Jika kembali ke judul trit, dan pendapat saya atasnya, yaitu saya menginginkan agar aturan nikah dalam Islam direvisi, setelah saya renung ulang, ternyata saya merasa harus meminta maaf pada rekan-rekan dan seluruh penganut Islam. Sebab, saya menyadari, saya tidak punya kompetensi untuk mengusulkan perevisian itu. Saya tidak penganut Islam. Jadi, saya tarik kembali pendapat saya, saya memilih no comment bila disodori dengan pertanyaan seperti pada judul.
Namun demikian, bila dibandingkan dengan UU Perkawinan (UU No1/1974) yang mendefinisikan perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, maka saya menyimpulkan bahwa perkawinan yang dilakukan untuk kurun waktu tertentu (perkawinan misyar dan/atau mut'ah), bertentangan dengan UU No1/1974. Sebab, perkawinan menurut UU No1/1974 bersifat kekal, dan perkawinan misyar atau mut'ah dilakukan sementara saja.
Agak OOT sedikit. Perkawinan yang bersifat sementara, biasanya merugikan pihak perempuan, kan? Nah, karna itu, saya menilai bahwa Islam itu mendiskriminasi perempuan. Satu indikatornya ialah dengan dihalalkannya perkawinan misyar dan/atau mut'ah. Setelah perkawinan itu (misyar atau mut'ah) diakhiri setelah dilalui kurun waktu tertentu, maka perempuan ditinggal sedemikian saja. Menurut saya, itu merupakan tindakan dikriminatif kepada perempuan.