wrote:
- @striker
Ooo silahkan saja kalau sampeyan senang menepuk dada dan bilang Islam itu lengkap. Tetapi kenyataannya koq terbalik ya?
Untuk mengerti Quran saja anda membutuhkan tafsir, itupun ada yang benar dan ada yang salah tafsir.
Untuk aturan saja anda butuh fatwa yang terus menerus ditambah dan dikurangi, tergantung keperluan. Itupun saling batah antar pembuat fatwa.
Yaaaa, namanya penganut memang musti bangga mas, he he he, silahkan saja lho, saya ngga melarang anda bangga.
-terbalik bagaimana maksudnya mas? -Boleh dikasih contoh, yg termasuk salah tafsir mas. -Masalah membantah fatwa itu terganntung individunya mas, lha wong aturan agama saja masih banyak yg membantah dan ngentengke apalagi hanya fatwa. -terima kasih atas pengertiannya :) | |
| | | Husada Global Moderator
Jumlah posting : 4981 Join date : 07.05.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 11th April 2012, 09:38 | |
| - striker wrote:
- mungkin bisa dikasih contoh tugas negara yg harus menomer sekiankan tuntutan agama mas?
mungkin karena itulah keluar kebijakan2 seperti yg ditulis oleh mas silancah ya mas? strik, semua tugas negara yang diembankan kepada seorang aparatur negara, sesuai dengan harapan negara, harus menomorsekiankan aturan agama. Paling juga, urusan negara yang bermuatan agama, maka dilaksanakan sesuai dengan aturan agama terkait. Dalam hal hati, jiwa, dan pikiran aparatur negara yang melaksanakan tugas negara itu tidak dapat melepaskan diri dari tuntunan agama yang dianutnya, itu adalah masalah si aparatur negara itu. Negara tidak tahu itu. Yang negara mau, urusan kenegaraan bisa dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku. Begitu striker. Damai bagi LTBers. | |
| | | striker Perwira Menengah
Jumlah posting : 1393 Join date : 03.02.11
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? 11th April 2012, 14:33 | |
| - Husada wrote:
- striker wrote:
- mungkin bisa dikasih contoh tugas negara yg harus menomer sekiankan tuntutan agama mas?
mungkin karena itulah keluar kebijakan2 seperti yg ditulis oleh mas silancah ya mas? strik, semua tugas negara yang diembankan kepada seorang aparatur negara, sesuai dengan harapan negara, harus menomorsekiankan aturan agama. Paling juga, urusan negara yang bermuatan agama, maka dilaksanakan sesuai dengan aturan agama terkait.
Dalam hal hati, jiwa, dan pikiran aparatur negara yang melaksanakan tugas negara itu tidak dapat melepaskan diri dari tuntunan agama yang dianutnya, itu adalah masalah si aparatur negara itu. Negara tidak tahu itu. Yang negara mau, urusan kenegaraan bisa dijalankan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Begitu striker. Damai bagi LTBers. disini siapakah negara yg dimaksud? bukankah aparatut negara itu juga termasuk negara? saya rasa tuntutan negara itu dibikin oleh aparatur negara, jadi tidak dipisahkan antara negara dengan aparatur negara mas, menurut saya lho. karena bagaimana negara bisa bikin tuntutan tanpa ada personal/manusia yg membuatnya? menurut njenengan mana yg akan menjadi lebih baik, aturan negara yg mengikuti aturan agama, ataukah aturan negara yg jauh dari aturan agama (menormer sekiankan agama)? | |
| | | Sponsored content
| Subyek: Re: Iman dengan paksaan ? | |
| |
| | | | Iman dengan paksaan ? | |
|
Similar topics | |
|
| Permissions in this forum: | Anda tidak dapat menjawab topik
| |
| |
| |